Mohon tunggu...
Alan Maulana
Alan Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Manusia

Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hidup Segan Mati pun Tak Kenyang

19 Oktober 2022   00:47 Diperbarui: 19 Oktober 2022   07:24 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 gambar: doc. pribadi

Di depan pintu masuk ruangan Dr. Thomas, laki-laki berkepala plontos terus mengetuk pintu. Tidak puas dengan hasil periksa yang diberikan.

"Masa cuma ini, Dok?" ujarnya, seraya membentangkan surat hasil pemeriksaan.

"Memang hanya penyakit kurap yang kamu derita. Selebihnya aman" Dr. Thomas menjawab. Dengan basa-basi, ia mengambil kertas hasil periksa.

"Masa cuma ini, Dok?" pria itu tetap ngotot ingin hasil lebih. 

"Malah bagus, kan? Artinya kamu sehat!" 

"Apakah kurap bisa menyebabkan kematian, Dok?"


"Mungkin bisa, tapi kecil kemungkinan. Sejauh ini, belum ada orang yang mati akibat kurap"

"Huuh, payah!"

     Pria itu menggebrak meja. Dr. Thomas geram. Senyum manis yang selalu disuguhkannya kepada pasien kini berubah jadi cemberut . Muka masamnya mulai keluar. Dia merasa kebingungan menghadapi orang ini. Sejauh ini, belum ada orang yang minta sakit. Semuanya jelas minta ingin dibantu sembuh. Pria plontos ini berbeda. Mungkin ia adalah orang pertama di dunia yang memeriksa kesehatan tapi mengharapkan sakit yang lebih parah lagi.

"Gila! Di mana-mana, orang berobat itu minta sembuh! Bukan minta sakit!"

"Saya, saya takut hidup, Dok! Saya takut kehidupan"

   Dr. Thomas memlih untuk tidak menjawab. Tetapi pria itu terus nyerocos meski tidak dijawab. Lama sekali, sampai Dr. Thomas merasa bosan. Kesabarannya sudah habis, tetapi bingung cara apa lagi yang harus ia lakukan untuk bisa mengusir pria itu. 15 menit lamanya pria itu bicara sendiri, merasa tidak juga ada tanggapan, dengan cepat tangannya meraih kotak jarum suntik yang berada di depan Dr. Thomas. 

"Tunggu, apa yang akan kamu lakukan?"

"Sudah aku katakan Dokter! Aku ini takut hidup! Kau ini tolol atau bagaimana?"

"Lah! Apa urusanku kalau kamu takut hidup?"

"Haduh! Benar juga kata orang kalau ijazah itu hanya kertas. Kau ini, Dokter! Harusnya tahu apa pekerjaanmu! Aku pasien, datang untuk minta engkau menyembuhkan penyakitku. Hal begituan saja masa kamu tidak paham sih? Pusing deh! Jelas ini urusanmu, pekerjaanmu!"

    Dr. Thomas termenung memikirkan apa yang dikatakan pria plontos itu. Ada benarnya juga. Sudah tugasnya sebagai dokter untuk bisa mengobati pasien. Tetapi, Dr. Thomas bukan dokter jiwa, melainkan spesialis kulit. Jelas bukan ranahnya mengobati pasien gangguan jiwa. Setelah menimbang apa yang harus ia katakan agar tidak membuat pria itu bertanya kembali, Dr. Thomas kemudian menjelaskan kalau ia memang bukan spesialis jiwa.

"Heh? Jadi kamu menyangka kalau aku ini kurang waras? Tidak sopan! Percuma kuliah tinggi-tinggi kalau etikamu terhadap pasien nol besar! Apa jangan-jangan kamu ini memang tidak kuliah? Ijazahmu palsu? Nyogok berapa duit?"

"Cukup! Keluar sekarang!"

   Dengan kesal, Dr. Thomas menyeret tubuh pria plontos itu agar mau keluar. Meski usianya sudah setengah senja, tetapi tenaga Dr. Thomas masih seperti anak muda. Baginya, daya tahan tubuh adalah hal terpenting yang harus dijaga. Sebagai dokter, sangat malu jika tubuhnya sakit-sakitan. Itulah yang kemudian menyebabkan ia rajin membentuk badan, berolahraga, agar tidak ada pasien yang mencelanya. 

   Setelah berhasil membuat pria plontos itu keluar dari ruangannya, Dr. Thomas kemudian menghubungi satpamnya agar pria itu bisa ditangani. Menghadapi pria plontos itu membuat ia menjadi lelah dan memilih tidur sejenak untuk beristirahat. Akan tetapi setelah bangun, Dr. Thomas terkejut ketika melihat pria plontos itu tiba-tiba muncul kembali di hadapannya.

"Loh! Kok kamu bisa masuk? Lewat mana?"

"Kamu tidak harus tahu, Dokter! Kamu harus tolong aku dulu, baru aku beri tahu. Aku takut hidup! Aku takut kehidupan!"

"Apa yang menyebabkan kamu takut kehidupan?"

"Waktu kecil, aku senang sekali bisa terlahir sebagai manusia. Bisa bermain sepuas hati, makan enak, tidak memikirkan apa-apa selain makan dan tidur. Tetapi, setelah aku tumbuh dewasa, caraku memandang dunia jadi berbeda. Masalah mulai bermunculan. Belum selesai memikirkan masalah pribadi, muncul masalah negara. Belum selesai memikirkan masalah negara, muncul masalah dunia. Adu domba sangat mudah masuk pada jamanku, berita yang tidak jelas asal-usulnya mudah bertebaran, fanatisme kedaerahan mulai muncul kembali. Kalau bisa memilih, rasanya ingin sekali jadi lalat  capung yang hanya memiliki batas usia 1 hari. Percuma hidup kalau banyak musuh tak kasat mata"

  Dr. Thomas menatap lekat pria plontos itu. Menatap wajah dan mendengarkan pernyataannya, Dr. Thomas bisa mendapatkan kesimpulan bahwa pria ini adalah korban kerasnya zaman.  Dr. Thomas kemudian ingin memberikan tanggapan, akan tetapi pria plontos itu langsung memotongnya.

"Beribu-ribu maaf, Dok! Aku ingin mati karena sudah bosan. Bosan mencari kerja di perusahaan yang memang benar-benar mau menerima. Di sini masih banyak pungli. Sudah tahu kita bekerja mau cari uang, malah dimintai uang. Ada memang pekerjaan yang tidak pakai uang, tapi peluang untuk masuk itu sedikit. Harus punya orang dalam. Kalau tidak, paling-paling surat lamaran kita terbengkalai di kantor pos satpam"

"Jadi, masalahnya, kamu mau cari kerja?"

"Salah satunya, Dok! Kenapa sulit aku dapat kerja? Karena banyak yang menyusun strategi menanggulangi pengangguran tapi hasilnya nihil. Kami kecewa! Hanya negara yang sudah punya gelar merdeka, tapi rakyatnya sendiri masih begini, Dok! Lihat!"

   Pria plontos itu menangis. Dr. Thomas termenung sejenak. Kemudian ia memilih untuk membiarkan pria itu menangis, menunggunya berhenti. Pria itu diberinya sapu tangan untuk menyeka air matanya. 

"Sudah. Dari masa ke masa, permasalahan yang dihadapi oleh pemuda bangsa ini memang berbeda-beda. Mau kamu hidup di zaman mana pun, yang namanya masalah pasti tetap ada. Memilih mati bukan berarti tujuan yang paling bagus. Memilih mati pun, memangnya kamu bisa menjamin bahwa nanti di alam kubur kamu akan enak? Pikirkanlah!"

"Hihi! Kalau aku mati, apakah aku akan selalu kenyang?"

   Lagi-lagi Dr. Thomas dibuat mumet oleh pertanyaan pria plontos itu. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan semakin aneh. Lagi-lagi, ini tentu sebenarnya bukan ranahnya untuk memberikan tanggapan. Dr. Thomas hanya memberikan jawaban sebisanya. Pemerintah yang sebetulnya pantas untuk  menjawab pertanyaan tersebut. Tetapi, Dr. Thomas mencoba untuk menanggapi karena tahu sangat sulit jika berbicara langsung dengan pimpinan. Kita hanya rakyat, bukan teman dekat.

"Kenapa kau bertanya seperti itu? Jelas aku bukan Tuhan. Aku tidak bisa menghitung kebaikan dan keburukanmu. Itu tergantung amal dan perbuatanmu di dunia"

"Sepertinya, tidak! Sedih sekali!"

"Kenapa begitu?"

"Karena, sebagian dari hakku dikorupsi oleh cacing tanah kuburan"

"Sadis sekali, bahkan, di liang lahat pun tetap saja ada koruptor"

   Pria itu tertawa terbahak-bahak. Dr. Thomas senang bisa membuatnya tertawa kembali. Tugasnya menjaga pasien agar tetap tersenyum sudah terlaksana dengan baik. Akan tetapi, setelah beberapa saat kemudian ia berpikir, ia jadi ingat kejadian sebelumnya. Saat Dr. Thomas baru saja bangun tidur.

"Tunggu! Kamu belum menjawab bagaimana caramu masuk ke ruanganku. Bagaimana kamu bisa masuk?"

"Sebenarnya aku ini sudah mati, Dok! Hahahaa."

Dr. Thomas terbelalak. Tubuhnya jatuh ke lantai. Kedua satpam yang diperintahkannya untuk menangkap pria berkepala plontos baru datang setelah ia bangun kembali.

"Aku di mana?" ujarnya.

"Bapak sudah tertidur di ruangan selama 3 hari" jawab kedua satpam.

"Ke mana perginya pria botak itu?" 

"Botak siapa, Pak? Tidak ada orang di sini"

"Berarti tadi hanya mimpi? Sial!" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun