Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Dari Medan ke Samosir ke Serambi Mekah

15 Agustus 2022   22:45 Diperbarui: 15 Agustus 2022   22:50 1216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Museum Tsunami Aceh difoto dari Makam Belanda (foto:Lex) 

***

Gereja Katolik Hati Kudus di mana saya menginap di pastorannya, berada di Jalan Ahmad Yani no. 2. Dalam kompleksnya terdapat TK dan deretan kantor gereja. Posisi gereja seperti berada di tengah huruf "U". Sekelilingnya asrama Makodam dari satu sisi ke sisi yang lain.

"Tanah asrama Kodam dahulu milik gereja. Tetapi kemudian dilakukan tukar guling. Gereja mendapat tanah di Blang Oi tempat sekolah Budi Dharma berdiri sekarang," kata Romo Herman. Paroki Hati Kudus meliputi daerah Meulaboh, Takengon, Lhokseumawe serta Pulau Sabang. Jumlah umatnya 1.030 jiwa.

Jalanan di Banda Aceh lebar-lebar. Dua arah. Selain dinaungi pepohonan rimbun, juga bersih. Warga Banda Aceh tidak membuang sampah sembarangan. 

Pusat Kota Banda Aceh bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari Gereja Katolik ini.  Tak seberapa jauh. Paling-paling satu  kilometer jaraknya. Pusat kota ditandai oleh Tugu Simpang Lima.

Tugu Simpang Lima sekitar 10 meter tingginya. Waktu tsunami 2004 terjadi, tugu ini kerap kena sorot televisi karena  menjadi tempat para korban tsunami diletakkan. Ada pula video yang menunjukkan warga berlarian melewati persimpangan ini, saat air mulai menggenang beberapa meter.  

Tetapi sekarang, kalau tak ada Museum Tsunami Aceh, Kapal Pembangkit Listrik Apung di Gampong Punge Blang Cut dan kapal kayu yang hinggap di atas rumah di Gampong Lampulo, sukar rasanya mempercayai bahwa kota ini pernah luluh-lantak oleh gempa dan tsunami besar. Tiga tempat ini sekarang  ramai dikunjungi wisatawan.

Papan penunjuk  di depan Gereja Katolik Banda Aceh  (foto:Lex) 
Papan penunjuk  di depan Gereja Katolik Banda Aceh  (foto:Lex) 

Dari arah Gereja Katolik, pasar Peunayong terletak di sebelah kiri. Ini  pasar terbesar di Banda Aceh. Tetapi kalau berjalan lurus kita masuk Jalan  Panglima Polem menjumpai toko yang berderet-deret. Vihara Dharma Bakti di Jl. Panglima Polem 70 tampak mencolok dengan cat warna merah. Di sinilah tempat beribadat masyarakat Buddha Banda Aceh.

Saya belok kanan menuju  Jalan Pocut Baren. Segera tampak GPIB Banda Aceh. Gereja ini berbatasan tembok dengan Gereja Metodist Indonesia (GMI) Banda Aceh. Berjarak 500 meter dari keduanya berdiri HKBP Banda Aceh.  

GPIB masih bangunan lama. Berdiri sekitar tahun 1930. Hanya tembok bagian depan dan dua menara di sisinya yang tampak baru. Diaken Roby Jexon Tefu, mengatakan, jemaat yang tercatat sekitar 118 orang. "Hampir semuanya pendatang dari luar baik yang menetap di sini seperti PNS dan anggota TNI Polri. Kalau perayaan Natal semua jemaat hadir sehingga gereja penuh," jelasnya.

 Gereja Metodist Banda Aceh sudah berusia setengah abad lebih.  Secara resmi berdiri pada  1957. Meskipun jemaat sudah mulai melakukan ibadat-ibadat sejak 1938. Mula-mula berupa gereja dari papan di dekat Pasar Peunayong. Tetapi saat Jepang masuk pada 1942, gereja ini dipakai sebagai gudang. Jemaat tercerai-berai. Barulah ketika Indonesia merdeka, mereka membeli tanah dan membangun gereja di lokasi di mana gereja berdiri saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun