Mohon tunggu...
albarian risto gunarto
albarian risto gunarto Mohon Tunggu... Freelancer - saya datang saya lihat saya lalui saya tulis

bapak-bapak yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mendaki Penanggungan bersama Dua ABG Tanggung yang Moody

28 Agustus 2023   14:48 Diperbarui: 29 Agustus 2023   15:28 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Penanggungan dari Base Camp Tamiajaeng (dok.pri)

Cara asyik Membuat Keluarga Lebih Kompak

Dulu hampir tiap minggu kami melakukan ini, saat covid dan masih WFH baik kerja maupun sekolah. Ketika covid usai dan sekolah sudah aktif kembali, anak-anak yang sudah mulai sekolah lagi jarang ikut, terutama Si Nduk yang sekolah negeri yang hari Sabtu tidak libur.

Jalur Menuju Puncak Pawitra Penangungan  (dok.Pri)
Jalur Menuju Puncak Pawitra Penangungan  (dok.Pri)

Kali ini ada kesempatan itu lagi, bukan acara yang disengaja sebenarnya. Rencananya kami akan mendaki bareng teman-teman dari Komunitas Aspala dalam rangka latihan sebelum naik ke Merbabu. 

Sampai dengan H-1 pendakian hanya beberapa orang yang ingin gabung. Ditambah lagi Si Nduk yang akan dilatih tiba-tiba "mutung" lagi. Memang susah menghadapi ABG cewek. Akhirnya malam itu saya batalkan, tidak jadi mendaki.

Paginya selesai Sholat Subuh, Si Nduk berubah pikiran lagi, mau mendaki tapi tidak ke Penanggungan. Menurutnya ke Gunung Pundak saja yang lebih ringan. Tapi saya bersikeras kalau mau latihan ya ke Penanggungan atau tidak sama sekali. Tawar menawar ini berlangsung sengit, diwarnai dengan adu argumen dan drama-drama.

Lepas jam 06.00 pagi baru dia mengatakan oke mau berangkat ke Penanggungan, mungkin dia baru mengatakan itu siang agar batal dan diganti dengan rute yang dekat saja.

Tapi tidak untuk Saya dan Bundanya, langsung kami persiapkan peralatan untuk mendaki tektok, terutama tas, sepatu dan air  minum. Untuk bekal kami beli di toko yang searah.

Sekira 1,5 jam  kami sudah sampai di Basecamp Pendakian Gunung Penanggungan Via Tamiajeng di Trawas, Mojokerto. 

Setelah selesai memarkir kendaraan di sebuah warung yang sekaligus tempat penitipan kendaraan, saya segera melapor ke petugas Pos Pendakian.

Disitu sudah banyak para pendaki yang juga akan naik penanggungan, kebanyakan tektok, ada juga yang Trail Run.

Bukan Hanya Jalan, Tapi Mood dan Mental Juga Naik Turun

melihat medan (dok.pri)
melihat medan (dok.pri)

Setelah mendaftar dan mengikuti briefing, kami berempat segera berdoa dan kemudian berangkat. Si Nduk moodnya sudah berubah menjadi ceria, setelah didalam mobil melakukan "Tapa Bisu". 

Dari Pos 1 satu yang juga Base Camp kami menyusuri jalan desa menuju Pos 2 (batas hutan). Rombongan kami yang hanya berempat, pecah jadi 2. Yang depan tentunya si Thole dan Bundanya yang memang ketika mendaki punya kemampuan fisik lebih dibanding kami berdua, yang tertinggal di belakang.

Sampai di Pos 2, yang ada beberapa warung berjajar, mereka berdua menunggu kami. Tapi saya lihat muka Si Thole berubah jadi "mecucu" atau dongkol. Terlebih ketika saya iseng memfotonya, membuat dia makin marah.

Dan yang melakukan "tapa bisu"ganti si Thole sepanjang perjalanan. Ternyata ini berpengaruh pada mentalnya. Sepanjang perjalanan dia banyak mengeluh pusing, capek, minta balik, gak mau menyapa pendaki lain dan hal-hal yang negatif lainnya.

Si Thole lagi Tapa Bisu (dok.pri)
Si Thole lagi Tapa Bisu (dok.pri)

Kondisi berbeda dialami si Nduk yang jadi lebih bersemangat berjalan dan mau menggoda adiknya yang tetiba berubah jadi "pendiam". 

Saya dan Bundanya sudah paham kondisi mental si Thole tetap meneruskan berjalan, juga tidak membujuk maupun mengajak dia ngobrol. Hanya sesekali berhenti dan menawarkan dia minum.

"Tapa Bisu" si Thole ini berakhir setelah lewat Pos 3, ketika dia bertanya apa masih jauh ke Pos 4 dan saya jawab "setelah belokan" dengan guyon. Dia yang tahu saya hanya menjawab untuk menyenangkan, dia pun mau tersenyum, saat itu suasana menjadi cair. Kami sering ngobrol berempat dan guyon di sepanjang perjalanan menuju Pos 4.

susana sudah mencair (dok.pri)
susana sudah mencair (dok.pri)

Selepas Pos 4 menuju Puncak Bayangan jalan yang kami lalui sangat berdebu. Debunya halus, mirip seperti asap. Kondisi ini membuat kami harus berhati-hati karena rawan klilipan. 

Karena inilah ketika ada percabangan jalur, saya nekad ambil jalur kiri yang saya lihat tidak berdebu. Tapi Bunda bersikeras tidak mau lewat situ karena ketika briefing dilarang mengambil jalur kiri.

Untuk kompromi, rombongan dibagi Dua kelompok lagi, kali ini Saya bersama Thole dan Bunda sama Nduk. Jalurnya hanya dipisahkan segerombol pepohonan, bahkan kami masih saling berteriak untuk memberitahukan posisi.

Jalur yang saya pilih ternyata lama kelamaan menjadi lebih curam dan berdebu, bahkan  sulit untuk naik. Selain itu juga berbahaya, jika salah langkah dan terpeleset harus memulai dari bawah kembali.

Kami kembali berkumpul ketika sudah sampai di Puncak Bayangan. Bunda dan Nduk sampai duluan disana, karena jalurnya lebih mudah walupun berdebu. Disini, seperti biasa banyak tenda berdiri. 

Dua ABG ini sangat senang sudah sampai di Puncak Bayangan, mengira hanya akan kami akhirkan disini dan kembali turun.

puncak bayangan (dok.pri)
puncak bayangan (dok.pri)

Kami berempat menuju ke salah satu penjual yang hanya berjualan di akhir pekan. Sekarang yang berjualan ada 4 orang, 3 Orang baru, berjualan disekitar kawasan tempat camping dan Satu orang lagi yang orang lama tetap berjualan di jalur menuju Puncak Pawitra.

ngemil semangka (dok.pri)
ngemil semangka (dok.pri)

Tapi mereka hanya jualan air minum, semangka dan makanan ringan. Untuk mie instan juga berjualan tapi mentah.  Mereka tidak bisa memasak karena tidak ada sumber air di sekitar situ.

Tak terasa beberapa potong semangka kami habiskan, cukup untuk memulihkan stamina. Setelah itu kami ajak mereka berdua untuk kembali melanjutkan perjalanan ke Pawitra.

Mereka berdua tidak percaya akan diajak naik kembali. Mereka mogok, bersikeras tidak mau naik karena takut dengan jalurnya. Untungnya Ibu penjual ikut memberi semangat, bahwa nanggung kalau tidak naik sekalian.

jalan terjal menuju puncak (dok.pri)
jalan terjal menuju puncak (dok.pri)

Dengan setengah hati dan dongkol mereka mau tidak mau ikut dengan kami. Si Nduk cepat pulih rasa dongkolnya dan segera bisa menyuasaikan diri, lebih ceria dan berjalan cepat dengan Bunda didepan.

Si Thole yang Mood dan Mentalnya sedang turun, kembali sambat pusing dan mengomel di jalur tanjakan berbatu yang curam ini. Mental dan Mood si Thole baru pulih ketika dia bisa menyalip beberapa rombongan dan diajak mengobrol oleh mereka.

Jalan curam dengan kemiringan lebih dari 60 derajat dan berbatu kami lalui setapak demi setapak. Sesampainya di Puncak Pawitra cuaca sedang cerah sehingga rasa lelah sepanjang perjalanan terbayar lunas.

Disini kita bisa melihat pegunungan lain, pemandangan kota sekitar termasuk melihat Lumpur Lapindo.

Bergaya di Puncak (dok.pri)
Bergaya di Puncak (dok.pri)

Di Pawitra, kami tidak berlama-lama karena sudah tengah hari, sehingga matahari sedang terik-teriknya. Hanya makan bekal yang kami bawa  dan foto-foto untuk mengabadikan keindahan alam.

Lumpur Lapindo (dok Pri)
Lumpur Lapindo (dok Pri)

Perjalanan turun mejadi tantangan tersendiri. Apalagi di jalur Pawitra ke Puncak bayangan yang curam dan penuh batuan. 

Untuk beberapa saat Thole dan Nduk harus "ngesot" untuk menuruni jalur yang mempunyai kemiringan lebih dari 45 derajat. Tapi lama kelamaan sudah bisa berdiri dan pelan-pelan berjalan normal walaupun tetap harus berhati-hati agar tidak terpeset.

tertatih tatih (dok.pri)
tertatih tatih (dok.pri)

Thole yang suka turunan bisa lebih cepat bersama Bunda. Si Nduk yang kesulitan saya temani. Di tempat yang sama, di Puncak Bayangan, di Ibu-ibu penjual yang berkemas untuk pulang kami berkumpul lagi untuk berkonsolidasi.

Turun dari Puncak Bayangan kami masih berjalan berempat menyusuri jalan berdebu ini. Namun semakin lama, Saya dan Nduk ketinggalan oleh mereka berdua. 

Si Nduk agak pelan karena ini Gunung pertamanya, seperti pendaki pemula lainnya, Nduk juga merasakan sakit di ujung jari-jari kaki ketika turun.

Pada dasarnya untuk turun tidak ada masalah berarti dan lancar. Bunda dan Thole sudah sampai di Base camp ketika kami berdua mampir di warung Sekitar Pos 2 untuk minum teh dan melepas sepatu sebentar.

Tepat jam 16.51 kami berempat sudah berkumpul di warung Basecamp. Thole sudah menghabiskan sepiring Mie Rebus dan Bunda sudah menandaskan semangkok Soto Ayam. Lega, bisa menyelesaikan pendakian yang penuh drama.

Setelah bersih-bersih dan menunggu Sholat Maghrib kami kembali kerumah dengan perasaan bahagia dan penuh syukur. Berhasil menyelesaikan sebuah latihan untuk persiapan menghadapi gunung tujuan berikutnya, Gunung Merbabu.

The Trutusan Fam (dok.pri)
The Trutusan Fam (dok.pri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun