Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengantisipasi Gelombang Kelelahan Sekolah Online

10 Agustus 2021   10:13 Diperbarui: 10 Agustus 2021   18:30 1203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lelah belajar daring | Sumber: shutterstock via kompas.com

Adaptasi yang belum berjalan mulus menciptakan rantai stres yang mengerikan antara murid-sekolah-orangtua.

Saat pertama ditetapkan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Tanggal 30 Maret Tahun 2020, pandangan optimis bahwa pembelajaran online akan segera berakhir saat semuanya kembali normal. 

Faktanya, saat ini pembelajaran online telah memasuki semester keempat, tahun ketiga akademik. 

Entah sampai kapan sekolah harus menggantungkan sebagian besar keberlangsungannya pada teknologi konferensi video, mulai dari Google Meet, Skype, Zoom, Lifesize, Microsoft Teams dan masih banyak lagi. Sudah saatnya kita berdamai dengan kondisi dan menyiapkan segalanya lebih baik dari sebelumnya.

Kita harus bangun dari kondisi frustrasi. Tidak usah berkilah, bahwa kita mulai frustrasi dengan saling tuduh. 

Wali siswa merasa tertekan dengan beban baru yang sebelumnya tidak pernah mereka rasakan, mendampingi secara intensif anak bersekolah --mendadak menjadi guru. Lihat saja aneka bentuk ungkapan perasaan mereka di media sosial. 

Di pihak lain, tekanan pada lembaga pendidikan dan guru juga tidak kalah besar. Selain merasa tertuduh terus-menerus karena dianggap 'tidak bekerja' dan hanya memberikan tugas, energi mereka terkuras habis untuk bermigrasi ke pendidikan online. 

Mulai dari kesulitan menyiapkan materi, berhubungan dengan fasilitas minim seperti jaringan internet dan perangkat komputer minim saat pembelajaran, kesulitan evaluasi, dan masih banyak lagi. 

Guru yang awalnya cukup sekali menjelaskan, sekarang bisa berkali-kali bahkan seperti menjadi tutor privat. 

Bayangkan saja, gawai mereka selalu sibuk dengan komplain wali siswa.

Apa kata penelitian?

Sayangnya penelitian menunjukkan adaptasi pada budaya baru ini melahirkan permasalahan baru, yaitu meningkatnya kelelahan zoom (zoom fatique). 

Kelelahan zoom atau jenis layanan video konferensi lainnya telah menjadi istilah umum untuk menyebut kondisi capek fisik dan lelah mental dikarenakan kelebihan beban komunikasi nonverbal yang harus ditanggung seseorang. 

Diadaptasi dari www.chronicle.com
Diadaptasi dari www.chronicle.com

Adalah Jeremy Bailenson, seorang profesor sekaligus pendiri laboratorium interaksi virtual manusia Universitas Stanford yang pertama melakukan penelitian tentang jenis kelelahan baru ini. 

Dalam artikel yang diterbitkan jurnal Technology, Mind, and Behavior  bulan Februari 2021, Bailenson menyebut pandangan mata dari jarak dekat yang berlebihan, terbatasnya gerak fisik, evaluasi diri berlebih karena menampilkan video mandiri, dan peningkatan beban kognitif dalam mengirim dan menerima pesan adalah empat faktor utama yang menjadi sumber kelelahan zoom.

Jena Lee dalam sebuah tulisan di Psychatric Times menjabarkan bagaimana pertemuan online bisa sangat melelahkan. 

Bayangkan betapa lelahnya jika anda berbicara dengan seseorang dari jarak yang sangat dekat secara intens dalam waktu yang lama. 

Belum lagi, semua orang bisa melihat wajah anda terus menerus karena kamera hidup --biasanya guru mewajibkan. 

Jika sebelumnya untuk maju ke depan kelas saja siswa mengerahkan begitu banyak energi, video konferensi membuat mereka seolah berada di depan siapapun setiap saat.

Sudah begitu, kita tidak bisa bergerak bebas, karena harus duduk di depan perangkat dalam waktu yang lama. 

Sekarang bayangkan betapa bosannya anak-anak yang biasanya bergerak bebas, kali ini mereka harus duduk di depan perangkat dalam waktu yang cukup lama. 

Dalam tekanan seperti itu, siswa masih juga menerima beban lainnya, yaitu harus memahami materi dengan komunikasi nonverbal yang tidak alamiah. 

Sinyal nonverbal, seperti isyarat atau ekspresi wajah, sulit dipahami dalam video konferensi. Sebagai contoh, untuk menunjukkan persetujuan, siswa atau guru harus mengangguk secara berlebihan dan berulang-ulang atau mengacungkan jempol. Hal tersebut membuat komunikasi virtual menjadi rumit.

Akibat kelelahan video konferensi

Jadi jangan heran, jika anak-anak kita di rumah mengalami perubahan perilaku atau sikap selama sekolah online. 

Studi ilmiah telah menunjukkan bahwa video konferensi online meningkatkan (1) tekanan pada fisik, yaitu iritasi mata, capek leher dan pundak; (2) tekanan emosional, yaitu perasaan kewalahan dan terkuras karena berhubungan dengan orang lain; (3) tekanan motivasional, sehingga merasa enggan untuk memulai kembali aktivitas lain setelah menjalani video konferensi; dan juga (4) tekanan sosial yang berimbas pada perasaan bosan untuk kembali berinteraksi dengan orang lain.

Penulis meyakini, keempat beban tersebut akan semakin runyam jika dipadukan dengan ketidaksiapan orangtua dan pihak sekolah. 

Anak-anak membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Jika orangtua gagap menangkap hal ini, beban anak akan semakin bertambah. Begitu juga pihak sekolah yang banyak diwakili guru. 

Orientasi pendidikan kita yang mengarah pada pencapaian target kurikulum adalah permasalahan besar. 

Kurikulum kita yang ada sekarang adalah kurikulum dalam keadaan normal, jika terus dipaksa dengan kondisi pembelajaran online, dampaknya akan mengerikan. 

Ketercapaian pemahaman siswa pada materi jelas sangat meragukan. Banyak sekali orangtua yang ketakutan anaknya akan tertinggal dan tidak naik kelas, akibatnya mereka terpaksa mendikte anak-anak mereka untuk menyelesaikan tugas. Buktinya? Lihat saja hasil evaluasi pada nilai rapor pada masa pandemi, nilai siswa meningkat tajam. 

Belum lagi komunikasi pihak sekolah dengan orangtua yang tidak bisa dikatakan berjalan dengan baik. Akibatnya, komplain bertubi-tubi dilakukan orangtua. 

Guru yang selama ini tidak dibekali kompetensi konseling yang cukup dan hanya mengandalkan pengalaman, hampir tidak bisa melakukan apapun. 

Ingat, sekolah swasta malah lebih pelik lagi. Mereka harus menjawab dan mempertanggung jawabkan keuangan dihadapan orangtua.

Apa yang bisa kita lakukan?

Kunci sekolah ada pada kurikulum, jadi tidak ada tawaran lain kecuali melakukan adaptasi kurikulum sedemikian rupa untuk digunakan pada masa seperti sekarang. 

Selanjutnya mari kita bongkar satu persatu pemicu stres saat pembelajaran online. Untuk anak-anak (sampai 12 tahun) pemicu kelelahan utama adalah minimnya kesempatan untuk bergerak saat mengikuti sesi pembelajaran online. 

Waktu istirahat harus dibicarakan secara intens antara pihak sekolah dengan orangtua. Selain itu, jadwal pembelajaran harus melalui diskusi mufakat antara pihak sekolah dengan orangtua. Karena kita tidak pernah tahu problem masing-masing keluarga.

Sementara itu untuk pelajar sekolah menengah pertama dan atas dianggap lebih siap untuk mengidentifikasi dan mengelola kelelahan belajar jarak jauh, guru harus memperhatikan faktor-faktor yang dapat memicunya dan bersiap dengan strategi untuk menguranginya. 

Untuk tujuan ini, umpan balik sangat penting. Penting untuk memiliki saluran komunikasi terbuka dengan siswa untuk mengetahui bagaimana emosi mereka dan membuat keputusan berdasarkan kesehatan mental dan kapasitas mereka selama pandemi. 

Saat mengembangkan jadwal dan menetapkan pengumpulan tugas kelas, guru harus meluangkan waktu untuk memeriksa status siswa mereka dan memotivasi mereka untuk berbagi keprihatinan mereka.

Waktu dan tingkat konsentrasi siswa, guru, dan orangtua sangat terbatas. Dalam konteks isolasi yang berkepanjangan, kita harus berhati-hati dengan sumber daya (waktu) ini. 

Rekaman pelajaran akan menawarkan keuntungan dilihat secara fleksibilitasnya. Siswa dapat secara mandiri mengulang pelajaran yang mungkin belum mereka kuasai.

***

Jika kita sebagai orang dewasa merasa kesulitan beradaptasi dengan kondisi pandemi, bagaimana dengan anak-anak? 

Itulah mengapa komunikasi orangtua dengan anak-anak sangat penting untuk membantu mereka keluar dari stres saat pandemi. 

Sering-seringlah bertanya tentang kendala mereka dalam pelajaran, berikan apresiasi pada setiap usaha mereka. Karena mereka membutuhkan dukungan untuk tetap berkembang dalam kondisi pandemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun