Di tengah kemajuan teknologi dan akses informasi yang tak terbatas, kita sering kali merasa lebih bebas daripada sebelumnya. Namun, jika kita perhatikan lebih dalam, kebebasan tersebut terlihat seperti jebakan, karena bebas yang dimaksud cenderung ke dalam rutinitas yang monoton dan terstruktur. Rutinitas harian kita seperti berangkat kerja, pulang, istirahat, dan kembali bekerja menjadi pola sehari hari yang cukup sulit untuk dipecahkan. Apakah kita benar-benar bebas, ataukah justru kita terperangkap dalam sistem yang kita bangun sendiri. Fenomena ini semakin jelas terlihat dengan adanya budaya kerja 9--5 yang mendominasi banyak sektor pekerjaan. Meskipun memberikan kestabilan ekonomi, struktur kerja ini seringkali membatasi waktu pribadi dan ruang untuk refleksi diri. Tekanan untuk selalu produktif dan memenuhi ekspektasi sosial membuat kita terjebak dalam siklus yang tampaknya tidak ada habisnya. Selain itu, perkembangan teknologi digital juga berperan dalam memperkuat rutinitas ini. Dengan adanya perangkat mobile dan platform komunikasi, kita selalu terhubung dengan pekerjaan, bahkan di luar jam kerja resmi. Hal ini mengaburkan batas antara kehidupan pribadi dan profesional, membuat kita sulit untuk benar-benar beristirahat dan melepaskan diri dari tuntutan pekerjaan. Saya merasa tertarik untuk menulis tentang apakah kebebasan yang kita lakukan ini benar benar disebut bebas melalui analisis sosiologi kontemporer yang mengarah pada konsep postmodern.
Rutinitas Sehari-hari sebagai Kebebasan Semu dan Penjara Mental
Kebebasan yang kita rasakan sering kali bersifat semu. Kita merasa memiliki kontrol atas waktu dan pilihan kita, namun kenyataannya, kita sering kali terikat oleh kewajiban dan ekspektasi yang datang dari luar diri kita. Di permukaan, rutinitas harian yang kita jalani tampak wajar dan normal berangkat kerja pagi, mengikuti jadwal, menyelesaikan tugas, dan pulang ke rumah. Namun, dibalik normalitas ini tersembunyi sebuah mekanisme kontrol yang jauh lebih halus dan efektif dibandingkan bentuk represi klasik. Tidak ada paksaan fisik atau eksplisit, melainkan suatu kondisi di mana individu secara perlahan-lahan terkondisikan untuk menerima dan mengikuti sistem tanpa mempertanyakan.Â
Fenomena ini selaras dengan gagasan Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man (1964), yang menyatakan bahwa masyarakat industri maju menciptakan "manusia satu dimensi" yang kehilangan kemampuan kritisnya karena terintegrasi sempurna dalam sistem teknokratik dan kapitalistik. Marcuse menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern, kritik terhadap sistem semakin dipadamkan bukan melalui kekerasan atau paksaan langsung, tetapi dengan memproduksi kebutuhan dan keinginan yang membuat individu merasa "bebas" padahal sesungguhnya terperangkap. Dalam konteks ini, rutinitas kerja 9-5 dan budaya hustle digital bertindak sebagai mekanisme internalisasi kontrol tersebut. Individu terperangkap dalam lingkaran notifikasi, deadline, dan target, yang menciptakan ilusi kebebasan dan pilihan padahal sebenarnya mengikat secara mental dan spiritual. Dalam kondisi ini, individu cenderung mengalami alienasi yang mendalam, sebuah konsep yang juga sering diangkat oleh Marx, namun dalam konteks Marcuse, alienasi ini melebar ke aspek eksistensial dan spiritual. Kehidupan yang dijalani bukan lagi milik diri sendiri, melainkan milik sistem yang mengatur segala aspek, dari waktu, energi, hingga identitas. Setiap usaha untuk keluar dari rutinitas atau menolak standar sistem sering dianggap sebagai kegagalan atau ketidakproduktifan, yang berujung pada tekanan sosial dan ekonomi. Fenomena ini dapat dilihat di media sosial, terutama TikTok dan X, di mana banyak pengguna membagikan narasi kelelahan mental yang tak terucapkan "aku lelah tapi tidak tahu kenapa" yang menjadi cerminan perasaan terperangkap tanpa kata.
Jika membahas modernitas, teknologi digital tentu akan berperan, yaitu sebagai alat penguat sistem kontrol ini. Platform-platform sosial dan kerja berbasis aplikasi mengumpulkan data personal dan produktivitas untuk mengoptimalkan alur kerja dan memastikan kepatuhan individu terhadap sistem. Kondisi ini menjadikan rutinitas harian bukan hanya sekadar pengulangan aktivitas, tetapi sebuah algoritma sosial-ekonomi yang mengontrol perilaku dan ekspektasi individu. Hal ini menegaskan tesis Marcuse bahwa dalam masyarakat modern, kebebasan semu justru mematikan potensi kritis dan kreativitas yang bisa membebaskan individu dari penjara sosial. Yang lebih ironis, masyarakat postmodern seringkali menerima dan merayakan budaya kerja keras dan produktivitas berlebihan sebagai identitas dan prestasi diri. Ini adalah bentuk "self-discipline" yang telah disublimasi menjadi mekanisme internal pengawasan dan pengendalian. Individu tak lagi merasa dikontrol oleh luar, tetapi merasa bahwa kontrol tersebut berasal dari dirinya sendiri sebuah paradoks yang memperkuat jeratan sistem. Fenomena ini memperdalam ketidakmampuan untuk berontak secara kolektif, karena kontrol telah masuk ke ranah psikologis dan spiritual, yang jauh lebih sulit untuk diatasi dibandingkan represi tradisional.
Kesimpulannya, rutinitas dan budaya kerja di era postmodern dan kapitalisme digital bukan hanya soal pekerjaan dan waktu, tetapi juga soal bagaimana sistem memproduksi subjek-subjek yang pasif dan terkondisikan untuk menerima segala sesuatu apa adanya. Menurut Marcuse, pembebasan hanya mungkin dengan membangun kesadaran kritis yang mampu mengidentifikasi dan menolak dimensi satu arah dari masyarakat industri maju. Hal ini menegaskan urgensi pemahaman kritis atas rutinitas sebagai bentuk kontrol halus yang perlu dipecahkan agar kebebasan sejati bisa diraih.
Konsekuensi dan Alternatif yang Dipilih oleh Diri Sendiri
Siapa yang tidak mengenal hustle culture di era modern ini, budaya hustle, merupakan gaya hidup yang menekankan kerja keras berlebihan, sering kali tanpa batasan waktu, demi mencapai kesuksesan material dan pengakuan sosial. Fenomena ini mendorong individu untuk terus produktif, bahkan di luar jam kerja, hingga mengorbankan kesehatan fisik dan mental. Dalam konteks ini, individu menjadi terjebak dalam siklus kerja tanpa henti, kehilangan waktu untuk diri sendiri, keluarga, dan refleksi pribadi. Konsekuensi dari budaya ini sangat nyata. Banyak individu mengalami kelelahan kronis (burnout), gangguan kecemasan, dan depresi. Ditambah, bagi karyawan yang notabene para generasi muda, pasti mengalami fase quarter life crisis, yaitu krisis identitas dan tujuan hidup pada usia 20--30-an, semakin umum terjadi. Menurut sumber yang saya baca, generasi muda kini menghadapi tekanan besar untuk sukses di usia muda, namun sering kali tanpa panduan jelas, menyebabkan kebingungan dan stres berkepanjangan. Sebagai respons terhadap tekanan ini, muncul tren "healing" atau penyembuhan diri, yang sering kali bersifat pasif. Individu mencari pelarian melalui liburan, meditasi, atau aktivitas santai lainnya, namun tanpa mengubah akar permasalahan. Hal ini mencerminkan apa yang disebut Marcuse sebagai "kebutuhan palsu" keinginan yang diciptakan oleh sistem untuk mempertahankan status quo, bukan kebutuhan sejati individu. Dalam One Dimensional Man, Marcuse mengkritik masyarakat industri maju yang menciptakan individu satu dimensi mereka yang kehilangan kemampuan berpikir kritis dan menerima realitas tanpa pertanyaan. Budaya hustle memperkuat kondisi ini, di mana individu tidak lagi mempertanyakan tujuan kerja keras mereka, melainkan hanya mengikuti arus demi memenuhi ekspektasi sosial dan ekonomi.Â
Untuk keluar dari siklus ini, diperlukan pendekatan alternatif seperti unlearning the system atau pendidikan pembebasan. Konsep ini menekankan pentingnya membongkar pola pikir lama yang ditanamkan oleh sistem, dan menggantinya dengan kesadaran kritis serta nilai-nilai yang lebih humanistik. Pendekatan ini sejalan dengan ajaran Paulo Freire tentang pendidikan yang membebaskan individu dari penindasan struktural. Gaya hidup slow living dan intentional living menjadi alternatif yang semakin populer. Slow living mendorong individu untuk menjalani hidup dengan lebih lambat, menghargai setiap momen, dan fokus pada kualitas daripada kuantitas. Sementara intentional living mengajak individu untuk hidup sesuai dengan nilai dan tujuan pribadi, bukan sekadar mengikuti norma sosial. Praktik seperti digital detox mengurangi atau menghentikan penggunaan perangkat digital untuk sementara waktu juga terbukti efektif dalam mengurangi stres dan meningkatkan kualitas hidup. Gerakan back to nature, yang mengajak individu untuk kembali terhubung dengan alam, menawarkan ketenangan dan keseimbangan yang sering hilang dalam kehidupan modern.
Kritik pada dunia modern kebanyakan menyatakan bahwa era saat ini bukan lah ruang kebebasan yang sejati, melainkan konstruksi ilusi yang dipoles rapi. Di balik media sosial, rutinitas dan budaya kerjanya, serta adanya sistem menciptakan struktur kontrol yang halus namun kuat. Larangan eksplisit telah tergantikan oleh normalisasi dan internalisasi nilai-nilai kapitalistik. Jika kita fokuskan lagi pada Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man, kritik tajamnya secara terang terangan menjelaskan bahwa manusia modern telah terserap dalam sistem teknokratik dan kapitalistik yang membuat mereka kehilangan kapasitas untuk berpikir kritis dan transenden. Manusia saat ini cenderung tidak lagi hidup secara utuh, melainkan hanya bertahan dalam sistem yang telah mendefinisikan arah hidup mereka. Kesibukan harian, pencapaian target, dan pencitraan digital tidak lagi mencerminkan kehidupan yang bermakna, melainkan menunjukkan bagaimana individu hanya mengikuti alur sistem yang sudah disiapkan. Kebebasan yang selama ini diklaim oleh masyarakat modern pada dasarnya hanyalah bentuk lain dari penyesuaian diri terhadap struktur yang menindas secara tak kasat mata. Marcuse menekankan bahwa represi modern bukanlah penindasan fisik, melainkan pembentukan kesadaran yang membuat individu merasa bebas padahal sebenarnya telah terkooptasi. Sistem tidak memaksa secara langsung, tetapi mengkondisikan manusia agar menginginkan apa yang diinginkan oleh sistem. Dalam kondisi ini, kebebasan berubah menjadi kebutuhan palsu yang dibentuk oleh kekuatan produksi dan konsumsi massal.