Mohon tunggu...
Alby Syafie
Alby Syafie Mohon Tunggu... lainnya -

Terus ingin belajar menulis untuk berbagi senyuman

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Guru, Oh... Guru

19 Desember 2014   15:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:58 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya ini tulisan lama. Beberapa bulan lalu tepatnya lupa. Entah mengapa baru kali ini bisa saya posting. Semoga tidak ada lagi kisah serupa.

Beberapa waktu lalu, saya sempat pergi ke kota tetangga yaitu kota "S". Ini merupakan kegiatan rutin tiga bulanan yang saya lakukan untuk mengunjungi kota yang satu ini. Kali ini saya membawa oleh-oleh yang sangat miris. Sesuatu yang sangat mencekik leher setelah mendengar dunia pendidikan di salah satu Sekolah Dasar di sana. Bila selama ini saya sangat miris melihat dunia pendidikan yang sempat tercemar oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, kali ini saya menjadi gerah mendengarnya langsung dari pihak yang menjadi korban.

Waktu itu, orang tua si korban mengeluh tentang anaknya yang suka minta uang saku lebih. Bahkan diluar kewajaran uang saku anak-anak pada umumnya (di kota itu). Saat saya menanyakan uang itu untuk apa, orang tua si Korban mengatakan uang itu untuk sumbangan. Saat itu pula saya pikir itu hal yang wajar. Namun, orang tua si korban mengeluh jika anaknya setiap hari suka minta uang saku lebih dari biasanya dalam jumlah besar. Saya pun heran dan kembali bertanya sumbangan untuk apa dengan jumlah yang besar. Si orang tua tidak menyebutkan nominal dari uang tersebut. Namun mendengar keluhannya, dengan melihat ekonomi orang tersebut yang dibilang cukup, saya perkirakan itu memang jumlah yang besar.

Saya pun langsung menanyakan pada si anak yang menjadi korban. Menurut ceritanya uang itu bukan sebagai sumbangan saja. Tapi sebagai uang denda. Seketika saya heran dan bertanya denda seperti apa yang dimaksudkan. Si anak menjelaskan gurunya gila. Selalu minta duit pada murid dengan berbagai alasan sumbangan ataupun denda bagi murid yang tidak mematuhi peraturan sang guru tersebut saat di dalam kelas.

Bahkan anehnya, si guru selalu mencari alasan sekecil apapun untuk bisa menarik denda pada murid-muridnya. Alhasil, hampir murid satu kelas merasakan ketidaknyamanan atas ulah guru tersebut. Ternyata selaian orang tua korban yang saya temui, banyak pula keluhan yang terlontar dari semua wali murid. Saya pun bertanya apakah tidak dikonfirmasikan langsung pada sang guru. Ternyata, saat dikonfirmasi kebenaran tersebut pada sang guru, jawabannya adalah jika uang denda tersebut akan dipergunakan untuk kepentingan siswa itu sendiri, seperti kegiatan cerdas cermat dan lomba lainnya.

Alasan tersebut selalu menjadi senjata bila ada pertanyaan wali murid yang diajukan pada sang guru. Anehnya, dari pihak sekolah tidak ada yang menindaklanjuti masalah tersebut. Padahal jika ditilik dari jawaban sang guru, hal itu tidaklah masuk akal dan tidak wajar. Apalagi menggunakan alasan lomba cerdas cermat. Karena dimanapun bila ada kegiatan cerdas cermat yang berkaitan dengan kegiatan sekolah, maka biaya akan ditanggung oleh pihak sekolah. Terlebih tidak ada cerdas cermat atau lomba yang pernah diikuti oleh murid-murid tersebut. Ini yang memicu keanehan dan kemarahan para wali murid atas ulah guru tersebut.

Meskipun ada juga biaya yang dibebankan pada murid, namun itu pun beban yang sewajarnya. Seperti sewa kostum saat ikut suatu event dan sebagainya. Saat saya usulkan untuk melaporkan tindakan guru tersebut pada kepala sekolah, katanya tidak ada tanggapan apapun. Bahkan si guru memberi ancaman jika ada yang tidak setuju atas tindakannya, diminta untuk bertemu langsung dengan yang bersangkutan. Bahkan ancaman pun diberikan pada murid yang melapor dengan ancaman nilai jelek atau tidak naik kelas. Tanpa harus melaporkan pada pihak kepala sekolah. Sehingga walaupun banyak keluhan dari pihak wali murid karena anak mereka yang selalu kehabisan uang saku, para orang tua murid tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan saat tulisan ini diangkat ke publik, salah satu orang tua korban mengatakan khawatir jika masalah ini di laporkan ke pihak sekolah, anak mereka akan mendapat ancaman tidak naik kelas.

Tiba-tiba saja teringat saat saya menjadi seorang guru SMK di sebuah Yayasan Swasta di kota saya. Setiap kali ada prakarya, mereka rela jika harus sumbangan. Namun saya malah tidak memperbolehkannya. Saya yang menyediakan semua bahan dengan menggunakan uang pribadi. Semua ini dengan tujuan, agar mereka tetap semangat belajar dan memiliki cita-cita tinggi.

Dan kisah di atas membuat saya sangat geram. Ini salah satu pencemaran yang lagi-lagi mengotori sebuah profesi guru. Dimana seharusnya yang patut dilakukan seorang guru adalah mendidik dan mengayomi. Tapi karena ulah oknum yang tidak menghargai arti “GURU”, maka dunia pendidikan semakin miris. Sehingga pertanyaan-pertanyaan hilir mudik di benak saya? Apa sebenarnya tujuan mereka memilih profesi sebagai "GURU", jika dunia pendidikan selalu tercoreng.
Marilah para guru sekalian, ingatlah akan tanggung jawab kalian semua. Tanggung jawab yang sangat besar untuk masyarakat, keluarga, diri sendiri, bangsa dan negara, serta tanggung jawab kelak di akhirat.

Semoga catatan ini bermanfaat dan tidak lagi saya dengar kisah miris serupa.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun