Mohon tunggu...
Alfina Asha
Alfina Asha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tulisan random.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Resensi] Biru Laut, Bukan Sekadar Nomina

23 Juli 2019   01:15 Diperbarui: 26 Desember 2020   08:57 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Laut Bercerita karya Leila S. Chudori (dokpri)

Yang mengherankan adalah rencana yang disusun sebaik mungkin itu kadang gagal dilakukan karena berhasil diketahui oleh aparat. Ini tidak hanya terjadi satu kali, namun beberapa kali. Berbagai asumsi dan kecurigaan Laut terhadap salah satu temannya adalah satu hal yang menghidupkan cerita ini. 

Berbagai aksi yang dilakukan oleh kelompok Winatra dan Wirasena kemudian membuat mereka dikambing-hitamkan oleh aparat sehingga di tahun 1996 mereka masuk dalam daftar pencarian orang. Hal ini pula yang menjadikan Laut dan kawan-kawan harus berpindah dari satu kota ke kota lain. 

Puncaknya adalah ketika Laut dan beberapa temannya berhasil ditangkap di bulan Maret, tepat di hari ulang tahun adiknya, Asmara Jati. Mereka dimasukkan ke dalam salah satu markas yang tidak Laut ketahui dimana tepatnya lokasi tersebut, mengingat matanya ditutup oleh kain hitam yang bercampur aroma apak dan darah. Mereka mendapat berbagai penyiksaan yang bahkan saya sendiri sulit membayangkannya. 

Mereka dipukul, digantung, ditendang, disetrum, disundut, dan yang terparah ialah disuruh berbaring diatas balok es dalam kondisi telanjang selama berjam-jam. Mereka disiksa sedemikian parahnya agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu. 

Suatu hari setelah penyiksaan balok es, Laut nyaris tidak bisa mengungkapkan rasa sakit yang dirasakannya. Ketika dikembalikan ke dalam sel tahanan yang lebih mirip kandang singa itu, suaranya hampir hilang ketika menceritakan salah satu hal yang paling menyakitkannya. Dia bercerita kepada beberapa teman yang juga dikurung di dalam sel terpisah dari selnya. 

Bukan siksaan fisik yang membuat Laut sakit, tapi pengkhianatan yang dia saksikan sebelum penyiksaan balok es itu terjadi. Salah satu teman diskusinya, yang juga turut serta dalam menyusun segala rencana mereka selama ini ternyata menjadi musuh dalam selimut. Dia memamerkan senyum manisnya di hadapan Laut ketika Laut hendak digiring ke tempat penyiksaan. Laut kaget bukan main. 

Dia-lah yang ternyata membocorkan rencana-rencana Winatra dan Wirasena kepada aparat. Tiada yang menduga sama sekali, mengingat sikapnya yang begitu tenang dan selalu sigap membantu teman-temannya yang lain. Sama sekali tidak mencurigakan. Bahkan penyesalan mulai muncul dalam diri Laut karena merasa bersalah. Orang yang selama ini dicurigainya justru sedang mendekam di dalam salah satu sel bawah tanah bersama dirinya. 

Sungguh penyesalan itu semakin menjadi ketika Laut mengingat alasan dia mencurigai temannya ini: hanya karena dia banyak bicara dan sering memprotes beberapa pendapat temannya yang lain. Laut diam. Teman-temannya yang lain-pun tak ada yang mampu berucap meski satu kata. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga hari itu tiba, hari dimana Laut bangun dan "mengabsen" temannya satu persatu. 

Tidak lama berselang, datang si Raksasa dan Manusia Pohon --gelar yang diberikan Laut kepada dua orang yang selama ini menggiring dirinya kemanapun mereka diperintahkan oleh si Bos-- yang membawanya dan dua orang temannya keluar dari sel tahanan menuju entah kemana. 

Tiada yang tahu, apakah hari itu adalah perjumpaan terakhir mereka. Tiga orang lain yang masih tersisa di dalam sel ruang bawah tanah berteriak kesetanan dan mengumpat sejadi-jadinya kepada dua manusia berbadan besar tersebut.

Ada rasa haru dan kesedihan ketika membaca novel ini. Termasuk ketika ayah Laut, Arya Wibisono, tiap minggu sore akan selalu meletakkan empat buah piring di meja makan. Satu untuk dirinya, satu untuk sang istri, satu untuk si bungsu Asmara Jati, dan satu piring lainnya untuk Biru Laut yang tak tahu kapan pulangnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun