Mohon tunggu...
Alfin Nur Ridwan
Alfin Nur Ridwan Mohon Tunggu... Kader IMM Sukoharjo, Aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan, dan merupakan seorang mahasiswa S1 Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta

Merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang mempunyai hobi membaca dan menulis, serta menyukai kerja-kerja jurnalistik. Jasadku memang tak abadi, namun kuyakin diriku bisa abadi dengan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setelah Sritex Menutup Pintu, Mereka Membuka Lapak-lapak Kehidupan

18 Juli 2025   09:31 Diperbarui: 18 Juli 2025   09:31 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa eks buruh Sritex kini harus terpaksa banting setir untuk tetap bisa mencukupi keluarganya. Salah satunya Bu Sri, pedagang warung soto dan pecel. Dokumentasi pribadi.

Hari Kamis (17/7), matahari terasa lebih panas dari biasanya. Tapi kami tetap berjalan, menembus debu dan waktu yang menggerus, dari satu sudut ke sudut lain di Jetis, Sukoharjo. Tujuan kami masih sama: mencari jejak-jejak hidup yang tertinggal setelah mesin-mesin besar di PT Sritex berhenti menyapa mereka yang selama ini mengabdi tanpa banyak suara. Kami datang untuk melihat mereka yang perlahan-lahan hilang dari ingatan pabrik, dan mungkin juga dari ingatan negeri.

Sejak pukul sembilan pagi, tubuh kami telah tergerak untuk beranjak dari kamar kami masing-masing. Menjelang tengah hari, kami mulai menyusuri kembali tanah Jetis dan Kenep, melangkah dari satu rumah ke rumah lain. Langkah kami bukan langkah pahlawan. Kami hanya anak-anak muda yang kebetulan masih percaya bahwa mendengarkan adalah bentuk paling dasar dari untuk menegakkan sebuah keadilan. Tapi tak kami sangka, bahwa di antara perbincangan sederhana dan segelas es tetes tebu yang disuguhkan, ada dunia yang perlahan-lahan pecah di hadapan kami.

Kami memulai dari rumah kecil di salah satu perumahan di Tanjung, Nguter. Di sanalah Pak Yudi tinggal bersama istrinya, dua tubuh dan jiwa yang pernah menjadi bagian dari denyut Sritex, kini menyulam hidup di balik mesin jahit rumahan. Bukan mesin industri, tapi alat kecil yang setiap hari harus mereka paksakan hidup, sama seperti mereka memaksakan semangat di dada agar tak padam.

Mereka hidup dari apa yang disebut JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) yang besarnya tak lebih dari bayang-bayang utang kebutuhan. Dan dari upah menjahit yang bahkan tak bisa dijanjikan datang setiap hari. Pak Yudi, dalam ketenangan wajahnya, sebenarnya sedang gamang. Ia tahu, tidak selamanya tangannya sanggup menjahit, tidak selamanya mata istrinya kuat menatap benang. Tapi kepada siapa ia bisa menggantungkan harapan?

Pak Yudi kini beralih profesi menjadi tukang jahit bersama istrinya di rumah untuk bisa tetap menyambung hidup, sembari tetap berharap bahwa kelak dirinya akan dipanggil kembali oleh perusahaan. Dokumentasi pribadi.
Pak Yudi kini beralih profesi menjadi tukang jahit bersama istrinya di rumah untuk bisa tetap menyambung hidup, sembari tetap berharap bahwa kelak dirinya akan dipanggil kembali oleh perusahaan. Dokumentasi pribadi.

Waktu terus bergerak, dan matahari makin menengadah. Kami bergerak ke tempat lain, ke rumah sederhana dengan halaman yang disulap jadi lapak makan sederhana. Di sana, kami menemukan Bu Sri, Pak Sarwoto, dan Bu Triyani. Mereka bertiga kini menjadi pedagang makanan: pecel, soto, bakso, dan mie ayam.

Tak ada yang mudah dari perubahan itu. Mereka bukan pebisnis kuliner, mereka adalah mantan buruh yang dipaksa bertahan hidup dengan segala yang bisa mereka upayakan. Di balik kuali dan uap kuah, mereka menggantungkan harapan. Tapi setiap hari, jumlah pembeli tak bisa ditebak, sedangkan kebutuhan hidup tak pernah mau menunggu.

Mereka masih menunggu pesangon dan THR yang dijanjikan namun tak kunjung datang. Uang itu bukan soal kemewahan. Itu adalah hak. Itu adalah harga dari peluh dan kesetiaan yang mereka berikan bertahun-tahun kepada pabrik. Tapi sistem punya seribu alasan untuk menunda, dan mereka hanya bisa menatap hari-hari yang terus berjalan tanpa kepastian. Hidup mereka kini adalah tarian di antara rasa cemas, dagangan laku tak laku, dan suara anak-anak yang masih berharap makan malam.

Menjelang senja, kami menuju Perumahan Sri Sejahtera di Kenep, awalnya hendak menemui seseorang, tapi takdir membawa kami ke sosok lain. Pak Sumadi, pria sederhana yang kini berdiri di balik gerobak es tebu. Tak jauh dari pabrik yang dulu memberinya hidup, kini ia bersama istrinya berjualan di tepi jalan, menyaksikan dinding-dinding Sritex dari kejauhan.

Tapi berbeda dengan kebanyakan, Pak Sumadi menolak tunduk pada diam. Ia dan beberapa temannya masih bersuara, masih percaya bahwa hak harus diperjuangkan, bukan ditunggu. Ia tak lagi menaruh harapan pada pemerintah, karena harapan itu sudah terlalu sering dikembalikan dalam bentuk kekecewaan. Tapi dari tubuh rentanya, semangat itu tetap menyala. Mungkin bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk mereka yang lebih muda, yang lebih takut, yang lebih diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun