Hari telah mulai gelap saat kami menyudahi perjalanan ini. Maghrib memanggil dan tubuh kami lelah. Tapi yang paling berat bukanlah langkah kaki, melainkan harapan mereka yang dipikul di atas pundak kami. Karena hari itu, kami benar-benar melihat apa yang tersisa setelah industri meninggalkan manusianya. Mesin boleh berhenti, gaji boleh diputus, tapi manusia tetap harus hidup. Dan hidup, seperti yang mereka jalani hari ini, adalah pergulatan harian dengan ketidakpastian yang nyaris kejam.
Kami pulang dengan tubuh lelah dan pikiran yang berkecamuk, tak tahu harus berbuat lebih seperti apa. Tapi di dalam hati kami, suara mereka terus menggema. Bukan dalam bentuk keluhan, tapi dalam bentuk amanah. Mereka tak meminta simpati, apalagi belas kasihan. Mereka hanya ingin hak mereka kembali. Dan bila kami, yang sering bersuara lantang di ruang-ruang akademik tak mampu menjembatani harapan mereka, maka barangkali kehadiran kami hari ini pun tak berarti apa-apa.
Mereka tidak butuh diselamatkan. Mereka hanya ingin didengarkan. Dari setiap gerobak, warung kecil, dan meja jahit yang kami datangi hari ini, dari mulai suguhan teh manis hingga obrolan singkat soal idealis, kami belajar satu hal penting: bahwa keadilan tidak datang dari pidato atau spanduk. Ia lahir dari keberanian menatap mata mereka yang ditinggalkan, dan menolak berpaling.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI