Menjadi seorang ayah bukan hanya soal gelar baru yang tiba-tiba disematkan karena kelahiran seorang anak. Ia adalah proses panjang pembentukan diri, perjalanan sunyi yang tak banyak orang ceritakan, dan kadang terasa absurd tapi indah pada saat yang sama.Â
Saya menyadarinya ketika status baru itu melekat pada diri sendiri. Ternyata menjadi kepala rumah tangga bukan hal mudah, tapi juga bukan sesuatu yang sulit. Ia memiliki nilai seni tersendiri.
Kalimat "menjadi kepala rumah tangga itu berat" sering kita dengar, tapi hemat saya ada kalimat yang lebih tepat: menjadi kepala rumah tangga itu seni. Ya, seni dalam bentuk paling nyata.Â
Bukan seni di atas kanvas atau di panggung, melainkan seni mengelola hati, waktu, dan cinta dalam kehidupan yang nyata dan terus berubah.
Rumah Tangga: Sekolah Jiwa
Di dalam rumah tangga, kita mendidik bukan hanya anak, tapi juga diri sendiri dan pasangan. Kita sepakat, mendidik istri bukan berarti menggurui, melainkan belajar bersama menuju kedewasaan diri.Â
Seringkali saya mendapati diri ini bukan sedang mengajari, tapi malah diajari: tentang kesabaran, tentang empati, tentang menerima keadaan yang tak selalu ideal.
Banyak orang mengira pernikahan adalah tentang "siapa yang memimpin", padahal sejatinya ia tentang "siapa yang mau belajar paling duluan." Inilah seni pertama menjadi kepala rumah tangga: mau belajar tanpa gengsi.Â
Setiap keputusan kecil dalam keluarga adalah karya seni yang tercipta dari hasil diskusi, kadang debat, kadang diam, tapi akhirnya menemukan bentuknya sendir. "Indah dalam ketidaksempurnaannya".
Anak: Cermin Terbaik dari Diri Kita
Lalu, datanglah amanah yang lebih besar: anak. Seorang anak membuat kita bercermin pada diri sendiri.Â
Tiba-tiba segala teori hidup yang dulu kita dengar, kini menuntut pembuktian. Kita belajar bahwa mendidik bukan soal banyaknya nasihat, tapi keteladanan yang pelan-pelan mereka lihat setiap hari.