Mohon tunggu...
Alfian Misran
Alfian Misran Mohon Tunggu... Dosen, Akuntan, dan Penulis

Pemerhati Audit, Ekonomi-Bisnis dan Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tata Kelola yang Tak Tertulis: Saat Laporan Keuangan Daerah Tak Cukup Menjelaskan Kenyataan

9 Mei 2025   08:47 Diperbarui: 9 Mei 2025   08:47 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tata Kelola yang Tak Tertulis (Sumber: Ilustrasi AI)

Di atas kertas, tata kelola keuangan daerah di Indonesia tampak baik-baik saja. Dokumen rencana kerja disusun sesuai mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). APBD disahkan oleh DPRD. Dana transfer dari pusat cair sesuai tahapan. Laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) disusun berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Audit pun dilakukan, opini pun diberikan dari disclaimer sampai Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Tapi semua itu hanya satu sisi kenyataan yaitu sisi yang tertulis, terdokumentasi, dan dapat diaudit.

Di sisi lain, ada realitas yang jauh lebih kompleks, tak terdokumentasi, dan sering sengaja dilupakan. Sebuah dunia pengelolaan anggaran yang digerakkan oleh relasi sosial, kebiasaan lama, intuisi birokrasi, hingga tekanan politik. Dunia tempat bendahara dinas lebih percaya pada "kata senior" dibandingkan pasal yang tercantum dalam Permendagri. Dunia tempat keputusan anggaran kadang ditentukan bukan dari hasil evaluasi capaian RPJMD, melainkan obrolan panjang dengan tokoh adat, rekomendasi tokoh partai, atau bisikan lembut dari fraksi dominan.

Inilah mengapa banyak model tata kelola keuangan, baik yang disusun oleh pemerintah pusat, lembaga donor internasional, maupun konsultan-konsultan elite, sering gagal ketika diterapkan di daerah. Bukan karena pemerintah daerah tidak mampu, tidak paham, atau malas berubah. Tapi karena modelnya tidak peka terhadap konteks sosial, budaya, dan realitas politik lokal.

Kritik dari Pinggiran: Ketika Postmodernisme Masuk ke Birokrasi

Pendekatan postmodernisme, yang selama ini dianggap terlalu abstrak dan filosofis, justru menawarkan sudut pandang yang segar dan relevan dalam membaca tata kelola keuangan. Ia mempertanyakan narasi besar semacam "akuntabilitas", "transparansi", dan "efisiensi" yang selama ini dianggap kebenaran mutlak, padahal dalam praktik, istilah-istilah itu sering kehilangan maknanya saat menyentuh tanah.

Pendekatan ini menolak klaim bahwa satu sistem dapat berlaku universal. Ia membuka ruang untuk menyatakan keberagaman cara pandang dan praktik lokal yang selama ini dianggap menyimpang, padahal boleh jadi justru itulah bentuk inovasi birokrasi.

Menggunakan pendekatan ini, penelitinya bukan lagi pembuat sistem, tapi menjadi pendengar. Ia membaca dokumen resmi, tapi juga mencatat bisik-bisik di ruang rapat. Ia tak tergesa menyimpulkan "apa yang salah", tapi justru sibuk menggali "apa yang sesungguhnya terjadi". Karena sering kali, di balik angka yang tidak sesuai, ada cerita yang lebih masuk akal dibandingkan regulasi itu sendiri.

Birokrasi yang Hidup di Dua Alam

Pemerintah daerah hari ini hidup di dua alam yang berjalan berdampingan. Alam pertama adalah alam formal yaitu alam e-budgeting, Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD), Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri), regulasi pengadaan barang dan jasa, laporan realisasi anggaran, dan pengawasan BPKP. Dunia ini dapat ditelusuri, diaudit, bahkan dibanggakan dalam forum nasional.

Tapi ada juga alam kedua yatiu alam informal. Alam tempat keputusan strategis diambil lewat pertimbangan relasi, rasa segan, kehati-hatian politik, atau strategi "asal jangan viral di media sosial." Alam ini tak terdokumentasi, tak dapat diaudit, tapi semua tahu ia nyata dan krusial.

Sering kali, keputusan-keputusan yang paling bijak dan yang paling sesuai dengan kebutuhan masyarakat justru lahir bukan dari sistem prosedural, tapi dari nalar lokal yang memahami kompleksitas medan sosial. Nalar yang tidak dapat dimasukkan dalam dokumen perencanaan, tapi bekerja menjaga stabilitas birokrasi sehari-hari.

Inilah titik buta (blind spot) dari reformasi birokrasi yang terlalu percaya pada sistem. Sistem menganggap bahwa semua aktor akan berperilaku rasional, prosedural, dan linear. Padahal, kenyataannya jauh dari itu. Tidak semua penyimpangan adalah pelanggaran yang harus berakhir dipidanakan. Boleh jadi itu adalah bentuk adaptasi terhadap kekakuan sistem yang tidak sanggup menangani kompleksitas dunia nyata.

Model yang Tak Sok Tahu

Apa yang ditawarkan oleh pendekatan postmodernisme bukanlah sebuah "model baru" yang siap pakai. Ia justru menyusun model yang tidak sok tahu, yaitu model yang sadar bahwa realitas sosial dan politik tidak dapat dibungkus dalam satu template nasional yang seragam.

Model ini bukan pengganti sistem pusat, tapi pelengkapnya. Model yang mengajak pembuat kebijakan melihat ulang apa yang disebut sebagai "penyimpangan" dan mulai mempertimbangkan bahwa praktik-praktik lokal boleh jadi bagian dari solusi, bukan masalah.

Sistem ini tidak mengejar kesempurnaan audit, tapi kelaikan sosial. Ia tidak berambisi jadi satu-satunya jalan, tapi ingin membuka ruang bagi banyak cara. Ia bukan jawaban mutlak, tapi ajakan berdialog.

Dari Meja Akademisi ke Arena Kebijakan

Selama ini, banyak kajian kritis tentang birokrasi terjebak di ruang-ruang akademik. Dibaca oleh sesama peneliti, tapi tak pernah sampai ke telinga pembuat kebijakan. Pendekatan postmodernisme harus didorong keluar dari kampus. Ia harus sampai ke ruang rapat inspektorat daerah, ke meja kerja kepala BPKAD, dan ke forum diskusi legislatif.

Karena praktik-praktik yang selama ini dianggap "tidak sesuai aturan" justru boleh jadi satu-satunya cara agar sistem tetap dapat berjalan. Maka, bukan hanya regulasi yang harus diperbarui, tapi cara pandang kita terhadap realitas birokrasi lokal.

Kita perlu berhenti mengukur keberhasilan tata kelola hanya dari opini WTP. Karena opini itu hanyalah penilaian teknis atas dokumen. Ia tak selalu menggambarkan keadilan anggaran, efektivitas belanja, atau kepuasan publik. Sering kali, sistem audit formal hanya bicara soal benar-salah secara prosedur, bukan soal bermanfaat atau tidak secara sosial.

Merangkul Ketidaksempurnaan

Sudah saatnya pemerintah pusat lebih rendah hati dalam melihat daerah. Bahwa membangun sistem keuangan daerah tak cukup dengan mengirim template, menyelenggarakan bimtek, atau menyalin best practice dari luar negeri. Dibutuhkan lebih dari itu dengan mendengar, memahami, dan memberi ruang bagi variasi sosial-budaya yang tumbuh dalam birokrasi lokal.

Reformasi birokrasi tak boleh dimulai dari keinginan untuk menertibkan. Ia harus lahir dari kemauan untuk memfasilitasi. Karena jika sistem dibangun di atas ketidakpercayaan dan kontrol berlebihan, maka yang muncul adalah kepatuhan semu, bukan komitmen tulus.

Tata Kelola yang Menyadari Keterbatasannya

Tata kelola keuangan yang baik bukanlah yang paling mirip sistem pusat. Tapi yang paling sesuai dengan kenyataan tempat ia dijalankan. Tata kelola yang mampu berdialog dengan masyarakatnya. Ia dapat berubah sesuai kebutuhan. Ia mampu hidup di antara aturan dan akal sehat. Ia mengakui bahwa terkadang yang tak tertulis justru lebih menentukan dari yang dibakukan.

Di luar spreadsheet dan sistem digital, di luar laporan keuangan dan regulasi, ada satu hal yang tak boleh diabaikan yaitu kemanusiaan dalam birokrasi. Selama kita masih menutup telinga dari cerita-cerita kecil yang terjadi di lapangan, maka reformasi hanya akan jadi slogan. Tidak pernah benar-benar menyentuh kenyataan.(AM)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun