Tinggal menghitung hari lagi kita merayakan Idul Adha pada tahun ini, tentu sudah banyak tempat-tempat yang menjual kambing, sapi sampai kerbau. Memang sudah umum dan sudah terjadi sejak lama, namun fenomena seperti ini menjadi kajian yang cukup menarik dalam sosiologi. Ibadah yang sifatnya pengabdian spiritual dapat berubah menjadi ladang komersil yang luas. Platform-platform digital seperti Evermos menawarkan program reseller hewan kurban, memungkinkan individu untuk menjual kembali hewan kurban dan mendapatkan keuntungan finansial. Selain itu, layanan kurban online dari lembaga seperti Rumah Zakat mempromosikan program Superqurban dengan promosi promosi menarik menandakan adanya strategi pemasaran yang agresif dalam konteks ibadah. Bagi yang mendalami sosiologi, fenomena ini mencerminkan pergeseran makna dari ritual keagamaan yang bersifat sakral menjadi aktivitas ekonomi yang dikomodifikasi. Dalam konteks ini, komodifikasi agama merujuk pada proses di mana simbol, praktik, dan nilai-nilai keagamaan diubah menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan untuk keuntungan ekonomi. Proses ini tidak hanya terjadi pada ibadah kurban, tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan beragama lainnya, seperti dakwah dan ritual keagamaan lainnya. Meskipun sudah lama berjalan dan tentu tidak mempengaruhi kekhusyukan ibadah, saya ingin mengajak diskusi secara teoritisnya. Bukan menyinggung keimanan, tapi lebih ke konsep-konsepnya, karena sosiologi non-etis. Tulisan saya mungkin saja bisa menjadi inspirasi untuk kajian ilmiah seperti skripsi dan jurnal khususnya dalam mengkaji sosiologi agama.
Rasionalisasi Beragama dalam Konsep Pemikiran Max Weber
Bagi yang mendalami kajian sosiologi agama, pasti akan berdiskusi tentang rasionalitas yang dipopulerkan Max Weber. Tentu komersialisasi ritual keagamaan tidak bisa dilepaskan dari proses rasionalisasi sosial yang dibahas secara mendalam oleh Weber, terutama melalui konsep "disenchantment of the world" atau Entzauberung der Welt. Dalam karya-karya sosiologisnya, Weber menjelaskan bahwa seiring dengan modernitas, dunia mengalami proses penyihiran balik kehilangan aspek magis dan spiritual karena dominasi rasionalitas instrumental dan kalkulasi efisiensi. Ketika belajar sosiologi apakah masih ingat dengan tindakan rasional instrumental? Nah, dalam pandangan Weber, tindakan tersebut merupakan proses ketika tindakan manusia semakin diarahkan oleh logika tujuan dan sarana (Zweckrationalitt), bukan oleh tradisi, nilai, atau spiritualitas. Prosesnya disebut rasionalisasi, nah rasionalisasi ini melahirkan struktur-struktur sosial baru yang efisien dan terukur, namun mengorbankan dimensi simbolik dan makna eksistensial. Ketika diterapkan dalam konteks ritual keagamaan, rasionalisasi berarti menjadikan proses ibadah sebagai sesuatu yang dapat dirancang, dikalkulasi, bahkan dijual. Contoh penerapannya yang sebelumnya saya sebutkan, Idul Adha misalnya, pemotongan hewan kurban kini bukan hanya persoalan spiritual dan pengorbanan, tetapi telah menjadi paket jasa lengkap mulai dari pemilihan hewan, penyembelihan, hingga pengiriman sertifikat kurban ke WhatsApp. Beberapa lembaga bahkan menawarkan fitur pelacakan kurban seperti "kurban tracking" dan "live streaming kurban", menandakan bagaimana logika pelayanan dan efisiensi mereduksi nilai ritual menjadi produk jasa. Data dari situs-situs kurban online seperti Dompet Dhuafa, Baznas, hingga marketplace Tokopedia menunjukkan meningkatnya transaksi kurban digital setiap tahun.
Weber menyebut proses ini sebagai konsekuensi dari kapitalisme rasional, di mana nilai-nilai non-ekonomi perlahan dikendalikan oleh nilai ekonomi. Kapitalisme tak lagi hanya menyentuh sektor industri, tetapi juga menyusup ke ranah spiritual. Teori ini diperkuat dengan gagasan iron cage of rationality dari Weber, bahwa manusia modern akhirnya terjebak dalam sistem sosial yang kaku dan kehilangan daya magis. Dalam kasus ritual keagamaan, hal ini berarti masyarakat tidak lagi mendekati ibadah sebagai hubungan vertikal dengan Tuhan, melainkan sebagai prosedur administrasi ibadah yang harus "dibeli" dan "diselesaikan". Menurut saya, contoh komersialisasi ritual keagamaan tidak hanya terlihat dalam Islam. Dalam tradisi Kristen, misa Natal di gereja-gereja besar sering kali dikemas seperti konser dengan tiket dan sponsor. Di India, festival keagamaan seperti Diwali atau Kumbh Mela menjadi pasar besar untuk produk-produk konsumer, bahkan didukung kampanye marketing dari merek global. Di Bali, upacara Ngaben mulai banyak dipaketkan oleh travel agent sebagai atraksi budaya religius. Ritual yang awalnya dimaknai sebagai laku spiritual kini menjadi bagian dari industri pariwisata. Proses ini merupakan cerminan nyata dari disenchantment, di mana dimensi spiritual menjadi estetika kosong untuk konsumsi pasar. Secara akademik, banyak kajian mendukung analisis ini. Dalam beberapa sumber ilmiah yang saya baca, dijelaskan bagaimana simbol-simbol religius dalam kegiatan keagamaan seperti hewan kurban, pohon natal, patung dewata, atau ritual tari-tarian dipresentasikan secara visual dan performatif dalam media sosial, bukan lagi sebagai pengalaman kontemplatif. Hal ini membuat persepsi masyarakat terhadap ibadah kini lebih ditentukan oleh media dan "user experience", bukan oleh doktrin keagamaan. Akhirnya, sekali lagi rasionalitas menjadi mekanisme baru untuk mengatur pengalaman spiritual secara standar.
Menurut saya, yang lebih mengkhawatirkan adalah implikasi sosialnya. Ketika ibadah menjadi konsumsi, maka terjadi eksklusi ekonomi. Orang miskin bisa merasa "kurang beriman" karena tidak mampu membeli paket kurban terbaik, atau tidak dapat "merayakan" ritual karena tidak punya akses terhadap media sosial dan jasa keagamaan online. Proses ini perlu mendapat perhatian serius karena tidak hanya menyangkut moralitas dan nilai, tetapi juga potensi krisis spiritual dalam masyarakat modern. Weber sendiri tidak menolak rasionalitas, tetapi menekankan pentingnya kesadaran reflektif dalam menghadapi konsekuensinya. Jika ritual keagamaan terus disandera oleh logika pasar, maka yang hilang bukan sekadar sakralitas, tetapi juga potensi agama untuk membentuk solidaritas sosial dan kritik terhadap ketimpangan. Di sinilah Weber mengingatkan bahwa rasionalitas modern bukan netral, rasionalitas mengatur distribusi kekuasaan, termasuk kekuasaan atas makna dan pengalaman spiritual. Dengan pendekatan Weberian, ini dapat dikatakan sebagai proses di mana agama tidak lagi menstrukturkan ekonomi, tetapi ekonomi yang menstrukturkan agama.
Sebagai penutup, kita tahu fakta bahwa masyarakat modern tentu sudah tidak terikat atau menempatkan hal yang sakral bukan lagi sebagai prioritas, akibatnya tempat ibadah, prosesi keagamaan, bahkan simbol-simbol religius mengalami penetrasi oleh logika pasar yang menjadikan segalanya bernilai tukar. Ibadah yang mestinya menghadirkan kekhusyukan dan perenungan transendental kini dijejali dengan narasi paket, harga, bonus, dan visualisasi yang menarik demi perhatian publik. Ruang suci kehilangan auranya karena dijejali kalkulasi ekonomi dan estetika sosial. Ketegangan antara kebutuhan duniawi dan kesucian spiritual menjadi dilema yang tak terelakkan dalam masyarakat modern. Di satu sisi, umat beragama tetap memiliki kebutuhan praktis seperti kenyamanan, efisiensi, bahkan pengakuan sosial. Namun di sisi lain, ritual keagamaan mengandaikan pelepasan diri dari dunia profan dan penghayatan penuh terhadap nilai-nilai ilahi. Ketika kepentingan praktis mendominasi laku spiritual, substansi religius yang mengandung kontemplasi, pengorbanan, dan kerendahan hati menjadi tumpul. Sebagai refleksi terakhir, tulisan ini bukanlah seruan untuk menolak modernitas atau perkembangan teknologi, melainkan ajakan untuk menimbang kembali arah spiritualitas kita. Resistensi terhadap komersialisasi bukan berarti anti-modern, tetapi bentuk tanggung jawab kultural untuk menjaga agar dimensi spiritual tidak tenggelam dalam logika pasar. Agama bukan barang dagangan, dan ibadah bukan sekadar performa. Menjaga kesucian ritual berarti merawat ruang batin kolektif agar tetap hidup di tengah dunia yang makin rasional, hiruk pikuk, dan penuh kalkulasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI