Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Revisi Kesadaran Hukum yang Urgen, Bukan Revisi UU ITE

17 Februari 2021   07:56 Diperbarui: 17 Februari 2021   08:00 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kebebasan berpendapat sebagaimana diatur dalam pasal 28 UUD 1945 jelas sekali memberikan hak kebebasan berserikat dan berpendapat, tetapi dengan syarat tidak mengganggu kebebasan orang lain. Kebebasan yang bertanggung jawab. Batasannya adalah tidak boleh melanggar hukum dan kebebasan orang lain.

Akibat reformasi dan kejatuhan Orde Baru yang dianggap mengekang kebebasan berserikat dan berpendapat, masyarakat kita eforia tentang kebebasan berpendapat ini. Bagaikan kuda liar yang lama terkekang dan terpenjara, begitu lepas ingin berlari dan tidak perduli menginjak siapa dan menendang siapa. Yang penting berlari sesukanya dan menendang siapa sesukanya. Kebebasan yang sebebas-bebasnya. Itulah gambaran masyarakat kita di ruang digital pasca reformasi.

Akibat keadaan itu adalah anakhis. Orang yang ingin sebebas-bebasnya akan melahirkan anarkhisme. Negara demokrasi hanya bisa berjalan, jika  kesadaran hukum tinggi. Untuk melahirkan kesadaran hukum, perlu penegakan hukum yang tegas, lugas dan tidak pandang bulu. Jika penegakan hukum lemah, maka anarkhisme itu akan berkembang. Itu akan mengundang otoriterisme dan diktatorisme. Lihat Myanmar. Junta militer selalu mengintip demokrasi yang terlalu bebas.

Itulah tontonan kita selama ini. Bisa demo berjilid-jilid, bisa menggunakan isu agama dalam Pilkada dan Pilpres. Kapal negara seakan akan karam. Jika ada ulama yang kerjanya memaki dan mengucapkan kebencian ditangkap. Pemerintah dituduh melakukan kriminalisasi ulama. Padahal ucapan dan tindakannya yang membuat dia dipanggil dan diperiksa polisi. Apakah kalau sudah memiliki status ulama boleh memaki dan mencaci seenak perutnya di ruang digital dan dalam demo?  Ingat, Tuhan tidak suka kalau ulama berkata kasar dan menghasut.

Kebebasan berpendapat harus diringi dengan kesadaran hukum dan tanggung jawab kepada kebebasan orang lain. Itulah pentingnya rambu-rambu hukum untuk memberikan batasan. Tujuan hukum adalah adanya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Hukum harus bisa menjaga ketertiban masyarakat. Untuk itulah hukum itu ada.

Hukum dan tujuan hukum harus dipahami setiap anggota masyarakat dan pemerintah juga. Kesadaran hukum masyarakat harus tumbuh kuat untuk bisa hidup dalam negara demokrasi yang sehat. Ruang digital harus dijaga dan dibatasi hukum. Semua ada batasnya, termasuk kebebasan berpendapat. Hukum publik itu sifatnya memaksa. Hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang sifatnya memaksa.

Masalah kita bukan  UU ITE dan implementasinya. Jadi bukan UU ITE yang perlu direvisi. Kesadaran hukum kita yang lemah dan ingin kebebasan yang sebebas-bebasnya yang perlu direvisi. Baik kesadaran hukum masyarakat maupun kesadaran hukum para penegak hukum. Penegakan hukum yang tegas, lugas dan adil menjadi sebuah kebutuhan dalam situasi masyarakat yang ingin hidup berdampingan dalam masyarakat. Jangan dipengaruhi kepentingan politik. Harus adil. Tugas hukum yang  menjaga ketertiban masyarakat yang harus ditegakkan oleh aparat penegak hukum. Kepentingan hukum, bukan kepentingan penegak hukumnya.

Meminjam istilah Presiden Jokowi dengan kata 'kalau'. Kalau UU ITE ini direvisi, apakah persoalan menjadi selesai? Selesai apanya? Apakah masyarakat dan warga bisa lagi secara leluasa melakukan pencemaran nama baik orang lain, menghina atau memfitnah? Bisa melakukan kritik tanpa batas ke pemrintah? Belum tentu. Kenapa?

Sesungguhnya pasal-pasal yang ada di UU ITE tentang pencemaran nama baik, penghinaan, fitnah, hoaks atau kabar bohong hanyalah kutipan atau mengambil dari UU no 1 tahun 1946 yang kita kenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 310-315 KUHP membahas tentang pencemaran nama baik, fitnah , penghinaan dan penyebarluasan berita bohong. Lengkap diatur di dalam pasal tersebut. Kenapa penyusun UU ITE memuat itu, tentu ada dasar dan pertimbangannya.

Sesungguhnya hal itu tidak diperlukan. Cukup mengacu kepada KUHP. Namun karena para penyusun RUU di DPR dan pemerintah sering melanggar prinsip-prinsip penyusunan legal draft baik menyangkut prinsip dan isi, yah jadinya begitu. Bisa kita lihat sebuah Peraturan pemerintah seperti UU. 

Padahal PP itu adalah aturan pelaksanaan UU. Tidak taat asas dalam penyusunan perundang-undangan membawa akibat terjadinya duplikasi hukum dan salah tempat. Namun seakan tidak lengkap sebuah Undang-undang kalau tidak dibuat dengan sanksi pidananya. Padahal seharusnya tidak perlu demikian. Bisa mengacu kepada KUHP saja sudah cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun