Mohon tunggu...
Alfian Wahyu Nugroho
Alfian Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Penulis Artikel

Selamat membaca beragam tulisan yang menganalisis berbagai fenomena dengan teori-teori sosiologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Sinis melalui Mazhab Frankfurt

17 Mei 2025   13:51 Diperbarui: 20 Mei 2025   18:50 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tokoh-tokoh Mazhab Frankfurt (Sumber: https://www-thecollector-com.translate.goog/6-critical-theorists-frankfurt-school/)

Bagi teman-teman yang mendalami ilmu sosiologi, pasti akan berkenalan dengan Mazhab Frankfurt. Mazhab Frankfurt merupakan aliran dari tokoh-tokoh yang berparadigma kritis, muncul dari Institut für Sozialforschung di Jerman pada awal abad ke-20, konsep dan pemikiran yang mereka cetuskan menggabungkan Marxisme, psikoanalisis, dan teori sosial digunakan untuk mengkritik dominasi ideologis dalam masyarakat modern. Para tokoh aliran Frankfurt dikenal sebagai pelopor teori kritis yang menyoroti berbagai fenomena kekuasaan bekerja secara halus melalui budaya, pendidikan, dan media. Itu secara ringkasnya, saya ingin mengupas tuntas mazhab ini dengan semua sumber-sumber dan referensi yang sudah saya baca. Ada beberapa bagian yang ingin saya kupas, selamat membaca.

Asal Usul Historis Sebuah Kritik

Mazhab Frankfurt lahir dari sejarah yang membekas dalam-dalam pada tubuh modernitas. Situasi global pasca-Perang Dunia I dan II berada dalam pusaran krisis, kekacauan yang ditinggalkan oleh kehancuran perang, keruntuhan imperium, naiknya fasisme, serta krisis identitas modernitas menjadi latar kegelisahan para intelektual pada masa itu. Kapitalisme tampak tidak mampu menyelesaikan ketimpangan sosial, dan marxisme ortodoks dianggap gagal merespons secara holistik kondisi masyarakat modern yang kompleks. Di Eropa, manusia mulai meragukan janji-janji pencerahan bahwa rasio akan membebaskan, bahwa kemajuan teknologi berarti kemajuan moral. Dalam situasi ini, sekelompok intelektual membentuk Institut für Sozialforschung di Frankfurt pada 1923, yang kelak menjadi rumah bagi berbagai pemikiran kritis transdisipliner. Dalam lanskap inilah, para intelektual Frankfurt membangun proyek intelektual yang tidak sekadar menjelaskan, tapi mengkritik dan membebaskan.

Penting untuk ditegaskan bahwa istilah “Mazhab Frankfurt” bukanlah sebutan formal yang merujuk pada aliran doktrinal yang mapan layaknya agama, melainkan suatu sebutan untuk mengidentifikasi pendekatan kritis yang dikerjakan oleh sekelompok intelektual dengan latar belakang sosiologi, filsafat, ekonomi politik, dan psikoanalisis. Mereka tidak menulis satu doktrin yang koheren, tetapi bekerja secara reflektif dan kolaboratif dalam membangun kerangka teori sosial yang mampu mengungkap struktur dominasi laten dalam kehidupan modern, khususnya yang berlangsung melalui kebudayaan dan institusi-institusi sosial. Tujuan utama dari Mazhab Frankfurt sejak awal bukanlah sekadar memahami dunia, tetapi membebaskan manusia dari bentuk-bentuk penindasan yang tidak kasat mata baik itu represi psikologis, alienasi dalam kerja, atau hegemoni budaya. Mazhab Frankfurt memang sering dikaitkan dengan Neo-Marxisme, karena mengembangkan dan mengkritisi Marxisme klasik. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua Neo-Marxisme adalah bagian dari Mazhab Frankfurt. Mazhab ini lebih selektif dalam mengadopsi Marx, mereka menolak determinisme ekonomis dan reduksionisme kelas yang dominan dalam Marxisme ortodoks. Teori kritis Frankfurt menolak pandangan mekanistik dalam Marxisme dan justru memperluasnya ke ranah kultural dan psikososial.

Institut für Sozialforschung (Sumber: https://www.ifs.uni-frankfurt.de/history.html)
Institut für Sozialforschung (Sumber: https://www.ifs.uni-frankfurt.de/history.html)

Dalam pengertian ini, Mazhab Frankfurt adalah bentuk perlawanan intelektual terhadap reduksionisme dan positivisme ilmiah. Mereka menganggap bahwa ilmu sosial tidak bisa disamakan dengan ilmu alam yang netral dan bebas nilai. Sebaliknya, teori sosial harus reflektif dan historis, karena realitas sosial dibentuk oleh relasi kuasa yang terus berubah. Kritik Mazhab Frankfurt tertuju pada dominasi struktural yang menyusup ke dalam sistem pendidikan, media massa, bahkan cara berpikir manusia itu sendiri. Namun di sisi lain, pandangan-pandangan Mazhab Frankfurt juga sering dianggap sebagai bentuk pemikiran yang terlalu pesimistis, bahkan kadang-kadang kontradiktif. Kritik dari kalangan Marxis revolusioner, seperti yang tercantum dalam artikel Revolusioner.org (2021), menyebut Mazhab Frankfurt sebagai “kemunafikan terorganisir” karena terjebak dalam akademisme dan menjauh dari perjuangan kelas yang konkret. Di sinilah letak paradoks Mazhab Frankfurt ia mencoba membongkar kekuasaan, tetapi kadang larut dalam kompleksitas analisis yang nihilistik.

Dengan demikian, pendahuluan yang saya tulis  ini tidak hanya menggambarkan latar berdirinya Mazhab Frankfurt secara historis, tetapi juga menunjukkan kompleksitas posisi teoretisnya di antara Marxisme, teori sosial kritis, dan humanisme. Mazhab ini menolak jadi dogma, tetapi juga enggan tunduk pada determinisme struktural. Dalam dunia akademik dan budaya, warisan mereka masih hidup sering diperdebatkan, dikritik, namun tetap menjadi fondasi penting bagi teori sosial kritis hingga hari ini.

Ideologi, Tokoh dan Sumbangsih Mazhab Frankfurt

Inti pemikiran Mazhab Frankfurt terdapat satu gagasan sentral yang konsisten, saya menyimpulkan sebagai humanisme melalui kritik ideologi. Mereka menolak untuk tunduk pada positivisme yang mengklaim sebagai satu-satunya bentuk kebenaran ilmiah yang netral dan objektif. Bagi Mazhab Frankfurt, positivisme justru menjadi instrumen kekuasaan ia menyingkirkan nilai-nilai, mengabaikan konflik sosial, dan menjadikan realitas sebagai objek yang beku. Dalam Traditional and Critical Theory (Horkheimer, 1937), dibedakan antara teori tradisional (positivistik, teknokratik, dan adaptif) dan teori kritis (emansipatoris, reflektif, dan historis). Ideologi, dalam hal ini, bukan hanya sistem gagasan politik, tapi keseluruhan struktur makna yang membuat ketidakadilan menjadi tampak normal dan tak terbantahkan.

Mazhab Frankfurt berkembang dalam beberapa generasi pemikir. Generasi pertama terdiri dari tokoh-tokoh paling terkenal seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno. Mereka membentuk fondasi teori kritis dengan cara menggabungkan Marxisme non-dogmatis, psikoanalisis Freudian, dan filsafat Hegelian. Adorno dan Horkheimer memperlihatkan bagaimana pencerahan modern yang mestinya membebaskan justru melahirkan bentuk baru dari dominasi dan rasionalitas teknis menggantikan nalar kritis, dan masyarakat masuk dalam fase total administration. Tokoh tokoh generasi kedua dipimpin oleh Jürgen Habermas, yang menggeser fokus teori kritis ke arah komunikasi, bahasa, dan ruang publik. Habermas mengembangkan pemikiran bahwa emansipasi tidak hanya bisa dicapai melalui revolusi ekonomi, tetapi juga melalui rekonstruksi rasionalitas komunikatif yang memungkinkan konsensus tanpa dominasi. Dalam banyak hal, Habermas bersifat lebih normatif dan demokratis dibandingkan pendahulunya. Tokoh tokoh generasi ketiga, lebih sering mengangkat topik dari kebutuhan manusia akan pengakuan intersubjektif sebagai dasar etis masyarakat adil. Honneth menekankan bahwa ketidakadilan sosial tidak hanya soal eksploitasi ekonomi, tapi juga soal penghinaan simbolik dan kegagalan dalam relasi sosial yang mengakui martabat individu. Beragam teori penting muncul dari Mazhab ini, yang paling sering dimunculkan adalah Teori Kritis itu sendiri, hingga gagasan seperti Industri Budaya (Culture Industry), teori ini mengkritik bagaimana media massa dan produk budaya menjadi instrumen kontrol sosial yang menyamar sebagai hiburan. Teori ini banyak mengkritik masyarakat industri lanjut yang menciptakan manusia satu dimensi mereka yang tidak lagi mampu berpikir kritis karena sudah ditelan logika konsumsi dan kenyamanan sistemik.

Saya akan mencoba meringkas tokoh-tokoh dari Mazhab Frankfurt, berdasarkan semua sumber relevan yang saya baca.

Generasi pertama (1920-1960-an)

1. Max Horkheimer

  • Pemikir utama Critical Theory, Direktur Institut Frankfurt.
  • Fokusnya dominasi struktural, kritik terhadap positivisme, dan peran ideologi.

2. Theodor W. Adorno

  • Filosof dan sosiolog yang mendalami budaya populer dan estetika.
  • Karya kunci, Dialectic of Enlightenment (bersama Horkheimer), The Culture Industry.

3. Herbert Marcuse

  • Penghubung antara filsafat kritis dan gerakan radikal (’68).
  • Karya pentingny, One-Dimensional Man, Eros and Civilization.

4. Erich Fromm

  • Psikoanalis yang menggabungkan Freudianisme dengan Marxisme.
  • Karyanya, Escape from Freedom, kritik terhadap otoritarianisme.

5. Leo Löwenthal

  • Fokus pada sosiologi sastra dan budaya massa.
  • Analisis ideologi dalam sastra dan media.

6. Friedrich Pollock

  • Ahli ekonomi kritis, pionir konsep planned capitalism.

Generasi kedua

1. Jürgen Habermas

  • Teorinya komunikasi dan rasionalitas deliberatif.
  • Karya besarnya, The Theory of Communicative Action, Structural Transformation of the Public Sphere.

2. Karl-Otto Apel

  • Etika diskursus dan rasionalitas transendental.

Generasi ketiga

1. Honneth

  • Pengembang Recognition Theory.
  • Karya utama, The Struggle for Recognition, kritik sosial berbasis etika relasional.

2. Rainer Forst

  • Fokus pada keadilan normatif dan kritik kekuasaan.

3. Nancy Fraser (pengaruh kuat dari luar Frankfurt)

  • Meski tidak resmi bagian Mazhab Frankfurt, Fraser meneruskan tradisi teori kritis dengan analisis interseksional.

Selanjutnya, saya akan meringkas beberapa konsep dan teori utama dalam kajian Mazhab Frankfurt,

1. Teori Kritis (Critical Theory) 

  • Horkheimer & Adorno, teori yang bertujuan membebaskan manusia dari penindasan struktural, bukan sekadar menjelaskan dunia tetapi mengubahnya. Lawan dari teori tradisional (positivistik).

2. Dialektika Pencerahan (Dialectic of Enlightenment) 

  • Horkheimer & Adorno, pencerahan justru melahirkan dominasi baru karena nalar instrumental menggantikan nalar kritis. Rasionalitas modern menjadi alat kontrol.

3. Industri Budaya (Culture Industry) 

  • Adorno & Horkheimer, budaya populer dalam kapitalisme telah menjadi alat produksi massal yang menumpulkan kesadaran kritis dan mendorong konformitas.

4. Manusia Satu Dimensi (One-Dimensional Man) 

  • Marcuse, manusia modern kehilangan kemampuan berpikir kritis karena dikonstruksi untuk menyatu dengan sistem dan menolak perubahan.

5. Represi Seksual dan Kebebasan (Eros and Civilization) 

  • Marcuse, menggabungkan Freud dan Marx, represi seksual dalam masyarakat modern berperan dalam penundukan.

6. Psikoanalisis Sosial 

  • Fromm, otoritarianisme dan kepatuhan sosial dijelaskan melalui kebutuhan manusia akan keamanan dan pelarian dari kebebasan.

7. Teori Tindakan Komunikatif (Theory of Communicative Action) 

  • Habermas, emansipasi sosial dicapai lewat komunikasi rasional tanpa dominasi, pentingnya ruang publik deliberatif.

8. Rasionalitas Instrumental vs Rasionalitas Substantif 

  • Habermas, kritik terhadap dunia yang dikendalikan oleh logika efisiensi dan teknokrasi, bukan etika dan komunikasi.

9. Teori Pengakuan (Recognition Theory) 

  • Honneth, ketidakadilan sosial berasal dari kegagalan dalam memberi pengakuan terhadap martabat manusia. Tiga bentuk pengakuan: cinta (relasi intim), hak (hukum), solidaritas (sosial).

9. Etika Diskursus 

  • Apel & Habermas, norma sosial yang valid harus diuji dalam wacana rasional oleh semua pihak yang terdampak.

10. Ruang Publik (Public Sphere) 

  • Habermas, ruang dimana warga berdiskusi rasional tanpa dominasi. Dalam masyarakat modern, ruang ini terdistorsi oleh media dan kapitalisme.

Sumbangsih Mazhab Frankfurt dapat dirunut ke berbagai aspek kehidupan kontemporer. Dalam pendidikan, misalnya, mereka mengkritik sistem pendidikan modern yang telah menjadi teknokratis dan kehilangan tujuan humanistiknya. Pendidikan bukan lagi alat pembebasan, melainkan reproduksi ideologi dominan. Dalam ranah sosial, mereka membongkar cara ideologi bekerja melalui praktik sehari-hari yang membungkam perlawanan mulai dari norma keluarga, tontonan media, hingga struktur bahasa yang memformat kesadaran. Dalam ekonomi, Mazhab ini tidak hanya mengulang kritik klasik terhadap kapitalisme, tetapi juga menggali bagaimana fetisisme komoditas dan konsumsi menciptakan bentuk eksploitasi yang lebih subtil namun menyeluruh. Sedangkan dalam politik, mereka menaruh kecurigaan mendalam terhadap demokrasi liberal, terutama karena ruang publik telah dikolonisasi oleh logika pasar dan media korporat. Kontribusi Mazhab Frankfurt bukanlah pada penciptaan solusi instan, melainkan pada cara berpikir yang terus-menerus mempertanyakan struktur. Kritik mereka bersifat genealogis melacak asal-usul ketidakadilan dan dialektis, yakni mengungkap kontradiksi dalam sistem yang tampaknya stabil. Bahkan kritik tajam terhadap “kebebasan palsu” dalam masyarakat kapitalistik hari ini, mulai dari ilusi pilihan di media sosial hingga wacana self-improvement yang neoliberalistik, menunjukkan relevansi terus-menerus dari kerangka pemikiran Mazhab ini.

Horkheimer & Adorno (Sumber: https://jacobin.com/2020/02/max-horkheimer-frankfurt-school-adorno-working-class-marxism)
Horkheimer & Adorno (Sumber: https://jacobin.com/2020/02/max-horkheimer-frankfurt-school-adorno-working-class-marxism)

Bahasa sederhananya, secara sarkas Mazhab Frankfurt ini adalah sekumpulan ideologi yang selalu memprotes apapun karena terlalu pesimis dan elit. Mazhab ini dituduh menjauh dari realitas kelas pekerja dan terlalu larut dalam “sindrom akademik” lebih sibuk mengkritik ketimbang bertindak. Tapi justru di sinilah nilai reflektif mereka tidak semua pembebasan datang dari agitasi politik langsung. Ada kalanya, dunia perlu dicurigai terlebih dahulu sebelum diselamatkan.

Membaca Fenomena Melalui Mazhab Frankfurt 

Mazhab Frankfurt yang mengembangkan teori kritis sebagai upaya membebaskan kesadaran dari dominasi ideologi. Saya mau mencontohkan narasi penerapan Mazhab Frankfurt dalam melihat fenomena sosial. Saya contohkan bagaimana Mazhab Frankfurt dalam melihat fenomena media sosial misalnya TikTok, media tersebut menurut teori kritis bukan sebagai ruang bebas ekspresi, tetapi sebagai struktur hegemonik baru yang secara halus mereproduksi bentuk-bentuk penindasan simbolik dan kultural. 

Dalam konsep “industri budaya” (Horkheimer & Adorno, 1944), konten populer tidak tumbuh secara organik, melainkan diproduksi dan disebarluaskan melalui mekanisme kapitalistik yang memanipulasi kesadaran massa. Viralitas TikTok adalah wujud nyata dari ini konten dioptimalkan agar menarik algoritma, bukan mendalam secara substansi. Kreativitas menjadi sekunder, tergantikan oleh “template” konten lipsync, dance challenge, atau tren suara tertentu. Ini menciptakan budaya homogen dengan pengguna sebagai produsen semu yang sebenarnya dikendalikan oleh logika teknokapitalisme. Bagi Mazhab Frankfurt, media seperti TikTok tidak sekadar menyebarkan hiburan, tetapi membentuk cara berpikir dan merasakan publik. Konten viral bukan hasil kreativitas murni, melainkan hasil seleksi algoritmik yang ditentukan oleh logika pasar mana yang mudah dikonsumsi, cepat dibagikan, dan menghasilkan impresi maksimum. Industri budaya, menurut Mazhab Frankfurt, beroperasi dalam kerangka rasionalitas instrumental di mana semua nilai direduksi menjadi fungsi, dan semua kreativitas menjadi sekadar bentuk produksi. Tren TikTok bukanlah refleksi kebebasan individu, tetapi bentuk adaptasi terhadap logika viralitas. Konten yang dihasilkan berulang-ulang dalam pola seragam, mengikuti musik yang sama, gaya visual yang identik, bahkan ekspresi wajah yang distandarisasi. Inilah homogenisasi budaya yang dikhawatirkan Adorno, individu tidak lagi mencipta, tetapi meniru sebagai bentuk bertahan di ekosistem kompetitif algoritma.

Dalam konteks ini, TikTok tidak jauh berbeda dari pabrik. Tapi yang diproduksi bukan barang, melainkan self as commodity, diri sebagai komoditas. Konsep fetisisme komoditas dari Marx dan kritik satu dimensi dari Herbert Marcuse sangat relevan di sini. Para kreator konten secara sadar membentuk citra diri agar sesuai dengan keinginan pasar menarik, lucu, relatable, dan ‘sopan’ secara algoritmik. Mereka mengejar bentuk pengakuan yang bersifat kuantitatif seperti likes, views, comments. Eksistensi kultural berubah menjadi transaksi simbolik, yang dikendalikan oleh logika teknokapitalisme yang saya cantumkan sebelumnya. Dalam masyarakat satu dimensi ini, resistensi terhadap sistem sering kali dikemas sebagai bagian dari sistem itu sendiri seperti kritik sosial yang diviralkan justru oleh sistem yang dikritik. Tidak sedikit pula yang menggunakan TikTok untuk menyebarkan edukasi dan pemikiran progresif mulai dari feminisme, psikoanalisis populer, sampai teori sosial. Namun dalam kerangka Mazhab Frankfurt, ini disebut sebagai bentuk pencerahan semu (dialektika pencerahan). Ketika pengetahuan dibatasi durasinya oleh format 60 detik, ketika diskusi kompleks direduksi menjadi ‘fun fact’ dan potongan motivasi, maka pengetahuan itu sendiri telah kehilangan potensi emansipatorisnya. Ia menjadi konsumsi ringan yang tidak mengubah kesadaran, hanya memuaskan rasa tahu sesaat. Konten edukatif yang viral seringkali lebih banyak menampilkan estetika kritis dibandingkan kedalaman analisis kritis itu sendiri.

TikTok (Sumber: https://www.kompasiana.com/muhammadalfiansah5751/63bdc7e73f640d18412f0b92/munculnya-budaya-populer-di-media-sosial-tiktok)
TikTok (Sumber: https://www.kompasiana.com/muhammadalfiansah5751/63bdc7e73f640d18412f0b92/munculnya-budaya-populer-di-media-sosial-tiktok)

Jika kita berpikir kritis dengan fondasi Mazhab Frankfurt, fenomena yang ada di dalam TikTok juga memperlihatkan kegagalan ruang publik dalam bentuk digital. Menurut Habermas, ruang publik yang sehat seharusnya dibangun dari komunikasi rasional, saling pengertian, dan deliberasi. Namun TikTok sebagai medium visual-auditori cepat justru mendorong reaksi emosional instan daripada argumentasi. Algoritma tidak memberi ruang pada diskusi kompleks. Sebaliknya, ia mendorong konten yang memicu keterlibatan emosional, marah, sedih, geli, atau kagum. Bentuk pengakuan yang terjadi di TikTok juga sangat semu karena pengakuan didasarkan pada performa viral, bukan pada penghargaan terhadap eksistensi dan perjuangan autentik seseorang. Meski demikian, Mazhab Frankfurt tidak menolak teknologi secara mutlak. Mereka hanya mendesak agar masyarakat mampu mengembangkan kesadaran kritis atas media dan struktur ideologinya. Dalam konteks TikTok, ini berarti mengembangkan kemampuan membaca algoritma sebagai bentuk kekuasaan simbolik. Kreator dan pengguna yang sadar bisa mulai membongkar pola viralitas, memanfaatkan platform untuk membentuk ruang kontra-hegemonik misalnya dengan memproduksi konten reflektif, kolaboratif, atau menolak tren estetika dominan. Kritik terhadap budaya populer tidak harus bersifat elitis; sebaliknya, ia bisa dijalankan dari dalam, dengan strategi kultural yang cerdas dan sadar posisi.

Dengan demikian, TikTok bukan sekadar platform hiburan, melainkan medan pertarungan ideologi. Dalam dunia yang terlihat semakin bebas, Mazhab Frankfurt justru mengingatkan kita bahwa kontrol dan represi bisa hadir dalam bentuk yang tidak kentara tersembunyi dalam layar ponsel, algoritma, dan kebiasaan scroll tanpa henti. Melalui TikTok, kapitalisme telah mengubah waktu senggang menjadi produksi nilai tambah, dan kesenangan menjadi alat kendali. Inilah momen ketika kritik sosial paling relevan untuk dikembalikan ke tengah budaya populer agar kesadaran tidak berhenti pada layar, tetapi bergerak menembus realitas.

Mazhab Frankfurt Menimbulkan Skeptisme, Sinisme dan Sifat Pesimistis

Saya akan mencontoh bagaimana seseorang yang menganalisis suatu fenomena menggunakan mazhab ini akan membuatnya menjadi lebih skeptis, sinis dan pesimis dalam melihat segala hal karena narasinya selalu negatif dan selalu menyalahkan berbagai pihak. Salah satu dampak negatif karena terlalu kritis dari Mazhab ini, memang analisisnya terkesan keren karena Mazhab Frankfurt dikenal dengan gaya tulisan yang sangat filosofis, abstrak, dan teoretis. Analisis mazhab ini sangat ahli membedah realitas, tetapi gagal menyentuh massa atau mempengaruhi gerakan sosial secara langsung. Ini membuat teori mereka tampak seperti "kritik dari menara gading akademis", tidak menyentuh realitas sehari-hari secara praktis. Meskipun masuk secara logika, bagi netizen media sosial, seseorang yang menggunakan mazhab ini terlalu overthinking.

Saya ambil contoh, trend Velocity di TikTok 2025, trend menampilkan editan video berkecepatan tinggi dengan transisi visual ekstrem, efek glitch, dan latar musik EDM atau hyperpop yang intens. Mazhab Frankfurt menganalisis nya dengan sangat akademis, berikut analisisnya, Dalam perspektif Mazhab Frankfurt, terutama Adorno dan Horkheimer, tren semacam ini dapat dibaca sebagai gejala lanjutan dari rasionalitas instrumental sebuah kondisi di mana semua hal, termasuk ekspresi seni dan estetika, tunduk pada prinsip efisiensi, produktivitas, dan kegunaan. Keindahan tidak lagi bermakna reflektif, melainkan diukur melalui kemampuannya menarik perhatian dalam hitungan detik. Kecepatan menjadi komoditas utama ketika waktu menjadi arena produksi kapitalistik.

Atau misalnya, lagu-lagu viral yang muncul di FYP. Lagu-lagu seperti "Stecu Stecu", "Garam dan Madu", ataupun "Bunga Abadi" menjadi viral di TikTok karena mampu mewakili suasana hati pengguna dan menjadi media ekspresi emosional. Mazhab Frankfurt akan melihat tren ini sebagai contoh bagaimana industri budaya mengeksploitasi emosi individu untuk tujuan komersial, mengubah ekspresi pribadi menjadi komoditas yang dapat dijual. Menurut Mazhab Frankfurt, musik populer yang diproduksi massal berfungsi sebagai alat ideologis yang menyamarkan realitas sosial yang penuh represi. Lagu-lagu yang viral di TikTok ini sering mereproduksi tema cinta, kehilangan, dan nostalgia dengan formula yang repetitif dan dapat diprediksi mewakili apa yang oleh Adorno disebut sebagai “standar budaya”. Alih-alih membebaskan, musik tersebut menenangkan dan menghibur secara semu (false needs), sehingga audiens tidak terdorong untuk mempertanyakan kondisi sosial yang menindas mereka.

Trend Stecu Stecu (Sumber: https://www.tiktok.com/@xinxin.go/video/7490036963895004434)
Trend Stecu Stecu (Sumber: https://www.tiktok.com/@xinxin.go/video/7490036963895004434)

Lebih dari sekadar hiburan, musik-musik viral ini menjadi bagian dari ritual digital afeksi di mana pengguna TikTok mengasosiasikan potongan lagu dengan video breakup, kehilangan orang tua, hingga rasa gagal. Ini menciptakan ilusi koneksi dan komunitas emosional, padahal sebenarnya yang sedang terjadi adalah komodifikasi afeksi. Industri musik dan platform digital memperoleh keuntungan finansial dari klik, views, dan engagement yang justru bersumber dari trauma kolektif atau pengalaman pribadi audiens. Adorno menekankan bahwa musik pop industrial kehilangan aura seni sejatinya, karena menjadi bagian dari produksi berantai. Lagu lagu viral yang ada di FYP dipopulerkan bukan karena inovasi musikalnya, melainkan karena algoritma TikTok mendorongnya ke permukaan berulang kali dipakai karena mudah, relatable, dan sesuai dengan estetika algoritmik. Emosi manusia yang autentik dikemas dalam formula yang dapat ditransaksikan.

Namun, sisi paling ironis dari semua ini adalah bahwa ekspresi emosi dalam lagu-lagu tersebut tidak membuka ruang kritik struktural, tetapi justru memperkuat sistem yang menindas. Ini menciptakan semacam katarsis palsu yang membuat pengguna merasa telah mengeluarkan rasa sakitnya, padahal hanya memasukkan diri mereka lebih dalam ke dalam struktur ekonomi afeksi. Seperti yang ditulis oleh Horkheimer, “apa yang diklaim sebagai kebebasan ekspresi justru menjadi bentuk baru dari dominasi ideologis”. Dengan demikian, viralitas lagu di TikTok tidak hanya mencerminkan selera audiens, tetapi memperlihatkan bagaimana budaya populer telah menjadi sistem penjinakan yang sangat halus. Mazhab Frankfurt akan menyebut ini sebagai kemenangan kapitalisme lanjutan mengubah kesedihan menjadi suara latar yang bisa dijual, disukai, dan didaur ulang.

Sebagai penutup, Mazhab Frankfurt sejak awal memang bukan proyek yang bertujuan memberi solusi praktis atau memandu kebijakan publik. Ia adalah bentuk pemberontakan intelektual yang terus-menerus gelisah terhadap dunia modern yang penuh kontradiksi. Para pemikirnya seperti Horkheimer, Adorno, dan Marcuse bukanlah “pembangun dunia baru”, melainkan “pengganggu wacana lama” yang memaksa kita melihat kembali apa yang tampak normal, wajar, dan tak terbantahkan. Mereka skeptis terhadap sains yang telah diprivatisasi, terhadap budaya yang dikomodifikasi, dan terhadap politik yang dijalankan atas nama kebebasan tetapi penuh manipulasi. Banyak kritik yang mengatakan bahwa Mazhab Frankfurt terlalu sinis, bahkan anti-kemajuan. Mereka menolak positivisme, menyerang industri budaya, dan mencurigai setiap bentuk ekspresi populer sebagai alat hegemoni. Namun justru dalam posisi itulah kekuatan mazhab ini terletak. Ia tidak dimaksudkan untuk memuaskan, tapi untuk mengguncang. Ia tidak hendak memberi kenyamanan, tapi justru menyentil nalar kritis yang tertidur dalam masyarakat yang serba cepat, visual, dan algoritmik. Seperti ditulis dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, “Critical Theory is not a doctrine, but a constant interrogation of ideology.”

Mazhab Frankfurt seperti pemikiran jadul yang tiba-tiba menjadi relevan kembali. Ketika TikTok, YouTube Shorts, dan Instagram Reels menjanjikan kecepatan, hiburan, dan ekspresi diri, Mazhab Frankfurt justru bertanya “Ekspresi diri yang seperti apa? Atas kepentingan siapa? Dan mengapa semua ini begitu mirip?” Dunia digital bukanlah ruang bebas, tetapi ruang produksi makna yang sudah diarahkan oleh kepentingan ekonomi dan struktur kekuasaan. Sikap kritis yang ditanamkan Mazhab Frankfurt ibarat virus intelektual yang tidak pernah sembuh. Ia menolak tunduk pada kebiasaan berpikir mainstream, bahkan ketika hal itu membuatnya tampak elitis atau terlalu teoritis. Tapi justru karena itulah ia menjadi perangkat gangguan epistemologis yang sangat penting hari ini. Dalam masyarakat yang terlalu nyaman dengan ilusi kebebasan, Mazhab Frankfurt menyerukan untuk berpikirlah ulang. Dalam budaya yang terlalu terbiasa dengan hiburan, ia meminta kita untuk mencurigai. Dalam politik yang terlalu sering menggunakan retorika moral, ia mengajak kita membongkar ideologinya.

Tentu saja ada paradoks dalam pendekatan Mazhab Frankfurt. Mereka ingin membebaskan, tapi tidak pernah percaya pada cara-cara konvensional untuk membebaskan. Mereka mencintai kebebasan, tapi curiga pada semua institusi yang mengklaim membawanya. Mereka menolak sistem yang represif, namun tidak pernah puas dengan alternatif yang ada. Bahkan Habermas pun pada akhirnya harus “memberi arah baru” agar kritik mereka tidak hanya berujung pada pesimisme intelektual. Tapi mungkin, di situlah letak pentingnya, Mazhab Frankfurt tidak pernah selesai dan memang tidak ingin selesai. Pada intinya, Di tengah dunia yang makin dangkal dan cepat, di mana manusia berkompetisi dalam kecepatan konsumsi dan pelupaan, Mazhab Frankfurt berdiri seperti pengingat sunyi bahwa tidak semua yang viral itu penting, tidak semua yang menyenangkan itu membebaskan, dan tidak semua yang kita anggap ‘diri kita sendiri’ itu benar-benar milik kita. Sebuah dunia yang terlalu diam terhadap kekuasaan membutuhkan suara-suara “pengganggu” seperti Frankfurt. Dan mungkin, justru karena mereka tidak pernah puas, kita tetap membutuhkannya.

Referensi utama yang saya gunakan,

Adorno, Theodor W. 1991. The Culture Industry Selected Essays on Mass Culture. London: Routledge

Thayf, Hendragunawan S. 2021. Teori Kritis Mazhab Frankfurt (Sebuah Pengantar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

https://iep.utm.edu/critical-theory-frankfurt-school/

https://www-thecollector-com.translate.goog/6-critical-theorists-frankfurt-school/

https://revolusioner.org/mazhab-frankfurt-kemunafikan-terorganisir-marxisme-akademis-2/

https://youtu.be/cFeXHBlQVj4?si=5pQKEyra4udZoqnf

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun