Di balik dinding pesantren dan santri  sedang menuntut ilmu, ada cerita tentang izin perlu evaluasi bersama. Sedihnya datang kabar nyawa menjadi korban. Namun kesemua ini jadi pelajaran berharga untuk masa-masa nanti.Â
Santri dan seutas doa KitaÂ
Sebagai anak yang pernah merantau sekaligus menjadi santri kalong di Pesantren Krapyak hingga Mlangi di Jogja kala itu juga merupakan Mahasiswa. Bagi kami dunia pesantren adalah ajaran untuk hidup sederhana, menuntut ilmu dengan secangkir kopi pahit dari warung sekitar layaknya angkringan paling hangat.
Sebagai sesama santri  kabar dari Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, membuat dada kita sesak.  Awal Oktober ini, bangunan dua lantai di pondok itu ambruk. Lebih dari 60 santri meninggal dunia, sebagian besar masih remaja belasan tahun. Puluhan lainnya luka-luka, dan belasan dinyatakan hilang. Tim SAR sempat menghentikan pencarian setelah enam hari penuh reruntuhan.
Menjadi evaluasi memang bahwa mendirikan bangunan perlu izin dan lain hal. Kedepan kita perlu jadikan catatan untuk memperhatikan aspek perizinan hingga profesionalitas yang mengerjakannya.
Jangan lagi ada duka nantinya, santri dan kitab kuning harus nyatu dalam puing-puing bangunan. Semoga kesemuanya jadi saksi bisu perjuangan santri dan kita semua yang menyaksikan dari kejauhan turut mendoakan tanpa henti.
Fakta: 42.000 Pesantren, Hanya 50 yang Berizin
Kementerian Agama mencatat bahwa Indonesia memiliki lebih dari 42 ribu pesantren dengan total lebih dari 5 juta santri. Sebagian besar berdiri di atas tanah wakaf, hasil swadaya masyarakat, atau hibah tokoh lokal.Â
Artinya, lebih dari 99% bangunan pesantren di Indonesia tidak memiliki sertifikat kelayakan konstruksi. Sebagian besar dibangun bertahap, menyesuaikan donasi dan tenaga yang tersedia. Bahkan ada pondok yang menggunakan bekas rumah pribadi, toko, atau bangunan darurat yang disulap menjadi asrama.
Kita tidak perlu saling menghakimi. Mari kita lihat betapa besar antusias dunia pesantren ingin mendidik generasi bangsa. Ini perlu apresiasi, biarlah kekurangan di sana-sini menjadi catatan tersendiri.
Nyatanya Pemerintah memang memiliki Undang-Undang Pesantren Nomor 18 Tahun 2019, tapi undang-undang itu lebih menyoroti aspek pendidikan, bukan infrastruktur fisik. Tidak ada mekanisme baku yang memastikan bangunan pesantren memenuhi standar keselamatan minimal.
Tanpa menyalahkan pihak manapun. Saatnya pemerintah dan dunia pesantren bergandeng tangan lebih erat dalam mencetak anak bangsa berjiwa kenegarawanan berbasiskan nilai luhur sebagai santri.
Bersahaja dan Relevan dengan tantangan ZamanÂ
Pesantren sedari dulu dikenal dengan kesedrhanaanya begitupun pari santrinya. Sosok pengasuh bersahaja lagi karismatik juga melekat kuat. Bangunan pesantren itu kokoh karena niat tulus para pengasuh sekaligus pendirinya. Ini modal sosial yang mahal jika kita tinjau dari aspek kemanusiaanya.Â
Lembaga ini juga semakin hari selalu saja tampil mengikuti memecahkan banyak masalah akar rumput yang terjadi di masyarakat bawah. Tidak hanya itu para kiainya banyak menjadi pemimpin besar bangsa ini, sebut saja sosok karismatik Hadratussyaikh Hasyim Ay’ari hingga nama besar Gus. Dur yang berlatar pesantren menjadi seorang presiden dalam catatan panjang negri ini.Â
Bayangkan jika setiap pesantren punya akses pendampingan dalam berbagai aspek. Untuk kali ini pengarahan arsitektur, punya audit struktur sederhana yang difasilitasi Kementerian PUPR dan Kemenag. Bukan mustahil, sistem itu bisa mencetak generasi pemimpin kauat tapi kongkrit menyelamatkan ribuan nyawa di masa depan.
Pesantren akan selalu relevan dengan zaman. Kesederhanaan dan bersahajanya sosok didalamnya jangan dianggap kelemahan tapi melainkan ini adalah modal mahal sebagai mata uang berharga mengahdapi carut marutnya zaman dan kebudayaan asing yang mengancam jati diri sebagai bangsa.
Senerai Penutup: Duka dan Kesadaran Bersatu
Tragedi di Sidoarjo seharusnya menjadi pelajaran bersama. Bukan untuk mencari kesalahan, tapi untuk membangun sistem perlindungan jangka panjang. Pemerintah pusat bersama ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah bisa membuat program kolaboratif: kerjasama nyata saling menguatkan dari berbagai aspek termasuk bangunan fisik maupun non fisik.Â
Saya sebagai penulis secara pribadi sontak teringat gagasan menarik KH. Yusuf Hasyim akrab disapa Pak. Ud sang pengasuh Pesantren Tebuireng diera tahun 1980 hingga 1990-an itu pernah memberikan gagasan keanggotaan ganda warga NU dan Muhammadiyah. Ternyata hari ini, dari duka yang ada, kita semua sadar bahwa persatuan lintas bendera apapun wajib bersatu.Â
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI