Ketika Sistem Pembayaran Jadi Medan Perang Global
Dalam dunia yang semakin didominasi algoritma dan e-wallet, siapa yang menguasai sistem pembayaran, menguasai arah lalu lintas ekonomi. Maka wajar jika negara seperti Amerika Serikat tiba-tiba gusar melihat Indonesia membangun dapurnya sendiri. Bukan dapur metaforis belaka, tapi benar-benar sistem transaksi bernama QRIS dan GPN, yang tidak lagi bergantung pada Visa, Mastercard, atau jaringan asing manapun. Masalahnya? Dapur itu tak bisa mereka intip.
AS datang dengan dalih manis, mereka bilang hanya ingin "akses pasar" yang adil. Tapi kalau kita kupas dengan pisau analisis, kelihatan bahwa yang mereka maksud dengan "akses" itu bukan cuma pintu. Mereka ingin duduk di meja makan, cek kulkas, pegang sendok, dan sesekali atur resep. Ini bukan misi dagang biasa. Ini operasi kuliner beraroma kontrol.
QRIS dan GPN: Kabel Listrik Kedaulatan yang Mereka Takutkan
QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) bukan sekadar proyek IT lokal. Mereka adalah deklarasi diam-diam bahwa Indonesia ingin mengatur urusan perutnya sendiri. Dan itu, bagi sistem global yang terbiasa mengatur menu negara lain, jelas tak bisa dibiarkan.
QRIS menghubungkan UMKM dari Sabang sampai Merauke ke dalam ekosistem digital yang satu atap, murah, cepat, dan tidak perlu izin ke luar negeri. GPN memastikan bahwa setiap transaksi domestik tidak nyasar ke server-server asing. Dua inovasi ini, kalau diteruskan, bisa menciptakan preseden bahwa negara berkembang bisa mandiri di sektor paling sensitif sekalipun.
Kritik Amerika: Minta Ampela, Incar Hati
Bagi Amerika, QRIS dan GPN dianggap terlalu eksklusif. Mereka mengkritik kewajiban switching lokal, batas kepemilikan asing, dan tidak diberikannya akses perusahaan global ke transaksi domestik. Bahkan isu interoperabilitas antarnegara pun dijadikan alasan untuk menekan. Mereka ingin QRIS bisa disambungkan ke sistem mereka, tapi enggan tunduk pada aturan lokal.
Lucunya, kritik ini datang dari negara yang sistem perbankannya justru sangat protektif. Ingin masuk pasar keuangan AS? Harus tunduk pada regulasi federal, undang-undang anti-terorisme, hingga pengawasan intelijen. Tapi giliran Indonesia menegakkan pagar, mereka protes keras. Di sinilah ketidakadilan struktural itu mencuat.
Kalau diplomasi ini adalah makan malam, maka AS sedang memainkan peran tamu yang sok sopan. Mereka bilang cuma minta ampela, bagian kenyal yang tak semua orang suka. Tapi begitu masuk dapur, yang mereka congkel justru hati organ utama yang mengatur aliran darah sistem digital kita. Retorika "akses pasar" digunakan sebagai kedok untuk menyusup lebih dalam ke jantung sistem.
Strategi Lama Bungkus Baru: Tekan Lewat Tarif, Buka Lewat Dapur
Dalam teori ekonomi politik internasional, ini dikenal sebagai hegemoni struktural. Negara kuat tidak perlu menjajah secara fisik. Cukup tanam standar, kuasai infrastruktur, dan dikte aturan. QRIS dan GPN adalah bentuk pembangkangan terhadap hegemoni ini. Mereka bukan hanya menciptakan sistem, tapi juga menyatakan bahwa kita tidak ingin lagi diatur oleh resep global yang tak cocok dengan lidah lokal.
Tarif 32 persen yang diancamkan terhadap produk Indonesia seperti tekstil, furnitur, dan makanan laut, bukan sekadar langkah dagang. Itu ancaman langsung ke dapur. Karena Indonesia tak mau membuka sistemnya, maka komoditas ekspornya disandera. Ini bukan diplomasi. Ini semacam barter paksa: "buka pintu dapurmu, atau kami tutup pintu ekspormu".
Lucunya, AS mengklaim ini demi "fair trade". Padahal dalam realitasnya, ini lebih mirip "forced trade": "kamu boleh berdagang, asal pakai kompor kami, panci kami, dan masak sesuai buku resep kami". QRIS dan GPN justru dibangun untuk melawan pola itu. Dan karena itulah mereka jadi target.