Langkah Indonesia mengalihkan sebagian ekspor ke Australia dan Uni Eropa patut diapresiasi. Tapi jangan sampai ini menjadi sekadar migrasi warung dari satu pojok ke pojok lain dalam mal yang sama. Uni Eropa punya standar karbon, Australia punya biosecurity. Kalau kita tidak membangun dapur sendiri, kita tetap akan jadi tukang masak yang disuruh-suruh.
Diversifikasi pasar harus dibarengi dengan diversifikasi sistem. Kita tidak bisa hanya berganti pelanggan. Kita harus berganti posisi: dari tukang masak menjadi pemilik restoran.
Jangan Biarkan Mereka Duduk di Meja, Apalagi Pegang Spatula
QRIS dan GPN bukan hanya soal efisiensi transaksi. Mereka adalah instrumen ideologis. Dan dalam dunia yang makin digital, siapa yang memegang sistem pembayaran, memegang komando atas masa depan ekonomi.
Maka, kalau Amerika datang dengan senyum dan proposal kerja sama, kita harus belajar membedakan mana tamu, mana inspektur, dan mana yang sedang menyamar jadi chef. Karena dalam urusan dapur nasional, kita tak boleh lagi jadi negara yang cuma menyediakan piring.
Kalau mereka tetap memaksa, kasih saja satu porsi hati-ampela. Tapi jangan lupa tambahkan catatan: "Bumbu dari kami, cara masak dari kami, dan jangan pernah bawa pulang resepnya."
Dan itulah bentuk diplomasi paling lezat: penuh rasa, tapi tak bisa dicerna oleh yang terbiasa mengatur selera orang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI