Mohon tunggu...
Alex Purnadi Chandra
Alex Purnadi Chandra Mohon Tunggu... Bankir -

Pendiri BPR Lestari. Sekarang BPR #3 se-Indonesia dr sisi asset. Membangun bisnis dari nol sejak 15 thn yg lalu. Sekarang chairman grup bisnis Lestari. www.alexpchandra.com

Selanjutnya

Tutup

Money

2015: Year of Living Dangerously

4 September 2015   09:34 Diperbarui: 4 September 2015   09:45 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Saya beragumentasi, bahwa perlambatan ekonomi yang dialami oleh Indonesia (2103-2015) adalah siklus alami setelah periode booming 2008-2012. Ketika itu bunga murah (termurah sepanjang sejarah Indonesia), likuiditas banjir, pertumbuhan ekonomi 6%-an stabil. Kalau kita belajar ilmu ekonomi, setiap periode booming akan diikuti dengan stabilisasi dan resesi.

Setiap periode booming akan diikuti oleh market madness. Optimisme yang berlebihan dari para pelaku pasar, over investment dan spekulasi. Contohnya bisa kita lihat secara kasat mata dari bisnis properti di Bali misalnya. Harga tanah yang ‘out of the economic price’. Pembangunan hotel yang berlebih dan seterusnya. Perasaan bahwa harga akan naik seterusnya tanpa batas.

Nah, kondisi tersebut yang kita sebut sebagai ekonomi yang kepanasan. Overheated! Inflasi bisa tidak terkendali kalau tidak distabilkan.

Jadi market koreksi diperlukan sampai terjadi kestabilan yang baru. Pemerintah dan Bank Sentral memainkan peranan-nya melalui instrumen fiskal (pajak dan belanja) serta instrumen moneter (suku bunga). Dalam hal ini Bank Sentral menaikkan suku bunganya untuk slowing down the economy.

Jadi so far perlambatan ekonomi yang terjadi adalah wajar sesuai textbook.

Argumentasi saya adalah bahwa kita ini sedang mengalami ‘resesi’ setelah pesta kemarin. Hang-over-nya harus dilalui dulu. Pusing-pusing sedikit-lah. The party is over, waktunya cuci-cuci piring.

Secara fundamental, Indonesia 2015 tidaklah berbeda-beda amat dengan Indonesia 2010-2012.

Bahkan dari sisi kebijakan kita sudah lebih baik sedikit. Subsisi BBM dikurangi dan akan dialihkan ke sektor produktif. Ini berarti di tahun 2015 saja, ada sekitar 150 Triliun alokasi budget dari sekedar konsumsi BBM ke sektor yang produktif  dan lainnya.

Naiknya harga BBM akibat subsidi yang dikurangi ini akan menekan konsumsi, dan pada ujungnya akan mengurangi impor (impor kita terbesar adalah impor energi). Jadi kebijakan ini akan juga mengurangi defisit.

Positif!

TAPI KENAPA KOK JADI BEGINI?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun