Charles Wright Mills adalah seorang sosiolog Amerika yang lahir pada 28 Agustus 1916 di Texas, Amerika Serikat. Mills menerima gelar A.B dan A.M dari Universitas Texas pada tahun 1939 dan gelar Ph.D dari Universitas Wisconsin pada tahun 1941. Kemudian pada tahun 1946, Mills bergabung dengan Fakultas Sosiologi di Universitas Columbia dan menjadi dosen sosiologi. Dalam tulisan-tulisannya, Mills menafsirkan dunia melalui perspektif teoritis yang banyak dipengaruhi oleh Max Weber. Pemikiran Mills adalah pandangan menyeluruh mengenai sistem sosial budaya, dimana sistem ini saling bergantung dan memiliki efek mendalam pada nilai-nilai kemanusiaan, pikiran, dan perilaku.
Sebagai seorang ilmuwan sosial yang dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber, pemikiran Mills berpusat pada rasionalisasi, yaitu aplikasi praktis dari pengetahuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan yang dimaksud adalah efisiensi serta kemampuan atas koordinasi total dan kontrol atas proses sosial yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Pada intinya rasionalisasi merupakan asumsi dasar Mills mengenai sifat manusia dan masyarakat.Â
Dalam asumsinya, Mills menegaskan bahwa manusia tidak dapat dipahami jika terpisah dari struktur sosial dan sejarah tempat mereka terbentuk dan berinteraksi. Di sisi lain, manusia termotivasi oleh norma, nilai, sistem kepercayaan, serta perubahan struktural yang sering melemparkan "kosakata motivasi" dalam kehidupan masyarakat mereka. Berbagai perubahan struktural dalam peningkatan masyarakat mengakibatkan percepatan tempo perubahan era modern, sehingga beberapa hal menjadi jauh lebih berat bagi setiap individu.
Pemikiran Mills lainnya adalah mengenai white collar worker yang kemunculannya berakar pada perubahan pekerjaan karena pertumbuhan terakhir di birokrasi, perubahan teknologi, dan meningkatnya kebutuhan pada pasar barang dari masyarakat industri. Menurut Mills, karakteristik utama pekerja kerah putih dalam masyarakat industri modern adalah tidak terorganisir dan bergantung pada birokrasi besar untuk kelangsungan hidup mereka.Â
Dalam pengamatannya, Mills menemukan bahwa pekerjaan akan dipecah menjadi tugas fungsional sederhana yang standarnya ditetapkan berdasarkan kecepatan kerja dan output. Dengan adanya otomatisasi kantor dan pertumbuhan dalam pembagian kerja, jumlah pekerjaan rutin akan meningkat dan wewenang serta otonomi pekerjaan menjadi atribut untuk individu-individu di posisi atas. Pada akhirnya, perbedaan dalam hal kekuasaan, prestise, dan pendapatan antara pemilik wewenang dan pekerja biasa akan semakin besar.
Munculnya pekerja kerah putih memiliki efek besar bagi sistem pendidikan di birokrasi-industri masyarakat. Prestasi kerja dan promosi didasarkan pada pekerjaan yang dirutinkan serta mengikuti aturan birokrasi dan perintah dari orang lain. Seperti halnya pendidikan di Amerika yang fokusnya bergeser ke arah kejuruan, dimana SMA dan perguruan tinggi menjadi tempat pelatihan untuk birokrasi besar pemerintah dan industri. Mills kemudiaan mengidentifikasikan lima masalah sosial yang menyeluruh, antara lain alienasi, kepingsanan moral atau apatis, ancaman terhadap demokrasi, ancaman terhadap kebebasan manusia, dan konflik antara rasionalitas birokrasi dan akal manusia.
Dalam kesempatan lain, Mills juga mengemukakan pemikirannya mengenai penelitian sosiologis yang lebih mengarah pada persyaratan administratif. Menurut Mills, perbedaan antara pikiran sosiologis yang efektif dan yang gagal terletak pada imajinasinya.Â
Artinya, imajinasi sosiologi hanyalah sebuah "kualitas pikiran" yang memungkinkan seseorang untuk memahami sejarah dan biografi, serta hubungan antara keduanya dalam masyarakat. Imajinasi sosiologi bekerja dengan memengaruhi dan menggambarkan pola pikir tentang hal yang sosiologis dengan menekankan pada hubungan pengalaman individu dan hubungan sosialnya.Â
Tiga komponen yang membentuk imajinasi sosiologi adalah sejarah, biografi, dan struktur. Selain itu, imajinasi sosiologi juga dirangsang dengan mengasumsikan kesediaan untuk melihat dunia dari perspektif orang lain, sehingga seseorang tidak perlu takut untuk berpikir secara ekstrim yang imajinatif dan tidak perlu ragu untuk mengekspresikan ide-ide dalam bahasa yang sederhana dan langsung. Karena dalam imajinasi sosiologi ilmuwan sosial "menerjemahkan masalah privat menjadi masalah publik", dimana hal ini berarti individu menghubungkan masalah yang dihadapinya ke dalam struktur sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI