Tanarara di Kecamatan Matawai La Pawu, Kabupaten Sumba Timur, NTT berjarak 3 jam perjalanan dari Waingapu, ibukota kabupaten. Agar bisa sampai ke sana kami perlu naik kendaraan double cabin. Ada transportasi umum truk, namun dengan waktu tempuh lebih lama, sekitar 5-6 jam. Sebab sebagian besar badan jalan menuju pedalaman di sebelah selatan ini rusak dan rusak berat. Aspal telah terkelupas, dan pada banyak bagian terdapat lubang menganga di tengah jalan.
Warga sering menganjurkan supaya tidak datang pada musim hujan!
"Kalau bisa jangan musim hujan. Susah keluarnya kecuali pergi dengan teman supaya ada yang tarik kalau masuk lumpur," kata Carlos, sopir yang membawa kami akhir Januari 2022 lalu. Teman yang dimaksud Carlos adalah mobil lain, dari jenis yang sama. Â
Siti Saudah (32) telah mengabdi sejak tahun 2017 di SD Lawinu, Desa Katiku Tana, di Tanarara ini. Ia mengikuti  program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) begitu lulus dari jurusan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Semarang pada 2011. Sebelumnya ia mengajar di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, kawasan yang terdampak tsunami pada tahun 2004.
"Waktu mengajar di sana saya dikira mata-mata pemerintah," ujarnya sembari tertawa. Tapi warga bisa yakin setelah melihat aktifitasnya. Siti tak terkait dengan gerakan politik apapun.
Setahun di Aceh, Siti meneruskan kuliah Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan mengajar di  SMA 3 Pati, Jawa Tengah. Sebagai calon pegawai negeri ia sudah nyaman. Pati adalah kota di Jawa. Fasilitas mengajar mudah diakses. Jaringan internet tersedia dengan baik. Transportasi lancar.
"Saya mengajar tiga tahun, sampai 2017. Sudah enak karena di kota apalagi dekat keluarga. Tapi saya ingat lagi waktu di Aceh. Masih banyak tempat terpencil di Indonesia yang  membutuhkan guru seperti saya. Kalau di kota pasti banyak yang mau mengajar, tetapi di pedalaman, siapa yang mau ke sana?" kata Siti.
Ia mulai menimbang-nimbang untuk kembali ke pedalaman. Kesempatan itu datang pada 2017 ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuka kesempatan untuk mengabdi di daerah 3T.
"Saya bilang pada diri saya sendiri, 'tokh, nanti kalau tidak betah, ya pulang saja'," Â ia tertawa ngakak.
Siti memilih Pulau Lombok. Hitung-hitung agak dekat dengan Jawa. Namun pada penentuan terakhir, tak disangka  ia mendapatkan kabupaten Sumba Timur. Yakni ke SD Lawinu di pinggir Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.
Padahal Sumba belum pernah ia bayangkan.