Hati-Hati, Hukum Bisa Dipakai Buat Merampas Perusahaan
Di dunia usaha hari ini, perusahaan bisa tumbang bukan karena rugi, tapi karena dipasalkan. Surat gugatan lebih tajam dari strategi bisnis
Di dunia bisnis yang ideal, siapa yang kerja keras, dia yang panen. Tapi realitas di banyak sektor usaha dari tambang, energi, logistik, properti, bahkan rumah sakit dan fintech seringkali berbanding terbalik. Bukan soal daya saing, bukan soal inovasi. Tapi soal siapa yang paling lihai memainkan aturan hukum.
Beberapa tahun terakhir, istilah corporate raid dan lawfare makin sering disebut. Ini bukan cerita Hollywood atau drama politik internasional. Ini realitas yang pelan-pelan merayap ke ruang-ruang sidang dan kantor auditor.
Corporate raid adalah cara “merampas” aset perusahaan lewat jalur legal: pakai gugatan, pasal, tekanan, kadang media. Lawfare adalah ketika hukum yang seharusnya jadi alat keadilan dipakai sebagai senjata ekonomi. Korban utamanya? Perusahaan yang sedang tumbuh atau punya aset strategis. Pelakunya? Tak selalu kelihatan, tapi jejaknya bisa diraba.
Dari Tambang ke Klinik, Dari Gudang ke Fintech: Targetnya Makin Beragam
Hukum, media, dan audit—kalau dipadukan dalam dosis tertentu, bisa lebih ampuh dari strategi merger & acquisition
Kalau dulu kita pikir praktik ini hanya menyasar perusahaan tambang bernilai triliunan, sekarang sasarannya makin variatif. Klinik kesehatan swasta yang punya aset tanah strategis, platform logistik yang baru dapat pendanaan, atau startup fintech yang sedang bersinar semua bisa jadi target.
Caranya mirip. Dimulai dari sengketa. Lalu ada laporan hukum. Tuduhan bisa soal pidana korupsi, perizinan, pajak, pelanggaran perdata. Setelah proses hukum berjalan, nilai perusahaan turun, kepercayaan mitra luntur, dan peluang akuisisi pun datang. Murah meriah, tapi sah secara administratif.
Beberapa pelaku malah memadukan gugatan perdata, laporan pidana umum atau pidana khusus seperti korupsi, dan tekanan media dalam satu paket. Target utamanya bukan kemenangan hukum, tapi perubahan kepemilikan.
Modus yang Halus Tapi Tajam: Di Mana Peran Kita Semua?
Kalau semua tampak sah di atas kertas, siapa yang curiga? Ternyata legalitas bisa jadi topeng paling licin dalam skema pengambilalihan
Banyak pelaku usaha yang tidak menyadari bahwa mereka sedang dalam skenario perampasan. Karena semua proses tampak sah. Ada surat dari pengadilan. Ada panggilan dari aparat. Ada audit yang tampak profesional. Tapi ujungnya selalu sama: perusahaan dijual di bawah nilai, atau digeser lewat akta notaris yang disiapkan sejak awal.
Dalam skema ini, auditor menjadi tokoh penting. Audit investigatif yang seharusnya jadi pisau pembedah kebenaran, kadang justru digunakan sebagai alat legitimasi. Penyidik, jaksa, dan pengacara ikut terseret dalam alur, terkadang dengan semangat berlebihan yang melampaui proporsionalitas.
Bagaimana dengan hakim? Di banyak kasus, mereka dihadapkan pada dokumen yang tampak rapi, narasi hukum yang dibumbui angka, dan tekanan sosial yang tak ringan. Kalau integritas goyah, keadilan bisa ikut goyang.
Audit yang Dipoles, Pasal yang Disusun: Bukan Lagi Skema Investigasi, Tapi Produksi Narasi
Ketika laporan audit dibumbui opini, dan pasal diracik dengan asumsi, hasilnya bukan keadilan—tapi fiksi hukum edisi terbatas
Kita perlu bicara jujur. Dalam beberapa kasus, audit tidak lagi bersifat netral. Ada auditor yang entah karena tekanan, loyalitas, atau pesanan sehingga membuat laporan seolah negara rugi. Padahal hitungan dasarnya kabur, datanya satu arah, dan asumsinya terlalu imajinatif.