Mohon tunggu...
Alfian Wahyu Nugroho
Alfian Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Penulis Artikel

Selamat membaca beragam tulisan yang menganalisis berbagai fenomena dengan teori-teori sosiologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Representasi Realita dalam Tren "Kesenjangan Sosial" di Medsos

11 Mei 2025   22:42 Diperbarui: 12 Mei 2025   02:29 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trend TikTok Kesenjangan Soisal (Sumber: https://www.tiktok.com/@ekosaputra20/video/749535987505725773)

Ditengah banyaknya hiburan digital yang serba cepat, TikTok muncul bukan hanya sebagai ruang ekspresi, tapi juga sebagai panggung bagi realitas sosial yang tak jarang getir. Pada akhir April 2025, FYP TikTok Indonesia ramai oleh video-video bertema kesenjangan sosial mulai dari tren membandingkan gaya hidup "orang kaya" vs "orang biasa", hingga suara token listrik habis yang dijadikan konten humor. Ungkapan seperti "ini suara token bukan notifikasi Shopee" viral dan menjadi meme bersama. Apa yang awalnya tampak sebagai hiburan ringan justru membuka ruang diskusi tentang ketimpangan, akses terhadap sumber daya, hingga bagaimana masyarakat memaknai perbedaan kelas di era digital. TikTok, dengan segala algoritma dan kecepatannya, menjadi cermin yang memantulkan ketimpangan dalam bentuk potongan video berdurasi 15 detik. Artikel ini saya buat untuk mengajak pembaca mengupas bagaimana tren kesenjangan sosial di TikTok tidak bisa dipisahkan dari struktur sosial masyarakat Indonesia. Saya akan menelusuri bagaimana sosiologi menjelaskan fenomena ini, dari teori-teori klasik hingga pendekatan media digital kontemporer.

Konstruksi Kelas Sosial di Media Sosial

Stuart Hall, seorang pemikir kunci dalam kajian budaya dan media, menekankan bahwa media tidak hanya mencerminkan kenyataan media membentuk kenyataan itu sendiri. Menurut teori representasinya, setiap kali suatu kelompok sosial atau fenomena ditampilkan di media, maka citra tersebut akan membentuk pemahaman publik tentang realitas. Dengan kata lain, apa yang terlihat di layar bisa lebih dipercaya daripada apa yang nyata. Di TikTok, representasi kelas sosial sangat kentara dan sering dikemas dalam format hiburan. Video-video viral tentang kesenjangan sosial yang membandingkan "anak orang kaya" dengan "anak biasa" memperkuat stereotip visual tentang kemewahan dan keterbatasan. Hal ini juga memperkuat dikotomi sosial yang sudah ada kaya--miskin, elite--wong cilik, privilege--berjuang. 

Dalam teori Hall, representasi seperti ini sering kali bekerja dalam kerangka dominan-hegemonik, di mana media mengulang dan menyebarkan narasi dominan tanpa harus mengkritisinya. Ketika konten tentang orang miskin ditertawakan atau digunakan sebagai bahan hiburan (misalnya, suara token listrik habis dijadikan tren meme), maka audiens belajar untuk melihat kemiskinan sebagai sesuatu yang lucu, biasa, dan tidak terlalu serius padahal itu adalah kondisi sosial yang problematik. Namun, Stuart Hall juga mengakui adanya negotiated dan oppositional readings penafsiran yang tidak selalu sesuai dengan maksud pembuat konten. Sebagian kreator dan penonton bisa menggunakan humor soal ketimpangan sebagai bentuk resistensi simbolik terhadap ketidakadilan. Dalam konteks ini, TikTok menjadi arena perebutan makna apakah konten lucu tentang kemiskinan memperkuat stereotip lama, atau justru menjadi cara kreatif untuk mengkritiknya. Dengan kata lain, TikTok bukan hanya cermin, tapi juga pisau pemotong kenyataan. Ia membentuk cara kita memandang orang miskin, gaya hidup, dan "keterbelakangan" dengan membungkusnya dalam visual yang lucu dan mudah viral. Inilah kekuatan dan bahaya representasi media menurut Stuart Hall, media mengatur lanskap persepsi publik tentang kelas sosial tanpa disadari oleh kita sendiri.

Melepas Tegangan Sosial Melalui Trend TikTok 

Dalam sosiologi, ada yang disebut fungsi laten, fungsi tersembunyi yang tidak langsung terlihat tapi sangat penting dalam menjaga stabilitas sosial. Dalam konteks ini, trend video TikTok yang membahas soal kesenjangan, kemiskinan, hingga keresahan hidup sehari-hari justru berperan sebagai katup pengaman sosial. Humor menjadi alat pelampiasan ketegangan sarana simbolik untuk membicarakan hal-hal serius tanpa terlihat frontal. Lucunya, meski konten-konten ini dikemas ringan dan jenaka, namun isinya kerap menyentuh persoalan sosial yang berat. Lelucon yang dihadirkan dari trend "kesenjangan sosial" memotret keresahan kolektif masyarakat urban kelas bawah dan menengah. Di sinilah fungsi laten muncul, video TikTok tersebut menjadi wadah penyaluran frustrasi, cemas, dan tekanan struktural yang sulit dibicarakan secara langsung.

Kembali ke Stuart Hall, kita bisa memahami bahwa representasi ini bukan sekadar cerminan realitas, tapi konstruksi realitas sosial itu sendiri. Dengan mengemas penderitaan atau kesenjangan dalam bentuk lucu, masyarakat menemukan cara baru untuk menyuarakan keresahannya tanpa harus menantang kekuasaan secara terang-terangan. Hall menyebutnya sebagai negotiated reading penonton dan kreator memahami makna simbolik kontennya, tapi memaknainya dengan cara yang disesuaikan dengan realitas mereka sendiri. Jadi, ketika video trend "kesenjangan sosial" tersebut kita tonton, kita sebenarnya sedang menyaksikan sebuah bentuk kritik sosial yang terselubung. Kritik itu tidak disampaikan dalam bentuk demonstrasi atau orasi, tetapi dalam bentuk suara tawa berjamaah di kolom komentar. Inilah resistensi budaya dalam bentuk paling halus namun luas dampaknya.

Trend Lucu yang Mengandung Luka

Sebagai penutup, tren humor tentang kesenjangan sosial di TikTok memperlihatkan bagaimana media sosial menjadi ruang satir yang mampu menyatukan masyarakat dalam pengalaman sosial yang serupa. Konten semacam ini menyampaikan realitas struktural melalui tawa, menciptakan bentuk kesadaran yang terasa ringan namun menyentuh. Lelucon tentang "kesenjangan sosial" berhasil membangun ikatan emosional kolektif antar kelas sosial di dunia digital. Namun, di balik kelucuan tersebut, tersembunyi kenyataan getir. Ketimpangan yang terus berulang berubah menjadi komoditas hiburan. Penderitaan ekonomi dan sosial tampil sebagai bahan candaan yang viral. Media sosial mengubah luka sosial menjadi tontonan massal yang terus diperkuat oleh algoritma dan impresi. Dengan menyebarnya tren ini, masyarakat semakin terbiasa melihat ketimpangan sebagai bagian dari hiburan harian. Proses ini melemahkan sensitivitas terhadap masalah struktural, dan memperkuat normalisasi atas ketidakadilan. Ketika tawa menjadi respon utama terhadap luka sosial, masyarakat perlahan kehilangan daya kritis terhadap ketimpangan yang sebenarnya membutuhkan perubahan nyata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun