Mohon tunggu...
faridh elkhansa
faridh elkhansa Mohon Tunggu... Penulis - Mom Writer and MomPreneur

Menulis adalah pekerjaan keabadian

Selanjutnya

Tutup

Diary

Mustahil Bagiku, Sangat Mungkin bagi Allah

1 Juni 2022   11:33 Diperbarui: 1 Juni 2022   11:37 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Aku ingin menuliskan kembali kisah ini, agar hati yang mulai enggan terpantik semangatnya, tidak tahu apakah ini sedekah terbaik atau bukan, yang pasti sedekah itu keajaiban untukku. Sesuatu yang mustahil nyatanya sangat mungkin jika Allah berkehendak.

Baru saja selesai mengASIhi Si Bayi, entah ke berapa kali sudah tak terhitung. Iseng aku meraih ponsel untuk melihat jam berapa gerangan. Melirik aplikasi hijau dan membacanya perlahan.

Oh Lord, namaku terpilih untuk mendapatkan sandal sepatu cantik yang kuimpikan. Masyaa Allah. Kejutan tengah malam yang indah bukan? Padahal berkali-kali ikut giveaway, Aku belum pernah sekali pun seberuntung ini.

***

Tentang keajaiban serupa mengingatkanku pada pengalaman delapan tahun lalu, saat awal meniti rumah tangga.

Banyak keajaiban-keajaiban yang nyaris tiap hari terjadi namun nampak biasa dan terlewat begitu saja.


Delapan tahun lalu, aku dan suami sedang kehabisan uang, sementara kakak dari Bandung akan numpang menginap untuk beberapa hari sebelum pulang ke rumah orang tua. Saat itu aku dan dia begitu galaunya, bagaimana mungkin menjamu tamu dengan keadaan dapur yang tak dapat mengebul dan tamu ini baru pertama kali akan berkunjung. Menyedihkan!

Aku memiliki ide konyol namun solutif pada masa itu. Ide keren itu adalah mentransfer uang dari ATM-ku ke ATM suamiku, dengan saldo milikku saat itu adalah 70rb, sementara saldo ATMnya 80rb. Tepatnya berharap 20rb dari ATM-ku bisa mencukupi ATM nya menjadi 100rb, sehingga bisa ditarik saldo 50rb dari ATMnya. Ribet bukan main, kan?

Gegas kami ke mesin ATM lima puluh ribuan. Namun ATM terdekat saat itu tak ada yang bisa digunakan, kemudian kami menuju ke sebuah swalayan untuk melanjutkan misi.

Tiba di sana, dengan bismillah dan penuh harap suamiku mulai memasukan kartu ATMnya ke mesin. Entah mengapa saat itu dia memilih kartunya terlebih dahulu, padahal mestinya kartu ATM milikku yang diambil untuk mentransfer dua puluh ribu ke rekeningnya.

Usai mengetik pin dan memilih menu cek saldo, muncul 7 digit angka di layar. Tertera nominal 1.580.000 di sana. Dia memanggilku yang sedang melihat lalu lalang orang-orang dengan belanjaan penuh di tangan.

"Yang, Yang, liat, deh, ini beneran?" Ia sedikit histeris

Aku mengikuti arah jarinya. Kaget, berulang kali aku mengeja 7 digit itu. Mengucek mata sejenak memastikan bahwa mataku waras dan tidak salah lihat. Lagi dan lagi aku memastikan bahwa ini bukan mimpi.

"Masya Allah beneran, Ay," Aku tak kalah histeris.

" Ambil, Ay. Ambil semua!" Sambil ku goncang-goncang lengannya bersemangat. Tak terpikir olehku jangan-jangan itu uang salah alamat dan harus dikembalikan ke empunya.

Sesaat kemudian ada notifikasi di BB tua suamiku. Notifikasi itu memberitahu bahwa bonus usaha perekrutan member baru sudah ditransfer dengan nominal 1.500.000. (Perekrutan di MLM yang dulu sekali pernah diikuti suami)

Masya Allah ....
Kami lalu saling tatap dengan mata berkaca-kaca. Haru juga bahagia, seperti menemukan oase di padang pasir. Tanpa menunggu instruksi, lelakiku itu menekan tombol di mesin hingga keluarlah lembar-lembar rupiah. Gemetar tangannya menarik lembar demi lembar yang muncul di mesin ATM.

Haru? Tentu saja. Siapa tak bahagia saat dapur tak bisa mengebul kemudian ada keajaiban tuhan yang mampu merubahnya sekejap mata.

Sepanjang jalan bibir kami tak lepas dari zikrullah. Tahmid dan takbir tak terhitung berapa kali terucap. Allah. Allaaaah. Terbayang olehku jamuan yang akan dinikmati tamu kami nanti.

***


Beberapa hari sebelum keajaiban terisinya ATM, kami masih memegang selembar uang merah. Rencana uang itu memang untuk mengisi ulang segala kebutuhan dapur yang habisnya bersamaan beserta gas melon nya.
 
Uang itu memang ada di dompet lelakiku, karena sejak kelahiran Si Sulung aku nyaris tak pernah keluar rumah. Urusan belanja aku percayakan pada dia yang lebih gesit.

Selepas sholat sunnah bakda zuhur saat itu, ada seorang bapak tua dengan mata yang tak dapat melihat sempurna menghampiri lelaki yang resmi disebut sulungnya Abuya itu.

"Mas, maaf. Saya mau ta'lim ke Natar, saya mau nyamperin temen dulu di 28, tapi saya gak punya ongkos ke sananya, Mas bisa bantu saya?" ucap bapak yang uban nya terlihat menyembul dari peci putih yang ia kenakan.

Lelaki beranak satu itu sejenak mencerna seperti mengingat-ingat sesuatu. Ya. Dia ingat bahwa istrinya tadi memesan cabai, bawang, sayuran hijau juga gas melon.

"Hem ... Baik, Bapak tunggu sebentar, ya," Ia beranjak mendekati motornya di pelataran masjid.

Gegas lelaki muda itu merogoh selembar uang merah dalam dompet di jok motornya. Entah apa yang saat itu ia pikirkan, kemudian dengan entengnya ia menggenggam kan selembar uang itu ke tangan Si Bapak berpeci putih.

" Pak, saya cuma punya ini. Silakan bapak pakai, ya, semoga bermanfaat," Begitu ucap lelaki itu sambil menggenggam kan selembar uang di tangan Si Bapak.

"Masya Allah, berapa ini, Mas? Saya gak bisa lihat,"

"Seratus ribu, Pak." jawabnya singkat.

"Masya Allah ... Banyak sekali, Mas. Ya Allah ... Semoga, Mas nya dilimpahkan rejeki oleh Allah, berkah hidupnya, bahagia dan sehat-sehat selalu. Dikaruniakan anak sholih sholihah. Masya allah.. Terimakasih, Mas. Terimakasih," Bapak yang sampai detik ini kami tak tahu siapa namanya itu berujar sambil menyeka rintik air di sudut matanya.

"Amin ... Amin, ya, Allah," jawab lelaki beranak satu itu dengan rasa haru. Ada embun menggantung di matanya, namun bahagia dapat bermanfaat untuk sesama itu lebih mendominasi hatinya.

Setiba ia di rumah, tanpa membawa sebiji pun pesanan Si Istri. Kemudian lelakiku itu mengurai cerita dengan mata yang masih berembun. Entah mengapa saat itu aku tidak mengeluh apalagi mengamuk. Tidak pula merasa tidak diprioritaskan. Justru ada rasa mendukung tindakan lelakiku itu. Walau nantinya kami akan makan mie instan pemberian besek dari tetangga.

Masih kuingat dia sampai menggenggam tanganku khawatir jika aku kecewa atau sedih saat itu.

Dan nyatanya Allah ganti beberapa hari setelahnya dengan nominal yang berlipat ganda.

Masya Allah.

Kisah delapan tahun lalu ini selalu terkenang. Menjadi motivasi untuk selalu yakin bahwa pertolongan Allah itu sangat dekat. Keikhlasan itu dapat menembus kemustahilan dan mengundang keajaiban dari Allah.

"Mataa nashrullah? Alaa inna nashrullahi qoriib"

Bukan kah begitu kata Allah?

Aku mulai mengerti bahwa hidup itu selalu ada keajaiban dari Allah. PertolonganNya, kasih sayangNya berasa Magic bukan? Siapa yang bisa melarang saat Allah berkehendak?

Dan ini membuatku faham bahwa prioritas hidup tak melulu soal dunia, tak melulu soal pemenuhan kebutuhan raga. Tapi hidup juga tentang keyakinan dan ringan bersikap baik pada siapapun.

Dan keajaiban Allah terus terjadi sampai detik ini. Masya Allah ... lalu apakah alasan kita untuk tidak bersyukur?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun