Mohon tunggu...
Alfian Wahyu Nugroho
Alfian Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Penulis Artikel

Selamat membaca beragam tulisan yang menganalisis berbagai fenomena dengan teori-teori sosiologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berbagai Kritik Radikal Tokoh Sosiologi Pendidikan dalam Memandang Sistem Universitas

18 Mei 2025   14:57 Diperbarui: 20 Mei 2025   18:39 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tokoh-tokoh sosial pendidikan radikal (Sumber: Kolase pribadi)

Saya masih ingat saat scroll Instagram dan X, media sosial Indonesia sempat ramai tentang perdebatan antara mereka yang kuliah dan mereka yang tidak kuliah. Antara siswa yang lanjut pendidikan ke perguruan tinggi dan mereka yang langsung terjun ke dunia kerja setelah lulus SMA atau SMK. Banyak pernyataan kontroversial seperti "kuliah hanyalah pengangguran dengan gaya" atau "kuliah tidak penting, mending langsung kerja" menjadi viral di semua platform media sosial, sehingga memicu diskusi luas tentang nilai dan relevansi pendidikan tinggi di era modern. Fenomena ini mencerminkan keresahan dan ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap sistem pendidikan tinggi, khususnya universitas. Universitas, yang selama ini dipandang sebagai institusi pencetak generasi intelektual dan pemimpin masa depan, kini menghadapi kritik tajam mengenai efektivitas, aksesibilitas, dan relevansinya dengan kebutuhan dunia kerja. Biaya kuliah yang tinggi, ketimpangan akses pendidikan, serta ketidaksesuaian antara kurikulum dan realitas lapangan menjadi beberapa isu yang sering disorot. 

Saya sendiri tentu masuk di universitas, saya pun masih ingat salah satu mata kuliah yang pernah saya pelajari, yaitu Teori Sosial Pendidikan. Waktu itu dosen TSP pernah secara eksplisit membuat pertanyaan yang intinya "apakah pendidikan itu netral?". Kita semua tahu bahwa pendidikan adalah pilar utama kemajuan bangsa, ruang mencari ilmu, tempat menempa karakter, dan sarana mobilitas sosial. Namun pertanyaan itu menjadi awal dari ketidakterdugaan bahwa pendidikan, termasuk sistem universitas, tidaklah sebersih dan semurni yang kita bayangkan. Selama berabad-abad, universitas dianggap sebagai kuil pengetahuan, tempat para ilmuwan, dosen, dan mahasiswa bergumul dengan ide-ide besar demi kemajuan umat manusia. Tapi sejarah dan teori sosial justru menunjukkan bahwa pendidikan tinggi sering kali menjadi bagian dari struktur kuasa yang lebih besar. Ia tidak netral. Ia bisa menjadi alat ideologis, medium dominasi kelas, bahkan arena kontrol sosial.

Maka dari itu, penting untuk meninjau kembali peran universitas dalam masyarakat modern melalui lensa kritis. Saya akan menulis dari semua sumber relevan yang saya baca terkait pandangan para tokoh sosiologi dan pemikir sosial yang telah lama mengajukan kritik radikal terhadap sistem pendidikan, menyoroti bagaimana institusi pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai tempat transfer ilmu, tetapi juga sebagai alat reproduksi struktur sosial dan kekuasaan. Dengan memahami kritik-kritik ini, kita dapat lebih bijak dalam mengevaluasi dan merumuskan kembali tujuan serta metode pendidikan tinggi di Indonesia. Ditambah, menurut saya, dengan memahami kritik radikal terhadap universitas kita tidak menerima pendidikan begitu saja sebagai "ruang belajar," melainkan juga membentuk diri kita sebagai apa di masyarakat nanti. Berikut adalah paparan pemikiran para tokoh sosiolog kritis yang mengkritik sistem pendidikan di universitas.

Banking Education Paulo Friere sebagai Bentuk Penindasan dan Kebebasan 

Paulo Freire merupakan salah satu pemikir paling radikal dalam kajian pendidikan kritis. Dalam magnum opus-nya Pedagogy of the Oppressed (1970), Freire memandang pendidikan bukan sebagai proses netral dan teknis semata, melainkan sebagai medan politik dan ideologis. Pendidikan, menurut Freire, dapat menjadi alat pembebasan, namun juga berpotensi menjadi instrumen penindasan yang sangat halus. Paulo Freire mengkritik sistem pendidikan yang selama ini cenderung dipahami secara mekanistik dan hierarkis, khususnya dalam konteks universitas modern, sebagai "banking model". Model ini menempatkan mahasiswa hanya sebagai penerima pasif materi yang diajarkan, tanpa diberi ruang untuk bertanya, berdialog, atau mengkritik isi pelajaran maupun sistem itu sendiri. Dalam konteks nyata, kita dapat melihat bagaimana pengajaran di banyak universitas masih mengekang kreativitas dan pemikiran kritis mahasiswa melalui kurikulum yang sangat kaku, berbasis hafalan dan standar yang seragam, serta fokus pada pengujian yang lebih menilai daya ingat daripada pemahaman mendalam.

Paulo Friere (Sumber: https://www.record.com.br/autores/paulo-freire/)
Paulo Friere (Sumber: https://www.record.com.br/autores/paulo-freire/)

Contoh nyata penerapan model ini terlihat ketika universitas menjadi institusi yang lebih mengutamakan produksi lulusan dengan sertifikat sebagai "produk" daripada pengembangan kemampuan kritis. Mahasiswa didorong untuk mengejar IPK tinggi dan ijazah semata tanpa benar-benar memahami konteks sosial, ekonomi, dan politik di balik ilmu yang dipelajari. Hal ini berpotensi menciptakan lulusan yang menjadi "mesin reproduksi" struktur sosial yang ada, yang secara tidak sadar mempertahankan ketimpangan dan penindasan sistemik, daripada menjadi agen perubahan sosial.

Freire menegaskan bahwa pendidikan harus menjadi praktik kebebasan, di mana mahasiswa dan dosen secara dialogis bersama-sama membangun pengetahuan yang relevan dengan pengalaman dan kondisi nyata mereka. Namun, dalam praktik universitas modern, hubungan ini justru jarang terjadi. Dosen masih berposisi sebagai "pemilik kebenaran" dan mahasiswa sebagai "penampung" informasi. Interaksi ini menegaskan pola dominasi dan ketidaksetaraan yang merefleksikan relasi sosial yang lebih luas di masyarakat. Misalnya, mahasiswa dari latar belakang kelas sosial bawah sering mengalami marginalisasi dalam proses akademik karena kurangnya akses ke sumber daya, pendampingan, dan pengakuan terhadap pengalaman hidup mereka. Freire mengkritik bagaimana universitas sering kali menjadi alat legitimasi bagi ideologi penguasa dan kapitalisme. Dalam kerangka ini, ilmu pengetahuan tidak lagi netral, melainkan dipakai untuk memproduksi "kebenaran" yang menguntungkan kelompok elit dan mempertahankan hegemoni sosial. Contohnya adalah orientasi riset yang lebih mengutamakan hasil yang bisa dipatenkan atau komersial, ketimbang riset kritis yang menyuarakan isu-isu ketidakadilan sosial. Hal ini mengakibatkan universitas gagal menjalankan fungsinya sebagai ruang publik kritis yang membuka wacana alternatif.

Kritik Freire menuntut reformasi radikal yang menggeser paradigma pendidikan dari sistem banking menjadi pedagogi pembebasan yang menekankan kesadaran kritis (conscientization / conscientizao), yaitu ketika individu menyadari kondisi sosialnya dan bertindak untuk mengubah struktur yang menindas. Pendidikan di universitas harus membuka ruang bagi mahasiswa untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan menantang struktur sosial yang menindas, melalui pembelajaran partisipatif dan pengalaman reflektif. Inilah yang menjadi jalan untuk membangun manusia merdeka yang mampu berkontribusi pada perubahan sosial yang lebih adil. Tanpa kesadaran kritis, pendidikan hanya akan mereproduksi struktur sosial yang timpang memperkuat status quo, melanggengkan dominasi kelas penguasa, dan mengebiri potensi emansipatoris dari ilmu pengetahuan.

Salah satu contoh nyata dari kegagalan universitas menerapkan pedagogi pembebasan Freire dapat dilihat dalam sistem perkuliahan yang masih dominan menggunakan metode ceramah satu arah. Di banyak perguruan tinggi, dosen mengajar dengan gaya monolog tanpa mendorong diskusi kritis atau refleksi bersama. Misalnya, dalam mata kuliah yang membahas isu-isu sosial-politik seperti sosiologi atau ilmu politik, mahasiswa hanya menerima teori-teori tanpa diajak mendiskusikan realitas ketimpangan yang terjadi di sekitarnya. Hal ini membuat mahasiswa cenderung pasif dan kehilangan peluang untuk mengembangkan kesadaran kritis terhadap masalah sosial yang mereka hadapi sehari-hari. Di sisi lain, ada pula universitas dan program studi yang mulai mengadopsi pendekatan dialogis ala Freire. Misalnya, Program Studi Pendidikan di beberapa universitas di Indonesia dan dunia mengembangkan metode problem-posing education, di mana mahasiswa diajak aktif berdiskusi, menganalisis kasus nyata, dan merumuskan solusi secara kolaboratif. Mahasiswa diberi ruang untuk mengkritik kurikulum dan sistem pendidikan itu sendiri, serta berpartisipasi dalam kegiatan pengabdian masyarakat yang menghubungkan teori dengan praktik sosial. Contohnya adalah program pengabdian masyarakat berbasis riset partisipatif yang melibatkan mahasiswa dan warga lokal secara setara dalam mencari solusi masalah sosial. Selain itu, gerakan mahasiswa yang kritis terhadap sistem pendidikan dan universitas sebagai institusi sering muncul sebagai wujud perlawanan terhadap sistem banking. Contohnya, gerakan mahasiswa yang menolak kurikulum yang dianggap terlalu teoritis dan tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat, serta menuntut kebijakan kampus yang lebih inklusif dan responsif terhadap isu ketimpangan sosial. Demonstrasi dan dialog terbuka ini mencerminkan kesadaran kritis yang diharapkan Freire, meskipun masih menghadapi resistensi dari birokrasi universitas yang kaku dan birokratis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun