Tertawalah Untuk Hari Penuh Arti
Hari-hari dipenuhi dengan kebahagian jika kita memilih menciptakan kebahagiaan untuk hari-hari kita. Demikian juga sebaliknya, jika kita memilih bermuram durja, sumpah serapah hingga tersisa keluh-kesah maka itulah hari-hari kita.Â
Tinggal kita pilih yang mana? Tulisan sederhana kali ini memilih bahagia melalui pintu tertawa sebagai obat segala peluh lagi lelah.Â
Selamat menikmati! Semoga bermanfaat.Â
1. Tertawa Sepulang Kerja, Ritual yang Menyegarkan
Pulang kerja, badan remuk redam, kepala penuh beban, tapi begitu masuk rumah, saya dan istri punya kebiasaan sederhana: tertawa. Kadang cuma karena hal sepele---cerita lucu di perjalanan, kejadian konyol di kantor, atau sekadar melihat tingkah laku anak-anak yang polos.Â
Ternyata, tertawa itu bukan hanya mengobati lelah, tapi juga menciptakan semangat baru. Bukankah hidup yang terlalu serius itu melelahkan?
Seorang peneliti dari University of Oxford, Robin Dunbar, pernah mengatakan bahwa tertawa bukan hanya melepaskan endorfin yang membuat bahagia, tetapi juga meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit. Artinya, semakin sering kita tertawa, semakin kebal kita terhadap rasa lelah dan stres.Â
Tak heran jika saya dan istri lebih memilih terapi tertawa ketimbang menyesap amarah akibat lelah bekerja. Yang jelas kami agak mengganggu tetangga karena tinggal di pedasaan, terbahak lepas untuk masyarakat desa masih tabuh.Â
2. Ritual Sebelum Menulis: Bercanda dan Bermain
Setiap penulis punya ritual sebelum mulai menulis. Saya? Main dulu!Â
Entah bercanda ria dengan istri, bermain bersama ponakan, atau bahkan sekadar nelponan dengan kawan yang asyik diajak bercanda. Ini bukan sekadar kebiasaan, melainkan bentuk pemanasan agar pikiran lebih rileks dan jari-jemari lebih lincah menari di atas keyboard.
Ernest Hemingway konon selalu minum segelas anggur sebelum menulis, sedangkan saya lebih memilih tertawa. Barangkali inilah alasan mengapa tulisan saya tetap hidup, karena ia lahir dari suasana hati yang ringan dan bahagia. Asli ini muji diri sendiri, maafkan hehehe.Â
3. Tertawa Sebagai Cermin Diri
Ada satu kebiasaan yang selalu saya lakukan: mentertawakan diri sendiri. Bukan dalam arti merendahkan diri, melainkan sebagai bentuk refleksi yang menyenangkan.Â
Kadang kita terlalu serius menilai hidup, seolah-olah setiap kesalahan adalah tragedi. Padahal jika dilihat dari sudut pandang berbeda, banyak hal dalam hidup yang justru lucu.
Seorang filsuf besar, Friedrich Nietzsche, pernah berkata, "Belajar tertawa berarti belajar melihat kehidupan dari perspektif yang lebih luas." Saya mengamini ini.Â
Dalam perjalanan hidup, sering kali kita terlalu keras pada diri sendiri. Padahal, ketidaksempurnaan kita adalah bagian dari keunikan yang bisa kita nikmati, bukan kita sesali!
4. Warung Kopi dan Yasinan: Tempat Berbagi Tawa
Yuk kita lompat ke kegiatan ngopi dan bermasyarakat seperti yasianan dan tahlil. Intinya, tertawa juga lebih nikmat jika dibagi.Â
Makanya, saya sering mengungkapkan refleksi ringan ini dalam obrolan warung kopi bersama teman-teman atau saat yasinan berbaur dengan masyarakat. Terkadang, di tengah menyantap hidangan "sederhana-nan-mewah", saya mencairkan suasana dengan kelakar,
"Saya lahir di Muhammadiyah dan insyaAllah akan khusnul khatimah di Nahdlatul Ulama (NU)."
Tawa pun pecah. Bukan untuk menertawakan perbedaan, tapi justru merayakan keberagaman dengan kebahagiaan.Â
Karena pada akhirnya, tawa adalah bahasa universal yang mendekatkan hati. Bahkan menciptakan hangatnya kebersamaan.Â
5. Sains di Balik Tawa: Bukti Bahwa Bahagia Itu Menyehatkan
Banyak penelitian membuktikan manfaat tertawa. Sebuah studi di Loma Linda University menyatakan bahwa tertawa mampu menurunkan kadar hormon stres seperti kortisol dan meningkatkan produksi sel imun.Â
Artinya, tertawa bukan hanya bikin bahagia, tapi juga memperkuat sistem kekebalan tubuh. Bahkan, ada terapi tertawa yang dikenal sebagai "laughter yoga"---sebuah metode yang mengajarkan orang untuk tertawa tanpa alasan demi kesehatan mental dan fisik.Â
Kalau ada yang bilang "tertawa itu sehat", itu bukan sekadar kata-kata kosong. Tapi itu fakta nyata betapa kesehatan itu murah yang selama ini kita anggap "mahal".
Senerai Penutup: Tertawalah, Sebelum Hidup Ini Terlalu Serius
Jadi, kenapa kita masih sering menahan tawa? Hidup sudah cukup melelahkan tanpa harus kita tambahi beban dengan keseriusan berlebihan.Â
Tertawalah, bukan karena tidak peduli, tapi karena sadar bahwa hidup ini lebih indah jika dijalani dengan ringan. Dan ingat pekerjaan akan ringan jika ditinggalkan hehehe.Â
Kembali, saya percaya bahwa kunci kebahagiaan adalah tertawa. Bukan hanya sebagai pelarian dari lelah, tapi juga sebagai cara menikmati hidup.Â
Kalau masih ragu, coba saja tertawa lebih sering. Barangkali, dalam tawa itulah, kita menemukan energi baru untuk terus melangkah.
Tertawalah, sebelum tertawa itu dikenakan pajak! Salam.Â
31 Januari 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI