Mohon tunggu...
Aldo Tona Oscar Septian
Aldo Tona Oscar Septian Mohon Tunggu... Sarjana Hukum dengan predikat Cumlaude

Aldo Tona Oscar Septian Sitinjak merupakan seorang Sarjana Hukum dengan predikat kelulusan "Dengan Pujian (Cumlaude)" dari Universitas Sriwijaya yang mendedikasikan diri untuk melawan seksisme, rasisme, dan fanatisme. Sembari menjalani perkuliahannya dahulu, Aldo Tona Oscar Septian Sitinjak juga aktif mengikuti magang secara paruh waktu (part time) sebagai Staf HRD dan GA di PT Pinang Witmas Sejati selama 3 (tiga) tahun, menulis artikel-artikel di laman Kompasiana sebagai Blogger, berkontribusi mengelola Indonesia Media Law Review (IMRev) Journal sebagai Reviewer Jurnal, serta menjadi Koordinator dari Program Klinik Etik dan Advokasi yang merupakan program pembelajaran teori dan praktik yang diinisiasi oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia bersama beberapa perguruan tinggi di Indonesia termasuk Universitas Sriwijaya sebagai bentuk edukasi dan pencegahan Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH). Selain itu, Aldo Tona Oscar Septian Sitinjak juga aktif mengikuti berbagai seminar/webinar, pelatihan, workshop, Focus Group Discussion (FGD), dan penyuluhan/sosialisasi hukum. Saat ini, Aldo Tona Oscar Septian Sitinjak aktif menulis artikel-artikel sebagai Blogger di laman Kompasiana, Republika Online, dan Opinia yang hingga kini telah menghasilkan total 45 artikel. Aldo Tona Oscar Septian Sitinjak memiliki akun Instagram @aldotonaoscar yang menjadi wadah baginya untuk membagikan aktivitas sehari-harinya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Prinsip Keadilan Untuk Rakyat Dalam Konteks Kebijakan Pajak dan Hak Guna Usaha (HGU): Implementasi SK Menteri Kehutanan RI Nomor 36 Tahun 2025

13 Maret 2025   13:09 Diperbarui: 13 Maret 2025   13:09 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aldo Tona Oscar Septian Sitinjak, S.H. (Sumber Gambar: Wisuda Universitas Sriwijaya ke-173)

Pendahuluan

Kebijakan ini muncul sebagai respon terhadap kebutuhan negara untuk menyeimbangkan antara eksploitasi sumber daya alam dan kepentingan publik. Dalam konteks Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar, seperti yang tergabung dalam raksasa korporasi sawit---misalnya Duta Palma Grup, First Resources, Sinarmas Agro, Astra Agro, hingga perusahaan dari grup besar lainnya---titik berat kebijakan tidak hanya terletak pada aspek ekonomi, tetapi juga pada penerapan prinsip keadilan sosial. Slogan "Indonesia Maju Pajak Kuat" menyiratkan harapan agar penerimaan pajak dari sektor ini dapat mengemban fungsi redistributif dan memberdayakan rakyat.

Prinsip Keadilan dalam Kebijakan Publik

Dalam filsafat politik dan etika, keadilan sering diartikan sebagai distribusi yang adil dari manfaat dan beban dalam masyarakat. Konsep keadilan distributif, yang dikemukakan oleh pemikir seperti John Rawls, menekankan bahwa struktur dasar masyarakat harus diatur sedemikian rupa sehingga keuntungan dan sumber daya publik---termasuk penerimaan pajak---dapat dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang paling kurang beruntung.

Dalam konteks ini, pajak tidak semata-mata menjadi alat pengumpulan pendapatan negara, tetapi juga instrumen untuk:

1. Redistribusi Kekayaan: Mengurangi ketimpangan yang mungkin timbul akibat konsentrasi kekuatan ekonomi di tangan beberapa konglomerat.

2. Akuntabilitas dan Transparansi: Menjamin bahwa penggunaan dana publik diinvestasikan kembali untuk kepentingan bersama, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan pelayanan kesehatan.

3. Pertanggungjawaban Sosial dan Lingkungan: Mengimbangi dampak lingkungan yang mungkin timbul akibat eksploitasi sumber daya alam melalui praktik yang tidak berkelanjutan.

Implementasi Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2025

Surat Keputusan tersebut, yang diterbitkan pada 6 Februari 2025, mendorong agar perusahaan-perusahaan kebun sawit---terutama yang sudah tergabung dalam grup-grup besar---memenuhi persyaratan untuk mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU). Dari perspektif keadilan, kebijakan ini dapat dilihat dari dua sisi:

1. Potensi Keadilan
Dengan mengatur mekanisme pajak yang kuat, negara berupaya memastikan bahwa perusahaan-perusahaan besar memberikan kontribusi yang proporsional terhadap pembangunan nasional. Pendapatan yang diperoleh dari pajak seharusnya dimanfaatkan untuk mengatasi disparitas sosial dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

2. Risiko Konsentrasi Kekuasaan
Di sisi lain, penyeragaman akses terhadap Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan-perusahaan raksasa dapat memperkuat dominasi ekonomi mereka. Hal ini menimbulkan pertanyaan etis: "Apakah kebijakan ini secara tidak langsung memberikan keuntungan yang berlebihan kepada segelintir elit korporat?" dan "Apakah mekanisme pengawasan serta pengumpulan pajak telah disiapkan dengan cukup transparan untuk menghindari praktik-praktik korupsi dan 'pemutihan' sumber daya yang selama ini telah menggerogoti kepercayaan publik?"

Artikel di Law & Justice menyentuh persoalan pemutihan sawit dan modus korupsi baru, yang mengingatkan kita bahwa mekanisme hukum dan pengawasan harus diperkuat agar prinsip keadilan tidak hanya menjadi retorika, melainkan terwujud dalam setiap kebijakan.

Pajak sebagai Instrumen Keadilan

Pajak merupakan instrumen fundamental dalam mewujudkan keadilan sosial. Filosofisnya, pajak dapat dilihat sebagai "kontribusi sosial" yang wajib ditanggung oleh pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dari penggunaan sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik bersama. Dengan demikian:

A. Kewajiban Moral: Perusahaan yang memanfaatkan Hak Guna Usaha (HGU) harus menyadari adanya tanggung jawab moral untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat yang telah memberikan izin eksistensinya melalui konsensus politik.

B. Redistribusi dan Pemberdayaan: Dana yang terkumpul melalui pajak harus dikelola sedemikian rupa sehingga hasilnya dapat dinikmati secara luas, terutama bagi masyarakat yang selama ini terpinggirkan akibat praktik-praktik ekonomi yang tidak adil.

Dalam kerangka pemikiran keadilan sosial, penerapan pajak yang adil dan tegas dapat mengimbangi kekuatan ekonomi yang terkonsentrasi. Ini merupakan wujud nyata dari "keadilan untuk rakyat semua", di mana setiap warga negara mendapatkan haknya dari hasil eksploitasi sumber daya alam.

Tinjauan Etis dan Filosofis Terhadap Konsentrasi Korporasi

Dari sudut pandang etika, konsentrasi kekuasaan di tangan korporasi besar menuntut pengawasan yang ketat. Filsafat politik menekankan pentingnya prinsip egaliter yang menolak segala bentuk monopoli yang dapat merusak tatanan demokratis. Jika Hak Guna Usaha (HGU) dan pajak hanya memberikan manfaat kepada beberapa pemain besar, maka prinsip keadilan distributif akan terabaikan, mengakibatkan:

1. Kesenjangan Sosial yang Meningkat: Ketimpangan ekonomi yang tajam antara korporat dan masyarakat kecil.

2. Kehilangan Kontrol Publik: Sumber daya alam yang seharusnya dimanfaatkan untuk kemajuan bersama justru dioptimalkan untuk kepentingan segelintir elit.

3. Tantangan Etika dalam Pengambilan Keputusan: Pentingnya transparansi dan partisipasi publik dalam setiap tahap kebijakan, agar keputusan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomi semata, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Kesimpulan

Dari sudut pandang filsafat keadilan, kebijakan Pajak dan Hak Guna Usaha (HGU) yang diimplementasikan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2025 menyimpan potensi besar untuk mendorong redistribusi kekayaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, tantangan utama terletak pada bagaimana memastikan bahwa konsentrasi kekuasaan ekonomi pada perusahaan-perusahaan besar tidak mengorbankan prinsip keadilan sosial. Dengan penerapan sistem pajak yang kuat, transparan, dan akuntabel, diharapkan kontribusi perusahaan-perusahaan besar ini dapat benar-benar membawa manfaat bagi seluruh rakyat, sekaligus menjaga integritas dan keberlanjutan sumber daya alam Indonesia.

Uraian ini mengajak kita untuk merenungkan bahwa keadilan sejati bukan hanya soal pemerataan ekonomi, tetapi juga tentang pertanggungjawaban etis dan moral dalam pengelolaan sumber daya yang harus dimiliki bersama oleh seluruh bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun