Mohon tunggu...
Roeslan Hasyim
Roeslan Hasyim Mohon Tunggu... Puisi, Cerpen

Slow aja menjalani takdirNya, Toh dunia gitu gitu saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pindah

21 Februari 2021   15:05 Diperbarui: 21 Februari 2021   15:27 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Abah, kenapa kita harus pindah? Ini kan tanah kelahiranku. Aku tak mau pergi dari sini! Seruku pada Abah.

"Sudah, bereskan saja semua barang-barangmu. Barang-barang sepeninggalan ibumu juga jangan lupa." balas Abah

Selesai berkemas, aku duduk di sebelah Abah. Dia kemudian menghidupkan mobil offroad yang biasa kami gunakan ketika ingin menjelajah hutan. Sedangkan sebagian barang lainnya, sudah siap diangkut menggunakan truk ukuran sedang.

"Abah kita mau pergi ke mana?"

"Kita ke tanah kelahiran ibumu. Di sana kita akan tinggal."

"Kenapa kita harus pindah ke sana Abah? Aku lebih nyaman di rumah di mana aku dilahirkan. Abah kan tahu sendiri, kalau aku itu orangnya tidak betahan."

"Abah yakin. Kamu di sana nanti akan lebih betah."

"Eeem Abah. Aku kan tanya kenapa kita harus pindah. Abah malah jawab yang lainnya!"

60 menit perjalanan udara sejuk mulai semakin terasa di kabin mobil bagian depan, tempat Ayah sedang asyik memainkan kemudi dan kaki yang bergantian menginjak pedal gas, rem dan pedal kopling. Kanan kiri jalan yang kami lewati semakin menghijau dengan tanaman jagung, tembakau dan beberapa pepohanan yang berdiri seakan melambaikan tangan mengucapkan selamat jalan.

"Tanaman tembakau itu, jadi salah satu penyumbang terbesar pendapatan negara. Tapi sayang, hanya pemilik perusahaan rokoknya yang kaya, petaninya hidup pas-pasan saja." gerutu Ayah sambil mengemudi.

Beberapa hewan seperti sapi dan kambing terlihat bebas berjalan kaki tanpa tali yang melubangi hidung mereka. Mereka seakan senang tumbuh besar tanpa harus dikandangkan.

Semakin lama perjalanan, semakin ke dalam, udara di dalam mobil terasa semakin dingin, tapi tetap menyegarkan. Sinar matahari yang semula terang benderang, kali ini hanya menyapaku lewat celah-celah rimbunnya dedaunan pohon tua, seakan menyapaku, mengucapkan selamat datang. Begitu juga monyet-monyet yang bermain riang, bersuara, seakan memanggil-manggilku ingin berkenalan.

Perasaan bahagia perlahan mulai muncul ditengah-tengah kecewa karena meninggalkan tempat kelahiran yang terjamah oleh pembangunan.

"Sudah, sana kamu masuk. Carilah ruangan yang ingin kamu buat kamar, sisanya biar Abah yang bereskan." Ayah menyuruhku masuk setelah  tiba di rumah almarhum Ibu.

"Iya bah!" sahutku.

Aku kemudian memasuki sebuah ruang yang memiliki jendela besar menghadap hamparan lahan pertanian yang menghijau di bawahnya.

"Wooow, luar biasa indah pemandangannya." seruku pada diri sendiri.

"Abah, Abah, ini aku pake untuk kamarku. Boleh kan?" Rasa kecewaku pun semakin memudar, terpesona oleh keindahan alam, apalagi senja mulai menjelang dan matahari segera terbenam. Keindahan alam yang diciptakan Tuhan tak pernah aku rasakan senikmat ini, kala aku tinggal di tanah kelahiranku.

"Boleh. Lagian, itu kamar ibumu kok."

Mendengar kata-kata Abah, membuat perasaanku kembali bercampur aduk. Antara rasa bahagia dan sedih seakan saling berebut ruang di hati untuk menjadi penguasa diri.

Aku hanya bisa diam memaku di sebuah kursi teras, tepat di depan kamarku dan juga bekas kamar ibu dari sore hingga malam menjelang.

*

Suara kokok ayam, burung-burung yang bernyanyi riang, dan sinar mentari yang memasuki kamarku tanpa permisi melalui jendela lebar tak bertirai, membangunkanku keesokan harinya.

"'Waaah, cantik sudah bangun?" sapa Abah.

"Iya Bah. Maaf, semalam aku ketiduran. Jadi nggak sempat bantu-bantu Abah."

"Iya, nggak apa-apa. Sana, cuci muka dulu. Terus buatin Abah kopi ya." pinta Abah.

Secangkir kopi pahit yang memang biasa aku buat untuk Abah di pagi hari sudah siap. Tapi, aku tak menemukan Abah di ruang tamu.

"Abah, Abah dimana. Kopinya sudah siap?" Teriakku.

Tak begitu lama, suara Abah terdengar dari balik sebuah pintu di belakang rumah. Lalu, Abah memintaku untuk mengantar kopinya kesana.

"Wooooooow, ini luar biasa sekali. Pemandangannya benar-benar indah di pagi hari." kataku pada Abah.

"Gimana, kamu senang kan tinggal di rumah ini?"

"Senenglah Abah. Seneng banget." sambil mencium kening Abah.

"Makasih ya Abah. Sudah mengajakku ke tempat ini."

"Iya. Kita akan tinggal di sini."

"Seterusnya Abah?" tanyaku penasaran.

"Iya. Jadi kamu harus betah ya. Karena hanya rumah ini yang kita punya sekarang. Rumah yang di kota sudah ayah berikan untuk negara."

Aku sedikit tercengang dengan apa yang dikatakan Abah. Karena rasa penasaran, aku mengambil kursi dan duduk di sebelah Abah.

"Maksud Abah apa tadi. Rumah kita diberikan pada negara, bukannya dijual?"

"Begini cantik. Kamu inget kan pesan ibu?"

"Inget Abah."

"Apa coba?"

"Untuk jagain Abah." Aku tersenyum manis pada Abah, Abah pun membalas senyumku dengan senyuman yang sedikit dipaksakan. Mungkin Abah sadar, bahwa aku tak pernah mengerti dan tak tahu apa pesan ibu. Terdiam sejenak, lalu Abah mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

**

Pemilihan telah usai, sebagian besar orang berteriak-teriak senang, dan yang lainnya merasa kecewa karena presiden yang mereka dukung kalah dalam pemilihan presiden untuk ketiga kalinya. Sejak saat itu, pembangunan besar-besaran terus dilakukan dengan alasan mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.

Pembangunan infrastruktur terjadi dimana-mana tanpa ada kompromi di dalamnya. Semuanya dikebut seakan bangsa ini berada dalam kondisi darurat pembangunan, meskipun sebagian infrastruktur yang dibangun terabaikan, tak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.

Hutan lindung yang seharusnya dijaga kelestariannya, dibuka begitu saja. Pohon-pohon tua ditebang tanpa memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan.

Teriakan-teriakan sekumpulan orang yang merasa mendapatkan perlakuan tidak adil oleh negara karena tanah adatnya dirampas investor, rumah-rumah yang digusur demi pelebaran jalan, tak pernah didengar oleh orang-orang yang diamanahi menjalankan negeri ini seadil-adilnya.

Begitu juga dengan rumah yang aku tempati, menjadi bagian dari yang akan digusur tanpa penggantian uang yang jelas oleh pihak pengembang jalan. Bahkan semua itu memunculkan banyak pemikiran bahwa pembangunan dikerjakan dengan cepat dengan menggadaikan keadilan, memutus aturan dan dilakukan sewenang-wenang, bertujuan untuk mengembalikan modal, ongkos besar perjalanan politik selama dua periode sebelumnya.

Suatu ketika, setelah puluhan kali bernegosiasi untuk bisa mendapatkan uang ganti rugi rumah kami yang akan digusur, tetap saja tak pernah menemui titik temu. Hingga pada suatu hari, datanglah para polisi, tentara dan mesin besar penggaruk tanah. Mereka berusaha meratakan rumah-rumah yang dianggap mengganggu laju pembangunan.

Namun, ibu, Abah dan para tetangga berusaha mati-matian untuk melindungi tempat tinggal mereka dengan membentuk barikade, semacam pagar manusia, agar polisi, tentara dan bahkan mesin besar penggaruk tanah membatalkan apa yang akan mereka kerjakan.

Perjuangan mereka, tidak sia-sia. Polisi, tentara dan mesin besar penggaruk tanah akhirnya membatalkan niat meratakan rumah-rumah milik rakyat yang berpajak. Namun semua itu bukan karena hati nurani mereka. Tapi karena ibuku mengorbankan dirinya terlindas mesin besar penggaruk tanah, ditengah-tengah banyaknya media yang sedang meliput kejadian.

***

"Kenapa Abah memberikannya begitu saja pada negara?" Ayah menyeruput kopi yang ada di sampingnya.

"Begini cantik. Abah memberikan rumah itu pada negara sebagai bentuk cinta Abah pada negara ini."

"Tapi kenapa dulu, Abah, ibu dan tetangga lainnya mati-matian agar rumahnya tidak digusur?"

"Pada waktu itu, kamu masih kecil sekali. Abah dan ibumu bukan tidak mau memberikan tanah rumah itu untuk negara. Tapi Abah dan ibu berniat untuk membantu sesama. Bayangkan saja, rumah-rumah tetangga kita akan di gusur, tapi dengan uang ganti rugi yang tak sepadan. Kemana mereka akan pergi dan tinggal? Sedangkan harga tanah dan rumah memiliki harga 5 kali lipat dari uang ganti rugi yang akan diberikan oleh negara"

"Terus?"

"Jadi, Abah dan ibu itu berniat membantu mereka semua. Seandainya ayah dan ibu memberikan tanah itu dengan cuma-cuma, sudah pasti rumah-rumah di sebelah rumah kita, rumah tetangga-tetangga kita bakal digusur tanpa adanya ganti rugi. Kasian mereka kan! Seru Abah.

"Tapi kan, ibu yang jadi korban."

"Ibumu itu pejuang loh cantik. Pengorbanan ibumu itu, bukan semata-mata untuk rumah kita dulu. Bukan karena hanya memperjuangkan apa yang menjadi hak milik. Tapi ibumu juga memikirkan orang-orang di sekitarnya."

"Ibumu meninggal, dengan penuh kebanggaan. Karena sejak saat itu, proyek pelebaran jalan dihentikan, ya meskipun sementara."

"Tapi kenapa sekarang malah diberikan secara cuma-cuma?"

"Abah menyerah untuk meminta keadilan pada negeri ini. Karena negeri ini hanya adil bagi mereka yang berdasi, memiliki kolega dengan jabatan tinggi dan para petinggi negeri."

"Iya. Tapi harusnya Abah meminta ganti rugi?"

"Ibumu pernah berpesan. Kalau Abah ingin menyerah, serahkan saja tanah ini pada negara. Dengan diniati sedekah, insyaallah tanah yang diberikan pada negara akan dibalas pahala oleh Tuhan yang maha kuasa."

"Bagaimana dengan tetangga-tetangga kita Abah. Rumah mereka akhirnya juga di gusur. Apa Abah tidak mau berjuang untuk mereka?"

"Tetangga yang kamu kenal saat ini, bukan lagi tetangga yang dulu. Tetangga yang berjuang sama Abah dan ibumu. Kan sudah Abah bilang. Kalau waktu kejadian itu, kamu masih kecil sekali, belum mengerti apa-apa. Hanya bisa memanggil Abah saja."

"Lalu ke mana mereka?"

"Mereka sekarang jadi pejabat negara yang akan menggusur tanah di sana."

Aku tercengang mendengar kalimat terakhir yang Abah lontarkan. Aku tak mengira, bahwa tetangga seperjuangan yang bersama-sama menuntut keadilan atas harga tanah dan rumah yang akan dijadikan jalan, menjadi orang yang sama saja dengan mereka, pendahulunya, yang diamanahi menjalankan negara seadil-adilnya.

Harta dan kuasa membuat mereka lupa siapa mereka sebenarnya. Mereka hanya tahu, demi Negara dan Bangsa, demi mengejar ketertinggalan, mereka melakukan tindakan yang sama, seperti penguasa sebelumnya. Atau mungkin mereka melakukannya hanya karena mereka mengejar ongkos politik saat sedang mencalonkan.

"Tuhan, tolong kirim pemimpin pada bangsa ini, bukan penguasa yang tak tahu  untuk bertindak bijaksana." doaku di sepertiga malam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun