Ada satu kebiasaan yang selalu saya lakukan: mentertawakan diri sendiri. Bukan dalam arti merendahkan diri, melainkan sebagai bentuk refleksi yang menyenangkan.Â
Kadang kita terlalu serius menilai hidup, seolah-olah setiap kesalahan adalah tragedi. Padahal jika dilihat dari sudut pandang berbeda, banyak hal dalam hidup yang justru lucu.
Seorang filsuf besar, Friedrich Nietzsche, pernah berkata, "Belajar tertawa berarti belajar melihat kehidupan dari perspektif yang lebih luas." Saya mengamini ini.Â
Dalam perjalanan hidup, sering kali kita terlalu keras pada diri sendiri. Padahal, ketidaksempurnaan kita adalah bagian dari keunikan yang bisa kita nikmati, bukan kita sesali!
4. Warung Kopi dan Yasinan: Tempat Berbagi Tawa
Yuk kita lompat ke kegiatan ngopi dan bermasyarakat seperti yasianan dan tahlil. Intinya, tertawa juga lebih nikmat jika dibagi.Â
Makanya, saya sering mengungkapkan refleksi ringan ini dalam obrolan warung kopi bersama teman-teman atau saat yasinan berbaur dengan masyarakat. Terkadang, di tengah menyantap hidangan "sederhana-nan-mewah", saya mencairkan suasana dengan kelakar,
"Saya lahir di Muhammadiyah dan insyaAllah akan khusnul khatimah di Nahdlatul Ulama (NU)."
Tawa pun pecah. Bukan untuk menertawakan perbedaan, tapi justru merayakan keberagaman dengan kebahagiaan.Â
Karena pada akhirnya, tawa adalah bahasa universal yang mendekatkan hati. Bahkan menciptakan hangatnya kebersamaan.Â
5. Sains di Balik Tawa: Bukti Bahwa Bahagia Itu Menyehatkan
Banyak penelitian membuktikan manfaat tertawa. Sebuah studi di Loma Linda University menyatakan bahwa tertawa mampu menurunkan kadar hormon stres seperti kortisol dan meningkatkan produksi sel imun.Â
Artinya, tertawa bukan hanya bikin bahagia, tapi juga memperkuat sistem kekebalan tubuh. Bahkan, ada terapi tertawa yang dikenal sebagai "laughter yoga"---sebuah metode yang mengajarkan orang untuk tertawa tanpa alasan demi kesehatan mental dan fisik.Â