Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Dari Medan ke Samosir ke Serambi Mekah

15 Agustus 2022   22:45 Diperbarui: 15 Agustus 2022   22:50 1216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Museum Tsunami Aceh difoto dari Makam Belanda (foto:Lex) 

Salah satu karyanya, peta Pulau Sumatra hingga kini tersimpan di Museum Inggris. Dari Malaka, Pierre hijrah ke Goa, India. Di sinilah Pierre putar haluan. Ia masuk Biara Karmelit di Goa pada 1635.  Pierre memilih nama biarawan Dionisius Nativit.

Suatu saat Wakil Raja Portugis di Goa, Peter da Silva menghendaki  Dionisius  ikut dalam kunjungan  persahabatan kepada Sultan Iskandar Tani di Aceh pada 1638.

Dionisius akan dijadikan navigator dalam pelayaran, sekaligus Bapa Rohani bagi delegasi Portugis yang ingin memperbaiki relasi dengan Aceh. Dionisius juga fasih berbahasa Melayu.

Dionisius meminta agar Bruder Redemptus Cruc OCD mendampinginya dalam perjalanan itu. Bruder Karmelit yang bernama asli Thomas Rodriguez da Cunha itu adalah mantan serdadu Portugis yang ditugaskan di Goa. Ia menjadi bruder dan bekerja sebagai penjaga pintu biara, pelayan imam, koster, penerima tamu, dan pengajar anak-anak. Mereka berangkat pada 25 September 1638, dengan satu kapal dagang dan dua kapal perang.

Sebulan kemudian mereka berlabuh di Kutaraja atau Banda Aceh saat ini. Penduduk menyambut baik. Namun Belanda menghasut Sultan Iskandar Tani. Belanda mengatakan bahwa misi Portugis hendak melakukan kristenisasi kepada masyarakat Aceh yang sudah memeluk agama Islam.

Becak motor, salah satu alat transportasi berkeliling Banda Aceh  (Foto:Lex) 
Becak motor, salah satu alat transportasi berkeliling Banda Aceh  (Foto:Lex) 

Termakan hasutan Belanda, semua anggota misi Portugis ditangkap. Mereka disiksa dan  meringkuk di penjara dalam kondisi mengenaskan selama sebulan. Kehabisan akal, Sultan Iskandar Tani pun mengeluarkan maklumat untuk menghukum mati para tawanan itu.  Pembantaian massal pun terjadi pada 29 November 1638.

Peristiwa pendaratan dan pembantaian utusan Portugis ini disinggung juga dalam catatan perjalanan Karl May ke Aceh dan Padang dalam buku "Dan Damai di Bumi" (KPG. Cet.2,  2016). 

"Konon setelah dibunuh jenazah Dionisius dan Redemptus tetap utuh selama tujuh bulan. Jasad keduanya tetap segar dan tak sedikitpun membusuk," kata Baron.

Dua jenazah itu dimakamkan secara terhormat di Pulau Dien atau Pulau Buangan, sebelum dibawa ke Goa dan disemayamkan di sana. Berselang 260 tahun kemudian, Gereja Katolik memberi gelar beato atau  orang suci, kepada mereka. Peringatan dua martir Aceh itu diadakan tanggal 29 November setiap tahun. (Lex/Sumber)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun