Di zaman ketika harga manusia ditentukan dari harga outfit dan level kafe tempat nongkrong, istilah "kaya" dan "miskin" mengalami dekonstruksi brutal. Dunia memberi tepuk tangan kepada mereka yang bersinar terang di atas panggung sosial media, meski sebenarnya sedang terbakar dari dalam. Di sisi lain, mereka yang hidup dalam kesederhanaan, disebut kalah, padahal justru berhasil selamat dari jeratan ilusi yang dibungkus kemewahan.
Hari ini, ada begitu banyak orang dengan saldo yang gendut tapi jiwanya kurus. Rumah besar tapi hampa, isi lemari penuh tapi kepala kosong. Mereka tampak menang dari sudut pandang dunia, tapi kalah dalam pertandingan melawan diri sendiri. Semua yang dimiliki hanyalah alat pamer, bukan alat pemenuh. Semua dibeli, tak satu pun benar-benar dinikmati.
Banyak Harta, Tapi Jiwa Seret
Ada yang memiliki segalanya, namun tetap terjaga tiap malam. Bukan karena kopi, tapi karena cemas. Gelar panjang, jabatan mentereng, properti di mana-mana, tapi masih merasa ada yang kurang. Kekayaan menjadi semacam perlombaan tanpa garis akhir. Baru membeli satu barang mewah, sudah muncul iklan barang lain. Baru meraih satu pencapaian, sudah iri dengan pencapaian orang lain.
Tak ada ruang untuk diam, apalagi syukur. Yang ada hanya ketakutan kehilangan posisi, reputasi, dan validasi. Kebahagiaan bergantung pada likes, dan harga diri tergadai pada komentar netizen. Ini bukan kaya. Ini jebakan kemiskinan dalam bungkus eksklusif.
Sedikit Harta, Tapi Tawa Berlimpah
Di sisi lain, ada yang hidup dari upah harian, namun tak pernah lupa tertawa. Tak pernah bepergian jauh, tapi hatinya tak pernah tersesat. Tak punya ponsel mahal, tapi komunikasinya hangat dan jujur. Tak punya kendaraan pribadi, tapi relasinya sampai ke mana-mana, karena keikhlasan lebih jauh jangkauannya dibanding mesin bermerek.
Hidup dalam keterbatasan justru melahirkan kemampuan menyiasati, menemukan nilai dari hal kecil, dan mencintai apa yang ada, bukan meratapi yang tidak bisa dimiliki. Tak punya banyak, tapi merasa cukup. Dan dari rasa cukup itulah lahir kebahagiaan yang tak tergantung musim diskon atau promo kartu kredit.
Dunia Salah Skor
Selama ini, sistem nilai global telah salah mengukur siapa yang benar-benar menang. Kekayaan dikaitkan dengan seberapa banyak aset bisa dikumpulkan, bukan seberapa dalam makna bisa dihidupi. Miskin dikaitkan dengan penghasilan, bukan dengan kualitas hidup.
Dunia mengangkat mereka yang tampil gemerlap, padahal mungkin retak di dalam. Dan mengabaikan mereka yang tampak sederhana, padahal damai luar biasa.
Sekolah mengajarkan cara menjadi sukses secara ekonomi, tapi lupa mengajarkan cara menjadi manusia yang utuh. Masyarakat memuja pencapaian individu, tapi lupa pentingnya hubungan dan kejujuran. Akhirnya, yang lahir adalah generasi dengan CV mengagumkan tapi hidup penuh tekanan. Generasi dengan rumah-rumah besar tapi makan malam diisi kesepian dan notifikasi tanpa arti.