Mohon tunggu...
Alfin Nur Ridwan
Alfin Nur Ridwan Mohon Tunggu... Kader IMM Sukoharjo, Aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan, dan merupakan seorang mahasiswa S1 Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta

Merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang mempunyai hobi membaca dan menulis, serta menyukai kerja-kerja jurnalistik. Jasadku memang tak abadi, namun kuyakin diriku bisa abadi dengan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kami Datang Terlambat, Tapi Mereka (Eks Buruh Sritex) Masih Menunggu

16 Juli 2025   15:43 Diperbarui: 16 Juli 2025   15:43 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa dari mereka (eks buruh Sritex) harus banting setir dan berpikir keras untuk mencari pekerjaan lain pasca PHK massal (15/7). Dokumentasi: pribadi

Tak semua perjalanan dimulai dari niat yang bulat. Kadang, ia lahir dari kegelisahan yang tak bisa ditahan, dari rasa bersalah yang muncul karena terlalu lama diam. Siang kemarin (15/7), untuk ketiga kalinya, aku dan dua kawanku kembali menapaki tanah Jetis, Sukoharjo. Sebuah tempat yang lebih banyak dikenal karena berdirinya pabrik raksasa PT Sritex, daripada karena kisah manusia yang digilas oleh putaran industrinya.

Kami datang bukan sebagai pengamat, bukan pula sebagai penyelamat. Kami datang karena sebuah kegelisahan yang tak mampu kami alihkan ke hal lain. Jetis telah memanggil kami berkali-kali, dan kami tahu, di antara jalan-jalan kecil dan bayang tembok pabrik yang tinggi, ada luka yang terus menganga. Luka yang tidak sering terlihat dalam headline berita nasional maupun lokal, tapi terasa nyata dalam mata orang-orang yang ditinggalkan oleh sistem.

Kami mencari dengan kaki yang lelah, dengan hati yang penuh pertanyaan, para mantan buruh yang pernah menjadi bagian dari denyut ekonomi pabrik ini. Mereka yang akhir Februari lalu terlempar dari sirkulasi industri, seperti mur yang dilepas dari mesin besar, dianggap tak berguna, dibiarkan berkarat. Bukan karena tak mampu bekerja, tapi karena sistem telah memutuskan bahwa mereka bukan lagi bagian dari rencana.

Kami mencarinya bukan dengan alat rekam atau daftar pertanyaan, tapi dengan langkah yang sabar dan wajah yang penuh niat. Dan akhirnya, siang yang menyengat berubah menjadi senja yang lirih ketika kami berhasil bertemu mereka: empat orang yang pada tubuh dan raut wajahnya melekat cerita panjang tentang kerja, usia, dan pengkhianatan. Mereka bukan buruh biasa, mereka adalah saksi waktu. Berpuluh-puluh tahun mereka menjadi gigi dari roda raksasa bernama industri, namun hari ini, mereka berdiri sendiri, terengah-engah, dan memungut remah keadilan yang tak kunjung turun dari langit pabrik.

Seorang eks buruh Sritex yang sudah 32 tahun bekerja terpaksa harus dirumahkan setelah PHK massal yang terjadi pada akhir Februari lalu (15/7). Dokumentasi: pribadi
Seorang eks buruh Sritex yang sudah 32 tahun bekerja terpaksa harus dirumahkan setelah PHK massal yang terjadi pada akhir Februari lalu (15/7). Dokumentasi: pribadi

Di mata mereka, kami melihat sesuatu yang tak kami duga. Harapan. Sebuah beban tak kasat mata yang mereka letakkan diam-diam di pundak kami, para mahasiswa yang mereka pikir mampu menyuarakan apa yang selama ini mereka teriakkan dalam senyap. Kami hanyalah pejalan kecil di jalan panjang perjuangan, namun mereka memandang kami seolah kami ini para juru bicara langit. Seolah kami mampu mengguncang dinding kokoh tempat hak mereka dikubur dan ditutup lembar demi lembar laporan keuangan.

Tentang pesangon yang tak kunjung dibayar. Tentang THR yang menguap tanpa kabar. Tentang keadilan yang terasa terlalu mewah bagi mereka yang kini hanya duduk di beranda rumah menatap pabrik dari kejauhan, menyaksikan pabrik tempat mereka menghidupi keluarganya kini telah mati, entah sampai kapan. Mereka bukan hanya kehilangan pekerjaan. Mereka kehilangan harga diri yang bertahun-tahun dibangun dari disiplin, dari tanggung jawab, dari keyakinan bahwa perusahaan akan membalas keringat mereka dengan keadilan. Tapi tidak. Yang datang hanyalah surat pemutusan hubungan kerja, tanpa salam, tanpa terima kasih, tanpa bekal.

Jetis sore tadi terasa berat. Matahari yang mulai condong pun seperti ikut bersedih. Langit mengguratkan warna jingga yang muram. Kami duduk bersama mereka, mendengar bukan dengan telinga tapi dengan hati. Tak ada kutipan yang kami catat, tak ada pernyataan yang kami rekam. Hanya diam yang menyimpan ribuan makna. Dan dalam diam itu pula, kami sadar: kami telah diamanahi sesuatu.

Mereka menyebut-nyebut kami sebagai "anak-anak mahasiswa", seolah kami ini bagian dari kekuatan moral yang tersisa. Mungkin mereka tak tahu bahwa kami pun gamang, bahwa kami pun bingung harus mulai dari mana. Tapi mereka percaya. Dan kepercayaan itu lebih berat dari batu karang. Ia menjadi utang moral yang tak bisa kami bayar dengan sekadar tulisan atau teriakan kosong di media sosial.

Itulah utang kami. Bukan utang yang bisa dibayar dengan tulisan satu-dua paragraf, bukan pula dengan unggahan simpatik di media sosial. Ini adalah utang sejarah. Sebab sejarah terlalu sering melupakan suara-suara kecil yang tidak punya saluran. Dan tugas kamilah untuk menjadikan suara itu menggema.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun