Mohon tunggu...
Alex Purnadi Chandra
Alex Purnadi Chandra Mohon Tunggu... Bankir -

Pendiri BPR Lestari. Sekarang BPR #3 se-Indonesia dr sisi asset. Membangun bisnis dari nol sejak 15 thn yg lalu. Sekarang chairman grup bisnis Lestari. www.alexpchandra.com

Selanjutnya

Tutup

Money

2015: Year of Living Dangerously

4 September 2015   09:34 Diperbarui: 4 September 2015   09:45 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Setiap periode ‘resesi’ secara teori harusnya pemerintah mengawalnya agar soft landing. Agar resesinya tidak sampai terasa banget. Agar pabrik-pabrik tidak sampai tutup. Agar perusahaan tidak PHK. Sampai terjadi kestabilan dan periode take off yang baru.

Namun, sayangnya, ada beberapa kebijakan pemerintah yang tidak kena dalam mengawal kita melalui periode ‘resesi ini’.

Dalam berbagai teksbook diajarkan ketika ‘resesi’, pemerintah bisa mengintervensinya melalui instrument yang dimilikinya, yaitu fiskal (pajak dan belanja) dan moneter.

Biasanya supaya ‘resesi’-nya soft dan tidak terasa, pemerintah akan mengeluarkan insentif perpajakan dan memberpesar belanja. Kalau perlu sampai berhutang.  Di sisi moneter, menurunkan bunga, supaya kredit murah, sehingga konsumsi naik dan seterusnya.

Namun,  awal-awal, pemerintah kita malah mengenjot pajak. Perusahaan yang omzetnya sedang turun, kini di-intensifkan penagihan pajaknya. Baik maksudnya namun tidak tepat timingnya.

Belanja negara bukannya diakselerasi, malahan pada semester pertama pada macet. Duitnya masih banyak tersimpan di bank-bank daerah.

Untuk instrumen suku bunga, sayangnya Bank Indonesia tidak leluasa menurunkannya karena harus ‘menjaga’  rupiah yang tertekan karena sentimen global. No option disini.

Pengalihan subsidi BBM walaupun baik maksudnya, namun ternyata salah timingnya. Kenaikan beban masyarakat akibat ‘berkurangnya’ subsidi tidak segera diikuti dengan ‘manfaat’-nya. Ada lagging disini.

Harga-harga yang naik (akibat kenaikan harga BBM) yang tidak diikuti oleh kenaikan pendapatan (omzet perusahaan turun), membuat konsumsi turun drastis. Apalagi bunga mahal dan likuiditas ketat. Kredit seret. Tambah terpuruklah konsumsi kita.

Kita adalah negara yang ekonominya di-drive oleh konsumsi domestik. Ekspor kita tidak seberapa. Nah ketika konsumsi domestik yang turun (harga naik, bunga mahal, pendatapan tidak naik), terasa beratlah krisis ini.

WHO IS IN CHARGE?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun