Mohon tunggu...
Albar Rahman
Albar Rahman Mohon Tunggu... Lecturer, Editor, Writer and Founder of sisipagi.com

Menulis dan membaca sejarah, penikmat kopi, pecinta budaya juga sastra. Kini menjadi suami siaga untuk nyonya tercinta sebagai pekerjaan tetap.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seni Menjadi Kepala Rumah Tangga

9 Oktober 2025   23:51 Diperbarui: 9 Oktober 2025   23:51 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sisipagi.com by. albar

Menjadi seorang ayah bukan hanya soal gelar baru yang tiba-tiba disematkan karena kelahiran seorang anak. Ia adalah proses panjang pembentukan diri, perjalanan sunyi yang tak banyak orang ceritakan, dan kadang terasa absurd tapi indah pada saat yang sama. 

Saya menyadarinya ketika status baru itu melekat pada diri sendiri. Ternyata menjadi kepala rumah tangga bukan hal mudah, tapi juga bukan sesuatu yang sulit. Ia memiliki nilai seni tersendiri.

Kalimat "menjadi kepala rumah tangga itu berat" sering kita dengar, tapi hemat saya ada kalimat yang lebih tepat: menjadi kepala rumah tangga itu seni. Ya, seni dalam bentuk paling nyata. 

Bukan seni di atas kanvas atau di panggung, melainkan seni mengelola hati, waktu, dan cinta dalam kehidupan yang nyata dan terus berubah.

Rumah Tangga: Sekolah Jiwa

Di dalam rumah tangga, kita mendidik bukan hanya anak, tapi juga diri sendiri dan pasangan. Kita sepakat, mendidik istri bukan berarti menggurui, melainkan belajar bersama menuju kedewasaan diri. 

Seringkali saya mendapati diri ini bukan sedang mengajari, tapi malah diajari: tentang kesabaran, tentang empati, tentang menerima keadaan yang tak selalu ideal.

Banyak orang mengira pernikahan adalah tentang "siapa yang memimpin", padahal sejatinya ia tentang "siapa yang mau belajar paling duluan." Inilah seni pertama menjadi kepala rumah tangga: mau belajar tanpa gengsi. 

Setiap keputusan kecil dalam keluarga adalah karya seni yang tercipta dari hasil diskusi, kadang debat, kadang diam, tapi akhirnya menemukan bentuknya sendir. "Indah dalam ketidaksempurnaannya".

Anak: Cermin Terbaik dari Diri Kita

Lalu, datanglah amanah yang lebih besar: anak. Seorang anak membuat kita bercermin pada diri sendiri. 

Tiba-tiba segala teori hidup yang dulu kita dengar, kini menuntut pembuktian. Kita belajar bahwa mendidik bukan soal banyaknya nasihat, tapi keteladanan yang pelan-pelan mereka lihat setiap hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun