"Jejak di Jalan Sunyi."
       Radit baru saja lulus dari perguruan tinggi, namun ia belum menemukan pekerjaan yang sesuai dengan minatnya. Usianya baru dua puluh satu tahun, namun hatinya terasa penuh pertanyaan. Meskipun ia memiliki banyak teman dan keluarga yang mendukung, hatinya tetap terasa kosong. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya, namun ia belum bisa mengidentifikasi apa itu.
       Waktu tak terasa terus berjalan, sore ini Radit duduk di tepi jendela kamarnya, menatap jauh ke langit senja yang berwarna jingga. Ia sering merasa asing dengan dirinya sendiri, seolah hidupnya hanya mengikuti arus tanpa tahu ke mana tujuan sebenarnya. Proses mencari jati diri menginjak usia dewasa, mulai mempengaruhi jalan pikiran Radit dan akhir-akhir ini membuat hatinya gelisah.
       Suatu pagi, ia memutuskan untuk berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju bukit kecil di pinggir kota. Jalan itu sepi, hanya ditemani suara kicau burung dan desir angin yang berhembus lembut. Sejenak Radit termenung menatap kejauhan, menerawang tentang masa depannya yang tak tentu arah. Di sanalah ia mulai berbicara dengan dirinya sendiri.
"Siapa aku sebenarnya? Apa yang aku cari dalam hidup ini?" gumamnya dalam hati.
       Namun hatinya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan tentang makna hidup dan jati diri. Setiap hari, Radit merasa seperti terjebak dalam rutinitas yang membosankan, tanpa arah yang jelas. Menjelang waktu Magrib terasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya. Radit merasakan terseret ke dalam putaran waktu yang teramat panjang. Kehampaan menyelimuti hatinya, disaat kegelapan malam perlahan merayap di luar sana.
       Hari-hari berikutnya, Radit menjadikan perjalanan ke bukit itu sebagai rutinitas. Hatinya terpaut pada setiap langkah di jalan sunyi, menjadi ruang untuk mendengar, membaca dan merenung. Ia mengingat masa kecilnya, saat ia suka menggambar dan menulis cerita, namun perlahan meninggalkan hobinya karena dianggap tidak berguna. Ia juga mengingat bagaimana ia sering menuruti keinginan orang lain, sungkan dan takut mengecewakan, hingga lupa mendengar suara hatinya sendiri.
       Suatu sore, ketika matahari hampir tenggelam, Radit duduk di atas batu besar di puncak bukit. Ia menutup mata, membiarkan angin menyapu wajahnya. Dalam keheningan itu, ia menyadari sesuatu: dirinya bukanlah sekadar bayangan dari harapan orang lain. Ia adalah pribadi yang berhak memilih, berhak salah, dan berhak tumbuh. Radit mulai menyadari bahwa kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang harus dicari di luar diri, tetapi sesuatu yang harus ditemukan dalam diri sendiri.
      Air matanya menetes mengalir di sudut mata, bukan karena sedih, melainkan ada rasa haru biru yang membuat hatinya lega. Untuk pertama kalinya, ia merasa dekat dengan dirinya sendiri. Ia berjanji akan kembali menggambar, menulis, dan menjalani hidup sesuai langkahnya, bukan sekadar mengikuti jejak orang lain. Ia belajar untuk menerima dirinya apa adanya dan menemukan kebahagiaan dalam setiap momen. Radit menyadari bahwa ia memiliki kebebasan untuk melangkah dan menentukan jalannya sendiri.
      Ketika menjelang malam, Radit berjalan pulang dengan hati yang lebih ringan. Jalan sunyi itu kini bukan sekadar jalur menuju bukit, melainkan simbol perjalanan batin yang membawanya mengenal siapa dirinya. Menelusuri jejak jalan sunyi, membuka kesadaran dirinya untuk selalu membaca, mendengar dan merenung. Sebelum mengambil langkah untuk menentukan apa yang harus ia tempuh. Titik balik kehidupan Radit, memberikannya terapi jauh ke di dasar hatinya, merangsang kesadaran diri untuk berubah.
     Sejak hari itu, Radit tidak lagi takut pada pertanyaan "siapa aku?" karena ia tahu jawabannya akan terus tumbuh seiring langkahnya. Yang terpenting, ia sudah berani memulai perjalanan mengenal diri sendiri. Tujuan hidupnya tidak selalu tentang mencapai sesuatu yang besar, tetapi lebih kepada menemukan makna dalam setiap langkah yang kita ambil. Dengan hati yang lebih tenang dan pikiran yang lebih jernih, Radit melangkah menuju masa depan dengan keyakinan dan semangat baru.