Mohon tunggu...
Alfian Misran
Alfian Misran Mohon Tunggu... Dosen, Akuntan, dan Penulis

Pemerhati Audit, Ekonomi-Bisnis dan Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Dunia Salah Menilai Siapa yang Sebenarnya Beruntung

20 April 2025   12:06 Diperbarui: 20 April 2025   18:22 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika Dunia Salah Menilai Siapa yang Sebenarnya Beruntung (Sumber: Ilustrasi AI)

Di zaman ketika harga manusia ditentukan dari harga outfit dan level kafe tempat nongkrong, istilah "kaya" dan "miskin" mengalami dekonstruksi brutal. Dunia memberi tepuk tangan kepada mereka yang bersinar terang di atas panggung sosial media, meski sebenarnya sedang terbakar dari dalam. Di sisi lain, mereka yang hidup dalam kesederhanaan, disebut kalah, padahal justru berhasil selamat dari jeratan ilusi yang dibungkus kemewahan.

Hari ini, ada begitu banyak orang dengan saldo yang gendut tapi jiwanya kurus. Rumah besar tapi hampa, isi lemari penuh tapi kepala kosong. Mereka tampak menang dari sudut pandang dunia, tapi kalah dalam pertandingan melawan diri sendiri. Semua yang dimiliki hanyalah alat pamer, bukan alat pemenuh. Semua dibeli, tak satu pun benar-benar dinikmati.

Banyak Harta, Tapi Jiwa Seret

Ada yang memiliki segalanya, namun tetap terjaga tiap malam. Bukan karena kopi, tapi karena cemas. Gelar panjang, jabatan mentereng, properti di mana-mana, tapi masih merasa ada yang kurang. Kekayaan menjadi semacam perlombaan tanpa garis akhir. Baru membeli satu barang mewah, sudah muncul iklan barang lain. Baru meraih satu pencapaian, sudah iri dengan pencapaian orang lain.

Tak ada ruang untuk diam, apalagi syukur. Yang ada hanya ketakutan kehilangan posisi, reputasi, dan validasi. Kebahagiaan bergantung pada likes, dan harga diri tergadai pada komentar netizen. Ini bukan kaya. Ini jebakan kemiskinan dalam bungkus eksklusif.

Sedikit Harta, Tapi Tawa Berlimpah

Di sisi lain, ada yang hidup dari upah harian, namun tak pernah lupa tertawa. Tak pernah bepergian jauh, tapi hatinya tak pernah tersesat. Tak punya ponsel mahal, tapi komunikasinya hangat dan jujur. Tak punya kendaraan pribadi, tapi relasinya sampai ke mana-mana, karena keikhlasan lebih jauh jangkauannya dibanding mesin bermerek.

Hidup dalam keterbatasan justru melahirkan kemampuan menyiasati, menemukan nilai dari hal kecil, dan mencintai apa yang ada, bukan meratapi yang tidak bisa dimiliki. Tak punya banyak, tapi merasa cukup. Dan dari rasa cukup itulah lahir kebahagiaan yang tak tergantung musim diskon atau promo kartu kredit.

Dunia Salah Skor

Selama ini, sistem nilai global telah salah mengukur siapa yang benar-benar menang. Kekayaan dikaitkan dengan seberapa banyak aset bisa dikumpulkan, bukan seberapa dalam makna bisa dihidupi. Miskin dikaitkan dengan penghasilan, bukan dengan kualitas hidup.

Dunia mengangkat mereka yang tampil gemerlap, padahal mungkin retak di dalam. Dan mengabaikan mereka yang tampak sederhana, padahal damai luar biasa.

Sekolah mengajarkan cara menjadi sukses secara ekonomi, tapi lupa mengajarkan cara menjadi manusia yang utuh. Masyarakat memuja pencapaian individu, tapi lupa pentingnya hubungan dan kejujuran. Akhirnya, yang lahir adalah generasi dengan CV mengagumkan tapi hidup penuh tekanan. Generasi dengan rumah-rumah besar tapi makan malam diisi kesepian dan notifikasi tanpa arti.

Kaya dan Miskin Bukan Soal Isi Dompet

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun