Inilah titik buta (blind spot) dari reformasi birokrasi yang terlalu percaya pada sistem. Sistem menganggap bahwa semua aktor akan berperilaku rasional, prosedural, dan linear. Padahal, kenyataannya jauh dari itu. Tidak semua penyimpangan adalah pelanggaran yang harus berakhir dipidanakan. Boleh jadi itu adalah bentuk adaptasi terhadap kekakuan sistem yang tidak sanggup menangani kompleksitas dunia nyata.
Model yang Tak Sok Tahu
Apa yang ditawarkan oleh pendekatan postmodernisme bukanlah sebuah "model baru" yang siap pakai. Ia justru menyusun model yang tidak sok tahu, yaitu model yang sadar bahwa realitas sosial dan politik tidak dapat dibungkus dalam satu template nasional yang seragam.
Model ini bukan pengganti sistem pusat, tapi pelengkapnya. Model yang mengajak pembuat kebijakan melihat ulang apa yang disebut sebagai "penyimpangan" dan mulai mempertimbangkan bahwa praktik-praktik lokal boleh jadi bagian dari solusi, bukan masalah.
Sistem ini tidak mengejar kesempurnaan audit, tapi kelaikan sosial. Ia tidak berambisi jadi satu-satunya jalan, tapi ingin membuka ruang bagi banyak cara. Ia bukan jawaban mutlak, tapi ajakan berdialog.
Dari Meja Akademisi ke Arena Kebijakan
Selama ini, banyak kajian kritis tentang birokrasi terjebak di ruang-ruang akademik. Dibaca oleh sesama peneliti, tapi tak pernah sampai ke telinga pembuat kebijakan. Pendekatan postmodernisme harus didorong keluar dari kampus. Ia harus sampai ke ruang rapat inspektorat daerah, ke meja kerja kepala BPKAD, dan ke forum diskusi legislatif.
Karena praktik-praktik yang selama ini dianggap "tidak sesuai aturan" justru boleh jadi satu-satunya cara agar sistem tetap dapat berjalan. Maka, bukan hanya regulasi yang harus diperbarui, tapi cara pandang kita terhadap realitas birokrasi lokal.
Kita perlu berhenti mengukur keberhasilan tata kelola hanya dari opini WTP. Karena opini itu hanyalah penilaian teknis atas dokumen. Ia tak selalu menggambarkan keadilan anggaran, efektivitas belanja, atau kepuasan publik. Sering kali, sistem audit formal hanya bicara soal benar-salah secara prosedur, bukan soal bermanfaat atau tidak secara sosial.
Merangkul Ketidaksempurnaan
Sudah saatnya pemerintah pusat lebih rendah hati dalam melihat daerah. Bahwa membangun sistem keuangan daerah tak cukup dengan mengirim template, menyelenggarakan bimtek, atau menyalin best practice dari luar negeri. Dibutuhkan lebih dari itu dengan mendengar, memahami, dan memberi ruang bagi variasi sosial-budaya yang tumbuh dalam birokrasi lokal.
Reformasi birokrasi tak boleh dimulai dari keinginan untuk menertibkan. Ia harus lahir dari kemauan untuk memfasilitasi. Karena jika sistem dibangun di atas ketidakpercayaan dan kontrol berlebihan, maka yang muncul adalah kepatuhan semu, bukan komitmen tulus.
Tata Kelola yang Menyadari Keterbatasannya
Tata kelola keuangan yang baik bukanlah yang paling mirip sistem pusat. Tapi yang paling sesuai dengan kenyataan tempat ia dijalankan. Tata kelola yang mampu berdialog dengan masyarakatnya. Ia dapat berubah sesuai kebutuhan. Ia mampu hidup di antara aturan dan akal sehat. Ia mengakui bahwa terkadang yang tak tertulis justru lebih menentukan dari yang dibakukan.
Di luar spreadsheet dan sistem digital, di luar laporan keuangan dan regulasi, ada satu hal yang tak boleh diabaikan yaitu kemanusiaan dalam birokrasi. Selama kita masih menutup telinga dari cerita-cerita kecil yang terjadi di lapangan, maka reformasi hanya akan jadi slogan. Tidak pernah benar-benar menyentuh kenyataan.(AM)