Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nostalgia, Sebuah Seni dan Terapi Memori

12 Oktober 2017   14:56 Diperbarui: 13 Oktober 2017   13:22 3786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar dari http://iwallpapers.free.fr

Berbicara tentang nostalgia, kita otomatis juga berbicara tentang jenis ingatan jangka panjang dalam bentuk ingatan episodik. Ingatan episodik bersifat semantik, atau biasa kita sebut sebagai ingatan bermakna. Ingatan kita tentang masa lalu bukanlah ingatan pasti yang kita reproduksi saat kita mengingatnya, namun penelitian menyatakan bahwa alih-alih kita pasif hanya mengambil dan melihat ingatan kita, ternyata kita terlibat aktif untuk membangun ulang ingatan setiap kali kita mengingatnya, atau bersifat konstruktif.

Saat mengingat betapa senangnya hati kita mendapatkan hadiah mainan saat bangun tidur, kita bukan hanya memutar episode tersebut, namun ternyata kita aktif menamba(l)hi ingatan tersebut menjadi bangunan baru untuk mengingat betapa pentingnya peran ayah kita terhadap kehidupan kita. Lain waktu kita menggunakan ingatan serupa untuk meresapi betapa pentingnya momen bangun tidur menyenangkan untuk anak-anak kita.

Manusia memiliki kontrol atas memorinya 

Manusia memiliki kontrol penuh untuk membangun kembali setiap ingatannya yang diambil dan digunakan. Seperti pelukis yang bisa saja menambahkan dan memperbaiki objek lukisannya dalam kanvas, manusia juga dapat membangun kembali lebih baik setiap memori masa lalunya. Dengan kata lain, kita memiliki kontrol kreatif atas ingatan kita sendiri. Terus bagaimana kita membantuk ulang bahan mentah (ingatan) menjadi pengalaman nostalgia yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kita?

Hal pertama dan terpenting adalah sudut pandang kita untuk mendekati materi ingatan kita. Karena satu-satunya tujuan nostalgia adalah memberikan kebahagiaan, maka kita harus mendekati memori kita dengan menggunakan sudut pandang seniman. Sentuhan estetika mutlak dibutuhkan untuk mendekati materi memori yang akan kita gunakan. Ini memerlukan tingkat detasemen artistik yang memungkinkan seseorang untuk menghargai suatu episode (memori) demi kepentingan materi tersebut, tanpa mempertimbangkan kegunaan pribadi. Seperti hasil kedua penelitian yang telah saya sebutkan di atas, kita harus meyakini bahwa yang telah terjadi tetaplah terjadi, namun bukankah semuanya memiliki makna?

Sudut pandang pencarian makna tersebut memungkinkan setiap informasi episodik (ingatan) kita dapat kita manfaatkan sebagai unsur terapeutik bagi eksistensi kita kedepan. Saat mengingat tim kesayangan kita kalah menyakitkan, setidaknya kita bisa mengambil makna lain. Bisa jadi, kita ingat masa tersebut kita menonton bersama teman-teman yang sudah lama tidak pernah bertemu. Ingatan menyakitkan tersebut berubah menjadi aroma kerinduan akan kebersamaan bersama teman-teman nongkrong di malam hari melihat bola. Begitulah ingatan negatif dapat kita putar kembali untuk kita lihat sisi yang lainnya, jadilah nostalgia.

Nostalgia sebagai sebuah seni

Perspektif menarik disampaikan oleh Svetlana Boym dalam bukunya yang berjudul The Future of Nostalgia yang diterbitkan Basic tahun 2001. Sejarawan --yang mengartikan nostalgia sebagai kerinduan akan rumah yang sudah tidak ada atau bahkan belum pernah ada ini, mengategorikan nostalgia menjadi dua kelas, yaitu nostalgia restoratif (restorative nostalgia) dan juga nostalgia reflektif (reflective nostalgia).

Jenis restoratif merupakan nostalgia sebagai usaha manusia untuk menghidupkan masa lalu di masa sekarang. Pelajaran sejarah di sekolah kita sepertinya merupakan usaha nostalgia jenis ini, kita selalu dijejali informasi bahwa kita adalah bangsa yang "dahulu" pernah besar. Berbeda dengan jenis restoratif, nostalgia jenis reflektif merupakan sebuah usaha untuk mengingat masa lalu sebagai sebuah fakta untuk menciptakan unsur mediatif bahwa manusia memiliki keterbatasan.

Lebih lanjut Boym menyebut bahwa sikap restoratif terhadap masa lalu menyebabkan kerinduan yang menyakitkan dan tak terpenuhi (semacam kerinduan kronologis). Nostalgia restoritif secara tak terelakkan menghadapkan manusia pada kenyataan bahwa waktu berjalan hanya dalam satu arah dan sejatinya tidak akan pernah berputar. Berbeda dengan sikap yang muncul dari nostalgia reflektif, yaitu dengan menerima kenyataan masa lalu untuk memungkinkan manusia menghargai kenangan. 

Nostalgia reflektif adalah semacam rekreasi mental dari pengalaman masa lalu. Namanya rekreasi --kurang lengkap jika tanpa oleh-oleh, seorang yang bernostalgia refletif akan membawa buah tangan berupa kesenangan estetis (aesthetic pleasure), sebuah kebahagiaan perjalanan melintasi alam ingatan tanpa perasaan cemas bahwa hal tersebut tidak akan pernah kembali lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun