Contoh-contoh potensial moral hazard dalam konteks Indonesia:
- Klaim Cedera Punggung atau Otot yang Sulit Diverifikasi: Seorang pekerja pabrik yang mengalami nyeri punggung ringan mungkin akan mengklaimnya sebagai cedera akibat kerja untuk mendapatkan waktu istirahat dan kompensasi STMB. Cedera semacam ini, yang diagnosisnya seringkali bergantung pada laporan subjektif pasien, sangat rentan terhadap moral hazard karena sulit bagi dokter atau pihak penilai untuk memverifikasi tingkat keparahan sebenarnya.
- Memperpanjang Cuti Sakit Setelah Kecelakaan Ringan: Seorang kurir yang mengalami lecet di kaki akibat kecelakaan kecil dalam perjalanan menuju tempat kerja bisa saja meminta dokter untuk memberikan surat keterangan istirahat yang lebih lama dari yang dibutuhkan. Ia melakukan ini karena mengetahui bahwa STMB akan menggantikan sebagian besar pendapatannya yang hilang.
- Mengabaikan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD): Di sektor konstruksi atau manufaktur, pekerja mungkin merasa lebih "nyaman" bekerja tanpa APD lengkap seperti helm atau sarung tangan. Adanya JKK bisa jadi mengurangi persepsi risiko finansial pribadi jika terjadi kecelakaan, sehingga mendorong perilaku abai terhadap prosedur K3.
- Klaim Penyakit Akibat Kerja yang Ambigu: Penyakit yang berkembang secara bertahap seperti stres atau gangguan muskuloskeletal bisa jadi diklaim sebagai akibat dari lingkungan kerja, meskipun faktor gaya hidup di luar pekerjaan juga turut berkontribusi. Tanpa proses verifikasi yang ketat, klaim semacam ini dapat meningkatkan beban biaya program JKK.
Meskipun data spesifik mengenai prevalensi moral hazard dalam klaim JKK di Indonesia sulit ditemukan, lonjakan jumlah klaim JKK yang dilaporkan oleh BPJS Ketenagakerjaan dalam beberapa tahun terakhir—mencapai 360.635 kasus pada Januari-November 2023—menjadi sinyal bahwa risiko ini perlu diwaspadai dengan serius.
Pendekatan Mana yang Lebih Baik untuk Indonesia?
Mengatasi moral hazard bukanlah tentang menghapus program kompensasi, melainkan tentang merancang sistem yang lebih cerdas untuk menyeimbangkan antara perlindungan pekerja dan mitigasi risiko penyalahgunaan. Tidak ada solusi tunggal, namun kombinasi dari beberapa pendekatan berikut dianggap lebih baik dan relevan untuk konteks Indonesia:
1. Penguatan Sistem Verifikasi dan Audit Medis
Pendekatan ini adalah garda terdepan dalam melawan ex-post moral hazard. BPJS Ketenagakerjaan perlu memperkuat tim medis dan auditornya untuk melakukan verifikasi klaim secara lebih ketat.
- Penerapan Independent Medical Examination (IME): Untuk klaim jangka panjang atau yang meragukan, penggunaan dokter independen untuk memberikan opini medis kedua dapat membantu memastikan objektivitas diagnosis dan durasi pemulihan yang direkomendasikan.
- Analisis Data Klaim: Menggunakan analisis data untuk mengidentifikasi pola klaim yang tidak wajar—misalnya, klaim yang sering diajukan pada hari Senin atau Jumat, atau klaim dari perusahaan tertentu yang melonjak drastis—dapat membantu menargetkan audit secara lebih efektif.
- Standarisasi Pedoman Medis: Membuat pedoman yang jelas mengenai durasi pemulihan standar untuk berbagai jenis cedera dapat menjadi acuan bagi dokter dan mengurangi variasi yang tidak perlu dalam pemberian surat istirahat.
2. Desain Manfaat yang Mendorong Insentif Kembali Bekerja
Struktur manfaat itu sendiri dapat dimodifikasi untuk mengurangi insentif berlama-lama tidak bekerja.
- Stepped-down Benefits: Menerapkan sistem di mana persentase santunan STMB menurun secara bertahap setelah periode waktu tertentu. Misalnya, 100% upah untuk 6 bulan pertama, kemudian turun menjadi 75% untuk bulan-bulan berikutnya. Ini akan menciptakan insentif finansial bagi pekerja untuk pulih dan kembali bekerja lebih cepat.
- Fokus pada Program Return to Work (RTW): Program RTW yang proaktif adalah salah satu instrumen paling efektif. BPJS Ketenagakerjaan dan perusahaan harus bekerja sama untuk menyediakan pekerjaan alternatif atau tugas yang dimodifikasi (tugas ringan) bagi pekerja yang belum sepenuhnya pulih. Ketersediaan tugas ringan ini mengurangi alasan bagi pekerja untuk tetap di rumah.
3. Penerapan Skema Berbasis Pengalaman (Experience Rating) bagi Perusahaan
Ini adalah pendekatan ex-ante yang sangat kuat. Iuran JKK di Indonesia saat ini sudah memiliki tingkatan risiko, namun sistem experience rating akan lebih jauh menyesuaikan besaran iuran perusahaan berdasarkan riwayat klaim kecelakaan kerjanya. Perusahaan dengan catatan keselamatan yang baik dan sedikit klaim akan membayar iuran yang lebih rendah, sementara perusahaan dengan banyak klaim akan dikenakan iuran yang lebih tinggi. Skema ini memberikan insentif finansial yang kuat bagi perusahaan untuk:
- Berinvestasi lebih serius pada program K3.
- Secara aktif mengelola dan memantau klaim pekerjanya.
- Mencegah praktik moral hazard karena klaim yang tidak perlu akan berdampak langsung pada biaya premi mereka.
4. Edukasi dan Penegakan Hukum