Ketika laporan semacam itu dipakai sebagai dasar penetapan tersangka atau pengambilalihan aset, maka yang kita bangun bukan negara hukum, tapi negara narasi. Narasi yang ditulis oleh mereka yang paham prosedur tapi abai terhadap substansi.
Laporan keuangan yang harusnya jadi alat pertanggungjawaban, berubah jadi senjata. Pasal pidana yang seharusnya digunakan sebagai upaya terakhir, malah jadi senjata pembuka. Kombinasi ini membentuk perangkap hukum yang tidak terlihat... sampai akhirnya korban menyadarinya di saat semuanya sudah terlambat.
Di Antara Audit dan Pasal: Profesi Profesional yang Harus Bangkit
Profesi bukan soal gelar atau sertifikat, tapi soal keberanian menjaga kebenaran saat kepentingan mengetuk pintu
Untuk rekan-rekan auditor, baik di KAP, BPK, maupun BPKP, tantangannya kini makin berat. Bukan hanya memastikan akurasi, tapi menjaga independensi. Karena sekali laporan dijadikan alat mainan kepentingan, nama baik profesi ikut dipertaruhkan.
Untuk rekan-rekan di KPK, kejaksaan, kepolisian—prosedur tetap harus dijalankan. Tapi kehati-hatian tetap jadi keharusan. Tidak semua kesalahan administrasi layak dijerat pidana. Tidak semua kelalaian bisa ditarik ke pengadilan. Hukum pidana bukan palu segala-guna.
Untuk hakim dan pengacara: ruang sidang bukan tempat sandiwara, tapi ruang pertarungan integritas. Jika bahan yang masuk sudah bias, maka tugas kita adalah menahan diri, menguji ulang, dan tidak membiarkan proses hukum dijadikan alat transaksi kepemilikan.
Dan untuk para dosen hukum dan akuntansi: sudah waktunya mahasiswa diajak turun ke bumi. Kurikulum harus menjawab dunia nyata. Jadikan kasus corporate raid sebagai bahan studi. Bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk membangun etika profesi sejak dini.
Mengapa Ini Penting? Karena Kita Bisa Kena Kapan Saja
Dalam sistem yang longgar, hukum bisa jadi jaring. Sayangnya, yang tertangkap justru yang tak kuat menyewa kapal
Fenomena ini bukan sekadar “isu elit”. Banyak pelaku UMKM, pengusaha daerah, dan pemilik startup yang kini mulai mengalami tekanan serupa. Tak punya hubungan kuat? Tak punya akses ke media? Tak kenal aparat? Maka risikonya lebih besar.
Dalam sistem hukum yang longgar dan bisa dinegosiasikan, siapa pun bisa jadi target. Hari ini klinik kecil. Besok pabrik air minum. Lusa penyedia jasa transportasi. Korbannya bisa siapa saja. Pelakunya? Bisa siapa pun yang punya koneksi, modal, dan pemahaman prosedur.
Jangan Biarkan Audit Jadi Alat Tekanan. Jangan Biarkan Hukum Jadi Senjata Ekonomi
Tak semua ketidaksesuaian adalah pelanggaran. Tak semua kerugian bersumber dari niat jahat. Audit perlu konteks, hukum perlu kehati-hatian
Audit adalah jantung akuntabilitas. Ia tidak boleh dikompromikan. Jika auditor merasa ditekan, ia harus dilindungi. Jika hasil audit digunakan tidak pada tempatnya, ia harus diklarifikasi. Tidak semua “temuan” adalah “pelanggaran”. Tidak semua “ketidaksesuaian” adalah “kerugian negara”.
Begitu pula hukum. Ia tidak boleh dipakai sebagai jalur tercepat merebut kekuasaan ekonomi. Penegakan hukum tanpa keseimbangan hanya akan melahirkan negara yang curiga pada dunia usaha. Dan ujungnya? Investasi turun, lapangan kerja hilang, kepercayaan publik melemah.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Penyidik, auditor, regulator, dan ahli sektor bukan lawan debat—mereka harus jadi tim investigasi yang saling menguatkan
Pertama, audit forensik harus diperkuat. Dalam kasus strategis, audit biasa tidak cukup. Harus ada investigasi mendalam dengan keahlian membaca motif, bukan sekadar angka.