Dari sisi dosen, beberapa akademisi progresif telah mengubah paradigma pengajaran mereka dengan menggunakan metode pembelajaran berbasis proyek, studi kasus, dan pembelajaran reflektif. Mereka mendorong mahasiswa untuk mengaitkan materi dengan kondisi sosial-politik yang aktual, serta mengkritisi peran universitas sebagai institusi yang ikut mereproduksi ketidaksetaraan. Contohnya adalah pengajaran yang mengintegrasikan isu keadilan sosial, hak asasi manusia, dan pembangunan berkelanjutan ke dalam kurikulum lintas disiplin, sehingga mahasiswa tidak hanya menguasai teori tapi juga menginternalisasi nilai-nilai pembebasan. Namun, tantangan terbesar tetap pada bagaimana menjadikan pedagogi pembebasan ini sebagai kebijakan resmi di universitas, bukan hanya inisiatif personal. Sistem seleksi dosen, standar akreditasi, dan tekanan pasar pendidikan tinggi sering kali menghambat inovasi pedagogis tersebut. Banyak dosen yang harus menyesuaikan metode mengajar dengan standar evaluasi yang menitikberatkan pada capaian angka dan output formal, bukan transformasi kesadaran kritis mahasiswa.
Dengan contoh-contoh di atas, kita melihat bahwa kritik Paulo Freire terhadap universitas tidak hanya relevan secara teori, tapi juga sangat nyata dalam praktik pendidikan tinggi saat ini. Transformasi radikal menuju pendidikan yang benar-benar membebaskan memerlukan keberanian, komitmen, dan perubahan sistemik yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan universitas.
Ivan Ilyich Menganggap Pendidikan Sebagai Saran Alienasi dan KomersialisasiÂ
Ivan Illich adalah salah satu tokoh kritikus pendidikan yang paling radikal dan visioner. Dalam karyanya yang terkenal, Deschooling Society (1971), Illich menentang keras sistem pendidikan formal yang menurutnya lebih banyak membelenggu dan mengalienasi daripada membebaskan individu. Sam seperti Friere, bagi Illich, pendidikan seharusnya bukan sekadar proses pengajaran yang terstruktur dan birokratis, melainkan sebuah praktik kebebasan yang memungkinkan setiap orang belajar secara mandiri dan sesuai kebutuhan. Namun, sistem universitas modern justru mengubah pendidikan menjadi produk komersial yang sarat dengan aturan dan sertifikasi formal. Menurut Illich, universitas dan sekolah sering kali berfungsi sebagai alat untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan memperkuat struktur sosial yang tidak adil. Pendidikan formal yang terlalu berfokus pada pemberian gelar dan sertifikat tidak lagi menjamin kualitas pengetahuan atau kemampuan sejati seseorang. Sebaliknya, sistem ini cenderung menciptakan ketergantungan pada institusi, di mana individu merasa harus tunduk pada aturan dan standar yang sudah ditetapkan, tanpa ruang untuk kreativitas dan kebebasan berpikir. Fenomena ini menyebabkan pendidikan berubah menjadi sesuatu yang eksklusif, mahal, dan jauh dari nilai pembebasan yang sesungguhnya.
Contoh nyata dari kritik Illich dapat dilihat pada praktik komersialisasi pendidikan tinggi yang terjadi di banyak negara. Di Amerika Serikat, misalnya, biaya kuliah yang semakin tinggi telah menjadikan pendidikan sebagai barang mewah yang hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu saja. Sistem ini memperlebar kesenjangan sosial dan mengalienasi mereka yang kurang beruntung secara ekonomi. Di sisi lain, muncul pula praktik "diploma mill" atau pabrik gelar yang hanya mengutamakan jumlah lulusan tanpa memperhatikan mutu pendidikan, sehingga gelar dan sertifikat kehilangan makna sebagai tanda kemampuan intelektual dan profesional. Selain itu, Illich juga menyoroti bagaimana sistem pendidikan formal berperan sebagai alat pengontrol sosial yang menentukan siapa yang berhak mendapatkan akses terhadap peluang dan kekuasaan. Sertifikasi formal menjadi mekanisme pembatas yang memperkuat stratifikasi sosial. Hal ini berdampak pada masyarakat yang semakin terfragmentasi dan menguatnya dominasi kelompok elit yang memiliki akses lebih luas ke pendidikan tinggi dan sumber daya. Oleh sebab itu, Illich menyerukan pembongkaran sistem pendidikan tradisional dan penciptaan alternatif yang lebih demokratis.
Salah satu gagasan Illich yang paling progresif adalah konsep "learning webs" atau jaringan pembelajaran bebas yang memungkinkan individu belajar dari siapa saja tanpa harus terikat pada institusi formal. Di era digital saat ini, gagasan ini menjadi sangat relevan dengan berkembangnya platform pembelajaran daring seperti YouTube, Coursera, dan berbagai komunitas belajar online. Dengan cara ini, akses terhadap pengetahuan menjadi lebih inklusif dan tidak tergantung pada status sosial atau latar belakang ekonomi. Illich menegaskan bahwa pendidikan sejati harus mengedepankan kebebasan, kreativitas, dan akses yang merata, bukan hanya sekadar memenuhi tuntutan formalitas dan sertifikasi. Sistem pendidikan yang terlalu birokratis dan komersialisasi justru menghalangi potensi individu dan memperkuat ketidakadilan sosial. Oleh karena itu, kita perlu terus mengeksplorasi dan mengembangkan model pendidikan alternatif yang lebih humanis dan memberdayakan, agar universitas tidak kehilangan esensi sebagai tempat pembebasan intelektual dan sosial. Intinya, Ivan Ilyich ingin bilang bahwa sekolah dan belajar pengetahuan itu bisa kapan saja dan dimana saja, sehingga sekolah justru dianggap menjadi penghalang kebebasan belajar.
Pendidikan adalah Mekanisme Kekuasaan dan Disiplin bagi Michael Foucault
Michel Foucault (1926--1984) adalah filsuf dan sejarawan Prancis yang dikenal dengan kajiannya tentang hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Dalam karya-karyanya seperti Discipline and Punish (1975) dan The History of Sexuality, Foucault mengeksplorasi bagaimana institusi modern menggunakan teknik-teknik disipliner untuk mengatur, mengontrol, dan membentuk individu. Foucault memperkenalkan gagasan bahwa power (kekuasaan) dan knowledge (pengetahuan) itu tidak terpisahkan istilahnya power/knowledge. Artinya, pengetahuan tidak pernah berdiri sendiri secara netral atau objektif, ia selalu terkait dan diproduksi dalam relasi kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya dipaksakan dari atas (top-down), tapi bekerja secara tersebar dan halus melalui jaringan sosial dan institusi. Menurut Foucault, institusi seperti universitas, rumah sakit, dan penjara menggunakan pengetahuan untuk mengawasi, mengatur, dan mengontrol individu. Pengetahuan yang dihasilkan dan diajarkan di institusi itu sekaligus menjadi alat kekuasaan yang menentukan siapa yang benar, siapa yang dianggap normal, serta siapa yang dikucilkan atau dikontrol. Contoh konkrit nya adalah standarisasi kurikulum dan kriteria kelulusan
universitas. Knowledgenya adalah standar kurikilim, yaitu pengetahuan yang "benar" melalui kurikulum resmi, silabus, dan materi ajar yang sudah disetujui. Ini bukan hanya soal mengajarkan ilmu, tetapi juga menetapkan apa yang boleh dipelajari dan dianggap sah. Dengan begitu, powernya adalah universitas, pihak mereka lah yang mengontrol pikiran mahasiswa dan membentuk "kebenaran" ilmiah yang diterima secara institusional. Dengan konsep power / knowledge, Foucault mengajak kita melihat bahwa pengetahuan akademik dan pendidikan tidak netral, melainkan terikat dan berfungsi sebagai alat kekuasaan yang memproduksi norma dan mengontrol individu dalam masyarakat. Jadi, kritik terhadap sistem universitas bukan hanya soal isi materi, tetapi juga soal siapa yang berkuasa menentukan apa yang boleh diketahui dan bagaimana individu dibentuk melalui pengetahuan itu.