Mohon tunggu...
Alfiansyah_senja
Alfiansyah_senja Mohon Tunggu... Buruh - Penulis artikel, foto, dan traveling

Lahir dan besar di kota Balikpapan. "Setiap Malam adalah Sepi" adalah novel perdana yang berhasil dicetak lewat proyek indiependent. Novel ini bercerita tentang kehidupan urban seorang pekerja yang bekerja di malam hari di Kota Balikpapan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Marepe' Biji Kemiri (Kisah dari Tanah Adolang dan Deking, Bagian Pertama)

18 November 2019   19:46 Diperbarui: 18 November 2019   19:49 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Marepe' Biji Kemiri

Oleh : Alfiansyah
Jika ingin pergi ke Mandar, sesekali janganlah selalu menikmati pesisirnya yang aduhai. Jika Anda berada di pesisir, akan terlihat pegunungan luas, berbukit, dan  kadang tertutup awan.

Sesekali, dakilah ke sana.  Bagi seorang pengelana, hal itu akan menjadi hal sangat baru mengenal orang Mandar yang bermukim di bukit. Yang pasti, akan memacu adrenalin para musafir.
***
Sebelum menutup bulan Oktober 2019, berita duka menghampiri keluarga saya. Kakek dari Ayah saya dipanggil Yang Maha Kuasa. Alimuddin namanya. Ia meninggal diusia 96 tahun.

Umur yang panjang bagi ukuran umur manusia. Tiga hari setelah wafat, Jumat, 1 November, sehabis shalat Jumat di Desa Timbogading, saya, ayah, dan dua paman saya pergi ke makam kakek yang dikebumikan di Ku'bur Kaiyyang, Desa Banua Adolang, Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.

Dari Desa Timbogading, kami mengendarai sepeda motor. Saya membonceng paman saya, Ibrahim, adik kandung ayah saya. Jalan menuju ke pemakaman menanjak dan berliku, namun saya tidak bosan, karena mata dimanjakan oleh pemandangan natural, yang jarang dilihat oleh masyarakat urban seperti saya.

Sekitar 4 km, kami bertemu dengan anak sekolah yang berjalan kaki. Paman Ramsidar, sepupu dekat ayah saya langsung menggandeng anak itu. Tak beberapa lama, karena cuaca mendung dan hujan gerimis, kami singgah di sebuah rumah panggung, yang kebetulan pemilik rumah itu masih ada hubungan keluarga dengan ayah.

"Kalau di sini tak ada orang lain. Semua keluarga besar," kata ayah.

Ayah, paman Ibrahim dan Ramsidar masuk ke rumah. Saya melihat ke bawah rumah panggung, di mana ada beberapa pemuda dan anak-anak sedang sibuk memecahkan sesuatu. Mereka memecahkan biji kemiri.

Anak yang dibonceng paman Ramsidar menghampiri pemecah biji kemiri, dan berdialog bahasa Mandar. Saya, yang membawa kamera langsung sibuk memotret.

Saya pun banyak bertanya ke salah satu pemecah biji kemiri, Aldy (27). Aldy menerangkan, dalam sehari, jika dikerjakan secar kolektif, bisa mendapatkan buah kemiri utuh sekitar dua karung setengah. Karung untuk menampung buah kemiri adalah karung beras, yang beratnya 25 kg.

Saya terpesona dengan teknik melepaskan kulit kemiri pada buahnya. Dimana mereka masih membuka kulitnya itu dengan cara konvensional menggunakan marepe'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun