Mohon tunggu...
Alfiansyah Syah
Alfiansyah Syah Mohon Tunggu... Warga Negara Indonesia -

Penikmat Senja

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Sumenep, Penghuni Pulau Masalembu dan Orang Mandar

5 Januari 2019   08:32 Diperbarui: 5 Januari 2019   09:18 1579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Oleh : Alfiansyah

Di manapun berada, entah kenapa saya selalu ingat Pulau Sulawesi. Walau saya tahu diri bahwa saya lahir dan dibesarkan di Balikpapan, namun saya merasa dan selalu yakin ahwa separuh jiwa saya telah tertanam di Mandar, Sulawesi Barat. 

Hal itu juga membuat saya kadang merasa de javu ketika tubuh saya meninggalkan Balikpapan, alias sedang berada di luar kota. Apalagi, ketika saya menyebrang pulau dan tidak disangka berjumpa dengan orang Sulawesi, terutama pars pro toto (Makassar Bugis, Toraja dan Mandar).

Di Pulau Madura, saya berjumpa dengan orang berdarah Bugis yang menurut pengakuannya tinggal di Pulau Masalembu. Padanya, saya banyak bertanya tentang orang-orang yang tinggal di Pulau Masalembu,  pulau terbesar di Kepulauan Masalembu, yakni di Laut Jawa. Pulau ini berada di bagian selatan Kepulauan Masalembu, masuk dalam wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

****
Tiga hari saya berada di Sumenep, salah satu Kabupaten yang letaknya paling ujung di Pulau Madura, Jawa Timur. Tujuan saya ke sana adalah semata-mata pekerjaan. Ya, saya bekerjadi klub sepak bola Persiba Balikpapan, sebagai media officer.

Senin 30 Juli 2018, setelah pertandingan Liga 2 Madura FC vs Persiba Balikpapan di Stadion Ahmad Yani, Sumenep, telah berakhir dengan kemenangan tuan rumah 2-1, saya diajak oleh Bang Ryan (Lengkapnya M. Ryan Chong, menantu Ketua Umum Persiba yang banyak membantu keperluan tim mengenai urusan ini dan itu) makan malam. Terus terang hari itu saya masih kenyang karena habis menikmati soto madura yang disajikan hotel, jadi saya hanya menemaninya pergi cari makan.


Saya makan di warung kaki lima "Sedap Malam", tidak jauh dari seberang Hotel C-1, hotel tempat saya menginap. Saya memesan teh hangat tawar. Di depan tempat duduk kami ada seorang bapak-bapak yang lebih dulu makan, umurnya kira-kira  40 tahun. Ia memakai kaos hitam, bertas selempang kecil. Ia menawari kami makan. Begitu ramah.

Selesai makan ia mengajak kami bercerita. Mendengar logat kami berbicara dan sekaligus disetiap cerita saya dan Bang Ryan selalu mengatakan, "kalau main (sepak bola) di Balikpapan", ia pun bertanya, apakah Samarinda jauh dari Balikpapan? Dan apakah di Balikpapan banyak orang Bugis?

Saya menjawab sesuai dengan apa yang saya tahu. Yang pasti benar, bahwa di Balikpapan dan Samarinda banyak orang Bugis. Bahkan penamaan Samarinda pun orang Bugis yang menamakannya. Saya juga menambahkan, tidak hanya orang Bugis yang banyak, orang Makassar, Mandar, Jawa dan suku lainnya pun banyak di Samarinda dan Balikpapan. Bapak tersebut mengatakan kalau kedua orang tuanya adalah asli orang Bugis dan ia sendiri lahir dan besar di Pulau Masalembu.

                                                                                                                 

Terus terang, suatu kehormatan bagi saya bertemu dengan orang Bugis di ujung Pulau Madura. Saya pun banyak bertanya sama Bapak tersebut. Namanya Hamsah. Namun, seperti orang Bugis pada umumnya, ia dengan bangga memperkenalkan dirinya bahwa ia adalah seorang Bugis, namun bahasa dan dialeknya sehari-hari adalah bahasa Madura.

"Saya sedikit-sedikit bisa bahasa Bugis. Seperti makan, minum, dan kata-kata kerja atau keseharian lainnya. Jika ada yang bicara bahasa Bugis, saya paham apa itu artinya, tapi tak bisa ucapkan dengan lancar. Saya lebih lancar pakai bahasa Madura," jelasnya. Hal itu saya iya, 'kan, karena ia berbicara dengan logat Madura.

Sore tadi, Pak Hamsah baru tiba di Pelabuhan Kali Anget, Sumenep, dengan menggunakan kapal Perintis dengan jarak tempuh kurang-lebih 12 jam. Kapal Perintis, lanjut Pak Hamsah, adalah kapal penumpang sekaligus kapal yang dikhususkan untuk mengantar sembako atau bahan pokok lainnya dari pulau ke pulau. Satu orang dikenakan tarif Rp. 20.000; dan untuk satu dus barang Rp. 5.000;

Orang Mandar di Pulau Masalembu

Penduduk di Pulau Masalembu merupakan campuran etnis, termasuk suku Madura, Jawa dan suku Bugis. Karena Pulau Masalembu didominasi oleh orang Bugis, bahasanya pun mayoritas beraksen Bugis. Saya bertanya, apakah di sana ada suku Mandar?

"Ada banyak di sana orang Mandar, bahkan ada satu dusun yang dinamakan Dusun Mandar. Bahkan salah satu bahasa di sana adalah bahasa Mandar. Hampir semua yang tinggal di sana adalah orang Mandar. Jika mau ke dusun itu, maka orang-orang akan langsung mengatakan 'mau ke Mandar'," ungkapnya.

Saya jadi ingat, ayah saya yang asli orang Mandar dan tinggal di Adolang, Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat dan sudah lama tinggal dan menetap di Balikpapan mengatakan, dulu di Sulawesi telah dilanda dua revolusi yaitu pembantaian Westerling (1946-1947) dan pemberontakan pasukan DI/TII (1950-1965) yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. 

Di situlah migrasi besar-besaran orang Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan dan Barat dimulai. Apalagi, ketika itu pasukan Kahar Muzakkar menentang praktik-praktik adat istiadat dan menjarahnya. Mereka--terutama yang masih memegang prinsip adat-istiadat--- memilih lebih baik meninggalkan negeri daripada diperbudak dan dijajah di kampung sendiri.

Kendati demikian, sejak dulu orang Sulawesi terkenal dengan pelaut ulung. Migrasi bagi orang Bugis telah berlangsung lama sejak abad XVII di Kepulauan Nusantara akibat Perang VOC-Makassar. Apalagi pasca perang, telah diadakan  Perjanjian Bungaya, yang ditandatangani pada  tanggal 18 November 1667,dimana isi perjanjian tersebut sangat berat sebelah dan memberatkan Kerajaan Gowa dari VOC. 

Maka dari itu, beberapa pemimpin kerajaan Gowa dan kerajaan yang beraliansi dengan Gowa lebih memilih meninggalkan negerinya daripada tunduk terhadap kompeni. Tidak terlepas dari unsur politik dan kekuasaan, sebagian lagi pergi merantau yakni untuk memperbaiki bidang ekonomi.

Menurut sejarawan Anhar Gonggong , dalam Kata Penganta di buku  "Migrasi dan Orang Bugis" yang ditulis oleh Andi Ima Kesuma mengatakan, migrasi orang Bugis yang paling banyak jumlahnya berada di Kalimantan Timur, Riau, Aceh, dan Irian Barat (kini bernama Provinsi Papua). Bahkan sampai ada yang ke Johor, Malaysia. Inti dari migrasi itu adalah untuk memulai kehidupan yang lebih baik.


Pulau Masalembu secara geografis lebih berdekatan dengan Provinsi Kalimantan Selatan. Apalagi, di sekitar pulau tersebut  banyak pulau-pulau Kalimantan Selatan yang juga dihuni mayoritas orang Bugis, Makassar dan Mandar. 

Seperti Pulau Maradapan, Pulau Marabatuan, Pulau Matasire, Pulau Kalambau, Pulau Kerayaan, dan pulau-pulau lainnya. Kata bapak saya, dulu, dari Mandar ke Pulau Jawa, pulau-pulau tersebut adalah tempat persinggahan untuk sekedar beristirahat, mencari bekal dan sebagai penanda sebentar lagi tiba di Pulau Jawa.

Puang Karaeng Taher

Sumber : dokpri
Sumber : dokpri

Pak Hamsah bercerita, di Pulau Masalembu orang Bugis dan Mandar adalah salah suku yang disegani. Disegani, bukan dari segi kekerasan, kriminal dan sifat-sifat tercela lainnya. Namun dari segi navigasi pelayaran atau ketika pergi mencari ikan, perkawanan, kesopanan, keteguhan, keberanian dan--mohon maaf--doti-doti-nya (ilmu magis).

"Ada di Pulau Masalembu jika kita dipatuk ular di sana, kita tidak akan selamat. Ya, bisa dikatakan meninggal dunia. Namun, kalau orang Bugis atau Mandar yang dipatuk, masih bisa bertahan hidup. Pokoknya di sana terkenal 'ilmunya'," katanya.

Lagi-lagi Pak Hamsah menegaskan, tidak ada niat untuk melebih-lebihkan atau pun mengurangi ceritanya. Mengenai Pulau Masalembu, katanya, ada nilai sejarahnya. Pulau Masalembu pertama kali ditemukan dan dihuni oleh orang dari Mandar. Nama orang tersebut adalah Taher. Orang-orang setempat biasa memanggilnya Puang Karaeng Taher.

"Saat ini, Puang Karaeng Taher telah tiada. Walau tiada, anak dan cucunya saat ini masih ada di sana dan bahkan kadang anak-anaknya pulang kampung mencari sanak dan keluarganya di Mandar (Sulawesi Barat)," tuturnya.

Ada cerita menarik terkait Puang Karaeng Taher. Ia adalah sesepuh di Pulau Masalembu dan ada banyak kelebihan yang sangat  membantu bagi para penduduk pulau. Jika ada kapal kayu atau kapal besi yang kandas di sekitar perairan Pulau Masalembu dan sangat susah ditarik ke laut, maka orang-orang setempat meminta bantuan Puang Karaeng Taher.

"Ini cerita yang saya adopsi dari orangtua saya. Atas 1izin Allah, dari darat Puang Karaeng Taher membantunya dari darat agar kapal itu kembali ke laut. Orang-orang menarik kapal dan dari darat Puang Karaeng Taher meniup-niupnya dari darat, maka kapal itu dapat bergerak dan kembali ke laut," ujarnya. Dengan Bangga ia mengisahkan cerita itu.

Saya menebak-nebak. Kedatangan Pak Hamsah ke Sumenep tidak lain dan tidak bukan apakah untuk keperluan membeli sembako?

"Benar, keperluan saya datang ke sini membeli bahan-bahan pokok seperti yang dijelaskan Abang. Di sana susah sembako, apalagi jika angin musim barat petani tidak ada di sana karena tidak cocok lahannya untuk bertani. Satu bulan tiga kali saya membeli sembako dan ongkos kapal, satu karung beras harganya 20 ribu dan satu karung semen ongkos kapalnya 25 ribu. Sembako di sana mahal, tabung gas melon di sana sampai 35 ribu," jelasnya.

Mayoritas penduduk di sana adalah nelayan. Jika musim ikan, harga ikan sangat murah bahkan tidak ada harganya (gratis).

"Berbicara soal pantai jangan ditanya. Di sana adalah surgawinya pantai.Pasirnya putih, airnya jernih dan bagus sekali. Biasa orang snorkling di sana," tuturnya.


Ia mendeskripsikan pantai hampir sama dengan apa yang diceritakan Rizal, sepupu satu kali saya yang tinggal di Pulau Marabatuan, Kalimantan Selatan.  


Omong-omong  soal pantai, saya selalu membayangkan tentang pasir putih, debur ombak, laut hijau tosca, suara angin, anak-anak bertelanjang kaki yang bermain dan berlari-lari kecil di pasir pantai, kursi malas, air kelapa, rokok, kacamata, lagu santai, kemudian benar-benar santai melihat senja yang bundar dan sayup-sayup hilang ditelan ombak kecil, yang berbentuk berlian akibat dibias sinar senja. 

Senja hilang tanpa ada yang tersisa seperti sebuah hidup, kita semua akan tenggelam dalam mimpi-mimpi yang kadang tidak masuk akal itu. Uh, pantai yang indah, nyaman sekali.

Ayah saya mengatakan bahwa di Mandar, aksen setiap daerah saat ini sudah jarang ditemukan. Bentuk orisinalnya dimakan zaman akibat adanya globaliasi. 

Dulu, sekitar tahun 1980-an masih sering dijumpai orang-orang mallagu' (aksen ciri khas daerah). Seperti di dua desa berbeda di pesisir Pamboang, Majene, Sulawesi Barat. Di situ ada namanya Desa Bababulo dan Luwaor. 

Daerah itu mempunyai aksen yang berbeda dan apalagi yang tinggal di atas gunung, bisa sangat berbeda. Namun jika keduanya bertemu dan berkomunikasi secara langsung, keduanyaakan  saling mengerti karena sama-sama menggunakan bahasa Mandar.

"Seperti di Bababulo, dulu kita biasa dengar. 'Iddi' pole inna mi' ola?' (dari mana?) bahasa seperti itu tidak ada lagi. Mungkin nenek-nenek saja yang pakai bahasa itu. Jadi, menurut saya, jika mau tahu bahasa asli orang Bababulo atau Luwaor, bisa ke pulau di Kalimantan Selatan," cerita ayah saya, yang angat gemar bercerita mengenai masalah Mandar.

Padahal, yang paling jamak jika di Mandar-kan sederhana saja bahasanya "dari mana". Langsung saja "pole inna, Puang?"

"Pak Hamsah mohon maaf, di Pulau Masalembu apakah ada orang Mandar yang bertanya 'dari mana' dengan bahasa seperti ini, ''iddi' pole inna mi' ola?'," tanya saya.

"Iya benar. Apa yang dikatakan Abang, ada itu di Pulau Masalembu," jawabnya.

Apa yang dikatakan Ayah saya benar dan saya bersyukur menggalinya secara langsung dengan orang yang terlibat.

Sekali lagi saya katakan, suatu kehormatan bagi saya pribadi bisa bertemu dengan orang Bugis diperantauan. Setelah teh tawar saya habis dan saya malam itu kami ingin istirahat karena besok pagi kami akan ke Bandara Juanda, Surabaya melalui jalur darat, saya pun pamit dengan Pak Hamsah.

"Semoga Persiba sukses. Dan semoga selalu diberikan kesehatan, Bang," kata Pak Hamsah.

"Bapak juga semoga sehat selalu dan semoga dilain waktu bisa bertemu kembali," balas saya.

Kami pun berjabat tangan, setelah itu saya kembali ke hotel. Di jalan menuju hotel, tiba-tiba saya mengingat perjuangan laksamana angkatan laut Kerajaan Gowa, Karaeng Galesong yang tidak sepakat dengan Perjanjian Bungaya pergi berlayar meninggalkan Makassar, dan di laut selalu merepotkan Belanda. 

Hidupnya singkat, hanya 24 tahun dan bisa dibayangkan, diusianya yang masih muda itu dia berani menantang Belanda dan berkali-kali bentrok di perairan laut Jawa. Karaeng Galesong telah menjadi "penguasa laut" di Laut Jawa dan Selat Makassar. Bahkan ia berkoalisi dengan Pangeran Trunojoyo seorang bangsawan Madura untuk melawan VOC.


Tapi sayang, sejarah memang sering ditulis bagi para pemenang. Sampai-sampai saya tidak bisa membedakan yang mana dulunya pejuang dan pengkhianat. Mana yang benar-benar angkat senjata dan penjilat. Mana yang pro kompeni dan terus melakukan perlawanan. Keduanya hampir tidak bisa dibedakan, dimana seorang penjahat atau pengkhianat Negara diberi gelar khusus sebagai pahlawan.

Ah sudahlah, sejarah memang ditulis bagi para pemenang.

Ini hari terakhir saya berada di Sumenep. Besok pagi saya akan meninggalkan Pulau Madura. Mungkin suatu saat saya akan kembali. Harap saya. Namun tetap, daam hati yang palig dalam saya selalu merindukan akan kehadiran Mandar.

Balikpapan, 8 Agustus 2018.

Bersambung 

Makam Raja-Raja Sumenep dan Pangeran Diponegoro

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun