Mohon tunggu...
Alfin Nur Ridwan
Alfin Nur Ridwan Mohon Tunggu... Kader IMM Sukoharjo, Aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan, dan merupakan seorang mahasiswa S1 Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta

Merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang mempunyai hobi membaca dan menulis, serta menyukai kerja-kerja jurnalistik. Jasadku memang tak abadi, namun kuyakin diriku bisa abadi dengan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setelah Sritex Menutup Pintu, Mereka Membuka Lapak-lapak Kehidupan

18 Juli 2025   09:31 Diperbarui: 18 Juli 2025   09:31 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa eks buruh Sritex kini harus terpaksa banting setir untuk tetap bisa mencukupi keluarganya. Salah satunya Bu Sri, pedagang warung soto dan pecel. Dokumentasi pribadi.

Sambil berjualan es tebu bersama istrinya, Sumadi bersama rekan-rekannya tetap untuk terus bersuara mengawal hak-hak eks buruh Sritex yang hingga kini tak kunjung mereka dapat. Dokumentasi pribadi.
Sambil berjualan es tebu bersama istrinya, Sumadi bersama rekan-rekannya tetap untuk terus bersuara mengawal hak-hak eks buruh Sritex yang hingga kini tak kunjung mereka dapat. Dokumentasi pribadi.

Hari telah mulai gelap saat kami menyudahi perjalanan ini. Maghrib memanggil dan tubuh kami lelah. Tapi yang paling berat bukanlah langkah kaki, melainkan harapan mereka yang dipikul di atas pundak kami. Karena hari itu, kami benar-benar melihat apa yang tersisa setelah industri meninggalkan manusianya. Mesin boleh berhenti, gaji boleh diputus, tapi manusia tetap harus hidup. Dan hidup, seperti yang mereka jalani hari ini, adalah pergulatan harian dengan ketidakpastian yang nyaris kejam.

Kami pulang dengan tubuh lelah dan pikiran yang berkecamuk, tak tahu harus berbuat lebih seperti apa. Tapi di dalam hati kami, suara mereka terus menggema. Bukan dalam bentuk keluhan, tapi dalam bentuk amanah. Mereka tak meminta simpati, apalagi belas kasihan. Mereka hanya ingin hak mereka kembali. Dan bila kami, yang sering bersuara lantang di ruang-ruang akademik tak mampu menjembatani harapan mereka, maka barangkali kehadiran kami hari ini pun tak berarti apa-apa.

Mereka tidak butuh diselamatkan. Mereka hanya ingin didengarkan. Dari setiap gerobak, warung kecil, dan meja jahit yang kami datangi hari ini, dari mulai suguhan teh manis hingga obrolan singkat soal idealis, kami belajar satu hal penting: bahwa keadilan tidak datang dari pidato atau spanduk. Ia lahir dari keberanian menatap mata mereka yang ditinggalkan, dan menolak berpaling.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun