Mohon tunggu...
Ricardus A.B Asbanu
Ricardus A.B Asbanu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Memotret luka dalam aksara

Menulis adalah perjalanan paling pilu, berjejak dan awat dalam balutan waktu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Puntung Rokok Papa dan Selendang Mama

11 November 2023   13:41 Diperbarui: 11 November 2023   13:45 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar : Foto Editan Penulis 

Puntung Rokok Papa dan Selendang Mama

Situasi fajar menjamah bumi kali ini bumi masih begitu pekat  dingin melilit tubuh hingga kain terbaring beku, kaki kaku dagu melangkah. Di sebuah gubuk kecil, berdinding bambu, beratap alang-alang. Gergaji bapa pagi ini tak berkicau seperti biasa, dering piring mama juga begitu hening.

" Ah bukannya sudah pagi? " Kataku dalam langkah perlahan sembari mencari keberadaan Papa dengan Mama.  Membuka pintu kamar cahaya menyapa kamar dengan lembut seolah mengucapkan selamat pagi paling syahdu. Kamar masih berantakan buku, pena, dan penggaris masih terlentang tak berdaya tidur pukul 1 tadi malam kelihatan lelah sedang menyerang tubuh mereka.  Kantuk masih juga belum beranjak dari pundakku.
" Wuaahhhhh" Melepas kantuk sambil patah-patah badan seolah sudah melakukan senam pagi. Tak sengaja tangannya menyentuh pot bunga mama yang tersimpan rapi di meja kayu buatan papa.
Cuk tak tak pot itu jatuh hancur berkeping-keping bunganya patah daunya sudah tak lagi berbentuk.
" Walah, cari masalah lagi ini. Pagi yang datang bukan berkat eh malah masalah, sial " Aku duduk mengumpulkan pecahan pot itu yang rupanya terbuat kaca yang tidak tahan banting. Kebingungan mencari sapu dan sendok sampah punya Ibu yang menemani berisikan ibu setiap pagi dan setiap sore.
" Ah dimana sapu itu, aih sendok sampah juga " Sambil kesana-kemari mencari sapu dan sendok sampah. Ingatannya sudah hilang tentang keberadaan Mama dan Papa, yang ada dalam pikiran hanyalah Mama dan Papa jangan bangun sebelum pecahan  pot itu ia bereskan. Sendok sampah dan sapu tak kunjung ditemui kecuali tong sampah berukuran kecil yang dibuat Papa 7 bulan lalu namun tak pernah digunakan Mama.
"Ah ini sudah lama, dahlah pakai aja " Menarik tong sampah itu lalu masuk kedalam rumah untuk mengumpulkan pecahan pot itu je dalam tong sampah mini itu.
" Bunganya masih bagus, tidak salah kalau aku hanya mengganti potnya saja! " Kataku sambil tersenyum melihat anyaman bunga milik Mama bunga itu terbuat dari plastik bekas yang dianyama indah dan kreatif oleh Mama untuk mengisi waktu jenuhnya.

Ibuku adalah seorang nelayan rumput laut kesehariannya ia habiskan di bibir pantai yang sedikit jauh dari rumah. Ia tak pernah menunggu pagi untuk menjemputnya di tempat tidur ia yang kembali menjemput pagi di tengah perjalanan atau dibibr pantai atau minimal ia sudah menyapa rumput lautnya yang tidur tenang dengan tali dalam ayunan ombak kecil laut pagi.  Bahkan saat malam ia tak pernah mendahului malam saat kembali ke rumah kadang bersamaan namun, malam mendahuluinya. Disaat tarik mulai memanasi dedaunan hijau Mama kembali ke gubuk itu lalu mencari plastik bekas untuk sekedar melapas penatnya. Mamaku sedikit jauh dari jangkauan perubahan teknologi kecuali telepon genggam kecil tanpa sosial media dan juga multimedia  hanya telepon suara dan juga SMS. Mama begitu sederhana.

Sedangkan Papaku adalah orang yang menghabiskan waktunya bersama sementara, pasir, atau kicaua gergaji pada jantung kayu. Papaku terkadang seminggunya ia habiskan bersama kicaun gergaji, isi rumah memang sering merindukannya. Namun, itu adalah tugas seorang Ayah beranak tiga.

Sedangkan aku dan adik dua orang satu laki-laki dan satu perempuan yang pak bela bungsu. Pagi tu mereka masih tertidur pulas, dingin pagi itu membuat mereka menolak pisah dari tempat tidur.
" Hari sudah siang kemana mereka, ini kan hari minggu tidak mungkin Mama ke laut dan Papa ke tempat kerja " Gumanku dalam hati.  
Masih dengan wajah yang kebingungan, suara dari belakang menyapaku.
" Selamat pagi ana ganteng " Suara yang tidak lagi asing dari telinga, ia adalah tetangga lama kami saat ini rumah kami masih dibangun.
" Ia selamat pagi om" Suaraku memecahkan hening kesendirianku
" Sedang cari apa, disini? " Tanya Om
" Ah biasa Om cari sapu"
" Oh sapu dirumah " Setelah berkata demikian Om itu langsung menoleh kembali ke rumahnya.

Aku berdiri terpaku kebingungan kembali mendarat di jantung pikiran. Mengapa orang tersebut tidak menyuhku untuk mencari sapu disekitaran halaman rumah, kenapa harus sapu dirumahnya? Aku melanjutkan langkah untuk mencari sapu masih pegang tong sampah mini itu. Lalu pergi ke belakang rumah ada dapur sederhana dari seng bekas aku pegang pintu dapur, pintu itu langsung tercopot dengan mudah. Aku kaget melihat apa yang terjadi isi dapur juga berantakan tak seperti biasa Ibu selalu mengingkan yang rapi dan selalu rapi.
" Ah Ibu kemana kok buru-buru sekali rumah tidak disapu, dapur tidak rapi halaman juga masih penuh guguran daun "  Ayah juga adik-adik juga tak ada yang bangun padahal sudah pukul 8 pagi.
Masih kebingungan mencari kemana orang-orang rumah, Om itu kembali dengan sapu dan sendok sampah pada genggamannya.
" Mau bersihkan rumah? " Tanya Om itu
" Tidak Om ini mau bersihkan pecahan pot punya Ibu tadi tidak sengaja kesenggol jatuh eh picah lagi tu barang' kataku sedikit menjelaskan.
Om itu hanya  terdiam menatapku wajahnya kelihatan penuh tanya
" Kenapa Om? " Tanyaku penuh perhatian pada kedua bibirnya apa yang akan di ucapankan. Namun, masih diam.
" Om tau kemana-mana orang rumahku ? "
Om itu juga masih diam. Aku menarik napas secara perlahan untuk mengendalikan kepanikanku.
" Hufff Om tau kah? "
Om perlahan membuka mulutnya dan dengan tenang menjelaskan.
" Begini kamu baru, tau Papa, dan Mama kan sudah pisah mereka sudah tak sama-sama lagi, rumah ini ssudah tidak ada penghuni sejak Mamamu pulang ke kampungnya "  
Air mata jatuh begitu deras membasih kedua pipi setelah mendengar penjelasan itu.
" Lalu kedua adikku dimana ? "
" Ada dengan Mama"  

Setelah perbincangan itu aku berlari ke dalam rumah, rumah benar-benar tiada penghuni, kecuali satu asbak yang terbuat dari kayu dan sepuntung rokok yang dipangku tenang diatas asbak yang sudah tersimpan lama, tembakaunya sudah hancur namun ia tetap utuh. Puntung itu adalah rokok terkahir Papa sebelum ia pergi. Disudut ruang tamu yang penuh Laba-laba terpajang selendang buatan Mama itu adalah selendang terkahir Mama sebelum ia pergi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun