Pernahkah Anda merasa keputusan organisasi tiba-tiba terasa janggal?
Tidak mengacu pada aturan yang telah disepakati. Tidak berlandaskan hasil rapat atau mekanisme formal. Tapi justru seolah ditentukan oleh " siluman dari gua hantu " ya terasa semacam ada invisible hand. Tak terlihat fisiknya, namun cengkramannya terasa menyesakkan dada.
Ketika struktur formal menjadi bayangan. Dan relasi personal justru mengambil alih arah.
Itulah pertanda hadirnya silent killer dalam organisasi kader — sebuah relasi patron-klien.
Pada organisasi kader seperti Partai Politik, Ormas, termasuk Gerakan Sosial, kekuatan utama terletak pada sistem kaderisasi yang sehat, meritokrasi yang dijaga, dan budaya organisasi yang inklusif serta berbasis nilai. Namun diam-diam, ada pola relasi yang bekerja di bawah permukaan. Ia bergerak senyap. Tidak terlihat, namun dampaknya merusak dari dalam. Hubungan patron-klien menjadi racun yang perlahan menggerogoti fondasi organisasi.
Hubungan patron-klien adalah pola interaksi tidak setara antara pihak yang memiliki kekuasaan atau sumber daya ( patron ) dan pihak yang bergantung (klien), di mana kesetiaan pribadi lebih diutamakan daripada kapasitas atau nilai objektif. Dalam konteks organisasi kader, patron kerap menjadi tokoh senior atau pemilik akses terhadap jabatan strategis. Sementara klien adalah kader muda yang berharap naik jenjang bukan melalui proses dan prestasi, tetapi karena loyalitasnya kepada sang patron
Awalnya, sistem ini terlihat seperti simbiosis yang saling menguntungkan. Patron merasa memiliki pasukan yang siap digerakkan kapan saja. Klien merasa punya pelindung yang bisa membukakan pintu karier. Tapi dibalik kedekatan itu, nilai-nilai organisasi mulai terkikis.
Pertama, meritokrasi digantikan oleh loyalitas sempit. Kader-kader cemerlang tersingkir hanya karena mereka tidak punya patron kuat. Mereka dianggap " tidak jelas orangnya siapa ". Maka potensi hebat itu hilang, tenggelam, atau bahkan pindah ke tempat lain.
Kedua, budaya organisasi bergeser ke arah feodal. Kritik dimaknai sebagai pengkhianatan. Diskusi sehat berubah jadi desas-desus di belakang layar. Intrik menjadi bahasa sehari-hari.
Ketiga, jenjang kaderisasi hanya menjadi formalitas. Pelatihan dilaksanakan hanya untuk memenuhi laporan. Sementara keputusan strategis tetap ditentukan oleh relasi informal: siapa dekat dengan siapa.
Dan yang paling mengkhawatirkan—seringkali luput dari perhatian— adalah pengabaian terhadap AD/ART dan platform kebijakan organisasi. Padahal, dua dokumen ini adalah warisan ideologis. Ia seharusnya menjadi kompas. Tapi dalam sistem patron-klien, kompas itu disisihkan. Patron menjadi poros. Organisasi kehilangan arah.
Kita tidak perlu jauh-jauh mencari contoh. Sejarah politik Indonesia sudah menunjukkan: partai-partai besar bisa retak karena perebutan kekuasaan antara patron dan klien-klien yang merasa "berhak". Begitu pula dalam organisasi mahasiswa, konflik horisontal seringkali bukan karena visi, tapi karena kekecewaan atas sistem kaderisasi yang manipulatif.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Organisasi kader harus berani mereformasi dirinya. Tapi perubahan tidak bisa hanya terjadi di permukaan—ia harus menyentuh akar.
Pertama, sistem kaderisasi harus dibangun di atas tiga pilar: kompetensi, integritas, dan etika kepemimpinan. Pelatihan bukan hanya soal teknis, tapi juga pembentukan karakter dan visi jangka panjang.
Kedua, penilaian terhadap kader harus bersifat terbuka dan terukur. Tidak boleh ada ruang bagi penilaian yang berdasarkan “kedekatan” . Skema penilaian harus jelas dan diketahui semua pihak. tidak boleh ada beda rasa soal Anak siapa, Binaan Siapa.
Dan terakhir —yang paling penting— AD/ART serta platform organisasi harus dipulihkan marwahnya . Ia harus kembali menjadi landasan utama dalam setiap keputusan strategis. Jika perlu, buat mekanisme pengawasan internal yang ketat untuk menjamin setiap keputusan sejalan dengan prinsip dasar organisasi.
Ketiga, organisasi harus mulai membudayakan ruang kritik yang aman. Kritik bukan tanda pengkhianatan, tapi cinta terhadap organisasi. Pemimpin yang baik adalah mereka yang membuka telinga, bukan hanya membuka jalan untuk loyalisnya.
Hubungan patron-klien memang tidak selalu terlihat. Tapi jejaknya ada. Dalam keputusan-keputusan yang aneh. Dalam kader-kader hebat yang tak pernah naik. Dalam ruang diskusi yang sunyi karena ketakutan.
Ia diam. Tapi mematikan.
Itulah sebabnya ia disebut “ silent killer ”.
Maka, jika sebuah organisasi ingin bertahan hidup, ingin tumbuh, dan ingin benar-benar memberi kontribusi bagi masyarakat, sudah saatnya ia membunuh si pembunuh senyap itu—dan menggantinya dengan budaya kaderisasi yang sehat, adil, dan setia pada ruh organisasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI