Mohon tunggu...
Alfia Syarifa
Alfia Syarifa Mohon Tunggu... MAHASISWI S1 UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MEDAN SUMATERA UTARA

HOBI MEMBACA, BADMINTON

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suara dari Banyuwangi

24 April 2025   22:30 Diperbarui: 24 April 2025   22:25 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bayuwangi, sebuah desa kecil yang terletak di kaki pegunungan, dikelilingi sawah hijau dan suara gemericik sungai yang tak pernah lelah mengalir. Setiap tahun, di bulan Suro, warga desa menggelar tradisi sedekah bumi. Sebuah acara yang bukan hanya tentang nasi tumpeng dan doa bersama, tetapi tentang menjaga hubungan manusia dengan alam dan leluhur.

Syahdan baru saja pulang dari Yogyakarta. Ia sudah lima tahun meninggalkan desa untuk bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan buku. Rambutnya kini sedikit berantakan, matanya lelah, dan wajahnya asing bagi beberapa tetua desa.

"Kowe isih eling Bayuwangi, Ndan?" tanya Mbah Karto, tetua adat, sambil menyodorkan segelas wedang jahe.

"Isih, Mbah. Tapi ora kaya biyen... wis akeh sing berubah." (Masih ingat, Mbah. Tapi tak seperti dulu... banyak yang sudah berubah.)

Mbah Karto hanya tertawa. "Sing berubah kuwi awake dhewe, le. Desane tetep." (Yang berubah itu kita, nak. Desanya tetap.)

Syahdan datang bukan untuk menghadiri sedekah bumi. Ia datang karena kabar bapaknya sakit. Tapi seperti ditarik oleh tali tak kasat mata, langkahnya justru membawanya ke pelataran balai desa, di mana orang-orang sibuk menyiapkan tumpeng, jajanan pasar, dan bunga melati untuk upacara esok pagi.

Ia melihat anak-anak menari dengan kain jarik, ibu-ibu menggoreng tahu bacem, dan pemuda-pemuda menabuh gamelan. Di antara keramaian itu, Syahdan merasa asing, meski ia lahir dari rahim tanah ini.

Malamnya, ia duduk di samping ranjang bapaknya.

"Le," suara bapaknya parau. "Bapak ora bakal suwe. Tapi Bapak pengin kowe ngerti, kenapa sedekah bumi penting. Iki carane kita ngucap syukur. Tradisi iki jembatan, antara kita lan sing ora katon." (Nak, Bapak tak lama lagi. Tapi Bapak ingin kamu tahu kenapa sedekah bumi penting. Ini cara kita bersyukur. Tradisi ini jembatan, antara kita dan yang tak terlihat.)

Syahdan terdiam. Kata-kata bapaknya membentur dinding dalam dirinya yang sudah lama ia kunci rapat.

Keesokan harinya, matahari belum tinggi ketika Syahdan berdiri di tengah lapangan. Ia membawa nampan berisi gethuk lindri, makanan kesukaan almarhum ibunya. Di hadapannya, tumpeng berdiri angkuh di tengah kerumunan warga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun