Dito memamerkan tumpukan baju diskonan. "Nih, semua dapat harga miring!"
Andi cemberut karena barangnya tak semenarik milik Rara dan Dito.
Ketika mereka semua berbagi barang mereka, Andi merasa semakin tertekan, lalu ia berpikir, "Apa yang terjadi jika aku bilang semuanya adalah hasil pinjaman?" Ketika tiba saatnya dia memperlihatkan item dalam unboxingnya, rasa cemas menyelimuti. Dia terpaksa memaksakan senyum.
Sementara itu, Lina menunjukkan satu baju kurung elegan. Sari malah membawa kue buatannya. "Ini nastar special, buatan aku dan ibu." Rara mencibir. "Kok kalian nggak semangat sih? Ini kan Lebaran, masa nggak belanja heboh?"
Menariknya, ketika suhu mulai meningkat, Andi tiba-tiba berdiri dan berkata, "Kita semua berdebat tentang yang lebih mahal, tapi sebenarnya, kita semua punya alasan dan cara yang berbeda untuk merayakan. Coba kita lihat apa yang lebih penting?"
Pelajaran di Balik Pameran
Tiba-tiba, adik kecil Rara masuk sambil memegang baju Lebaran sederhana. "Aku seneng kok dapat baju baru, meskipun cuma satu."
Lina tersenyum. "Nah, betul. Lebaran bukan soal siapa yang belanja lebih banyak."
Sari menambahkan, "Yang penting kebersamaan. Aku lebih bahagia bikin kue untuk keluarga daripada beli barang mahal."
Diam sejenak. Andi, yang tadinya cemas karena FOMO, akhirnya menghela napas. "Kalian benar. Aku kemarin sampai stres mikirin diskon, padahal nggak perlu."
Epilog: Lebaran yang Lebih Berarti
Ketika Lebaran tiba, mereka semua berkumpul dengan cara berbeda: Rara masih pakai tas mahalnya, tapi tak lagi sombong. Dito berbagi cerita soal tips diskon tanpa bermaksud pamer. Andi belajar untuk tak mudah panik ikut-ikutan tren. Lina tetap percaya diri dengan kesederhanaannya.