Mohon tunggu...
Akmal Tastary
Akmal Tastary Mohon Tunggu... Saya seorang Mahasiswa Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah prodi Bahasa dan Sastra Arab

Saya adalah seorang yang masih pemula dalam menulis artikel disini. Mohon saran dan kritikannya jika dalam penulisan saya terkesan kurang pas untuk di baca.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Boleh Rapuh, Asal Jangan Runtuh

26 Juni 2025   09:15 Diperbarui: 27 Juni 2025   19:02 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
orang yang sedang merasakan rapuh dan hampir runtuh. (dok Freepik) 

Kadang, dari runtuhnya yang kita hindari, justru kita mendapatkan cahaya dengan cara-caranya tersendiri.

  • Menjadi kuat adalah tuntutan, bukan pilihan

Di era modern ini kita dipaksa untuk kuat dimana kekuatan itu adalah sumber utama kita untuk hidup. Tidak ada hidup yang benar-benar terlepas dari kesulitan. Tak semua luka itu terlihat—sebenarnya ada perang di dalam diri yang tak kasat. Kita semua pernah merasa lelah bahkan ingin menyerah— saat segala terasa berat dan tak ada tempat untuk menenangkan diri dengan waktu yang singkat. Dalam kondisi seperti itu, rapuh adalah sesuatu hal yang wajar, karena termasuk bagian dari manusia. Namun ada hal yang harus diingat: "gak papa kok kamu rapuh, asalkan kamu jangan sampai runtuh."

  • Antara Tenaga yang Terkuras dan Beban yang Terus Menebas

Di tengah derasnya arus kehidupan, tidak semua orang diberikan ruang untuk jatuh terlalu lama. Dunia modern bergerak cepat, hampir tanpa jeda. Ketika seseorang mengalami kelelahan—baik fisik, emosional, maupun mental—seringkali mereka tidak memiliki pilihan untuk berhenti sejenak, apalagi mundur. Sebab kenyataannya, hidup tetap berjalan. Tagihan tetap jatuh tempo. Tugas pekerjaan atau akademik tetap menanti diselesaikan. Anak-anak tetap perlu diberi makan. Orang tua tetap menaruh harapan.

Di sinilah titik ironi kehidupan modern: kelelahan sering kali tidak mendapat tempat. Bagi sebagian besar orang, menjadi kuat bukanlah pilihan yang dapat dinegosiasikan, melainkan tuntutan yang harus dipenuhi serta dilakukan. Bahkan ketika tubuh sedang lelah dan hati nyaris hancur, kita dipaksa untuk tetap berdiri tegak.

Tuntutan itu datang dari berbagai arah:

  • Dari tanggung jawab yang tak bisa ditinggalkan begitu saja. Seorang anak sulung yang harus menopang keluarganya. Seorang ibu tunggal yang harus membesarkan anak-anaknya. Seorang pekerja keras yang menanggung biaya hidup orang tua dan adik-adiknya.
  • Dari harapan orang-orang tercinta. Harapan yang pada satu sisi menjadi penyemangat, tetapi pada sisi lain bisa menjadi beban yang tak kasat mata. Kita ingin membahagiakan mereka, bahkan saat diri sendiri nyaris tak punya tenaga.
  • Dari ekspektasi sosial---lingkungan yang menuntut kita untuk terus tampil baik, produktif, dan 'normal'. Tak ada ruang untuk mengeluh. Air mata disimpan di balik senyum, dan luka disembunyikan di balik prestasi.
  • Dari impian kita sendiri. Kita pernah punya cita-cita besar, dan merasa bertanggung jawab untuk mewujudkannya, apapun biayanya. Meninggalkannya terasa seperti mengkhianati diri sendiri.

Ketika kita berada di titik terendah---tak ada semangat, tak ada motivasi, dan hari-hari terasa berat seperti membawa batu besar di punggung---yang tersisa hanyalah bertahan. Bukan karena kita ingin terlihat tangguh. Bukan karena kita merasa kuat. Tetapi karena kita tahu, berhenti bukanlah pilihan yang tersedia. Hidup terus menuntut kita untuk berjalan, bahkan ketika kita hanya bisa melangkah setengah terseret.

Inilah realitas banyak orang: kekuatan yang mereka tampilkan bukanlah kekuatan sejati, tapi kekuatan yang dipaksakan oleh keadaan. Ada rasa sakit yang ditelan diam-diam. Ada air mata yang ditahan agar tidak pecah di ruang publik. Ada beban mental yang tidak terlihat di balik pencapaian yang dipuji orang.

Namun, di tengah semua itu, ada kekuatan yang tulus---bukan dari kehebatan, tapi dari kemauan untuk terus hidup, walau tak selalu semangat. Dari keberanian untuk bangkit esok hari, meskipun hari ini terasa berat. Dari kesetiaan pada tanggung jawab, walaupun diri sendiri lelah.

Dan mungkin, dalam segala keheningan dan kegetiran itu, kita akan sadar bahwa bertahan adalah bentuk keberanian paling sunyi, namun paling mulia.

Referensi: https://time.com/7297268/feeling-tired-fatigue-vs-burnout/?utm_source=

  • Rapuh bukan tanda kelemahan, melainkan bagian dari kekuatan

Dalam dunia yang menjujung tinggi nilai kekuatan dan kemenangan, rapuh tak diberi tempat untuk mengungkapkan. Di dunia yang mengagung-agungkan senyuman, air mata bathin dianggap suatu hal yang sangat memalukan. Dalam senyap, pemahaman tentang pentingnya merawat jiwa mulai menyelinap ke ruang-ruang yang dulu menolaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun