Dulu, membaca adalah kebiasaan wajar. Bahkan, terlalu wajar sampai tak perlu dibicarakan.Â
Kita tumbuh di zaman ketika surat kabar masih jadi teman pagi, buku jadi hadiah terbaik, dan majalah anak-anak jadi harta karun tiap akhir pekan.
Namun kini, membaca seakan berubah jadi kegiatan langka. Layaknya ritual kuno yang tak banyak lagi peminatnya.
Anehnya, kita hidup di zaman paling mudah untuk membaca. Segalanya ada di layar. Artikel, buku, jurnal, dan kisah apa pun bisa kita temukan hanya dengan mengetik beberapa kata.Â
Literasi Baca Negri Kita
Minat membaca kita runtuh. Banyak yang lebih suka membaca komentar dibanding tulisan. Lebih suka menatap notifikasi daripada paragraf.
Krisis membaca di negeri ini bukan hanya nyata, tapi juga masif. Ia bagai penyakit yang dibiarkan menahun. Orang berhenti membaca tanpa sadar.
Mereka tetap menatap layar berjam-jam, tapi tak lagi menyerap makna. Kita berinteraksi dengan huruf setiap hari, tapi bukan untuk memahami---hanya untuk menggulir, mengomentari, bahkan mencari sensasi.
Dan yang lebih menakutkan, krisis membaca ini bukan sekadar soal malas membuka buku. Ia sudah menular ke tingkat yang lebih tinggi: krisis berpikir.Â
Kemampuan membaca yang buruk akan melahirkan pemahaman yang rapuh. Dari pemahaman yang rapuh lahir keputusan yang keliru, dan dari keputusan yang keliru, lahirlah kebijakan yang menyesatkan.
Pemimpin yang Tak Membaca
Kita hidup di negeri yang pernah dipimpin oleh orang-orang yang terang-terangan mengaku tidak suka membaca. Pernyataan seperti itu sering dilontarkan dengan bangga, seolah-olah membaca hanyalah aktivitas bagi akademisi dan kaum cendekia yang "kurang kerjaan."