Indonesia saat ini masih menghadapi tantangan serius dalam meningkatkan kemampuan literasi generasi muda. Dari tanotofoundation.org, data UNESCO menyebutkan indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001% yang artinya dari 1.000 orang hanya ada satu orang yang benar-benar punya minat baca tinggi. Fakta ini tentu bikin kita tercengang sekaligus prihatin.
Literasi sejatinya bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis. Tetapi juga kemampuan memahami informasi, berpikir kritis, serta menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah. Di era digital abad ke-21, literasi (digital) adalah tiket untuk bisa bersaing di panggung global.
Di sekolah kami, berbagai upaya sudah dilakukan agar literasi tumbuh subur. Mulai dari mengadakan Hari Literasi setiap Selasa pagi, menghidupkan mading sekolah, sampai membuat pojok baca di setiap kelas. Semua itu adalah ikhtiar yang patut diapresiasi.
Namun, ada satu hal yang tak bisa dipisahkan dari dunia literasi yakni perpustakaan. Tanpa perpustakaan maka semua program literasi ibarat membangun rumah tapi cuma sampai fondasinya saja sedangkan bangunannya gak jadi-jadi.Â
Perpustakaan adalah jantung literasi sekolah. Di sanalah buku-buku disimpan, dirawat, dan diakses dengan baik oleh siswa. Perpustakaan bukan hanya tempat penyimpanan tapi juga ruang inspirasi.
Sayangnya, sekolah kami di Kecamatan Limapuluh, Kota Pekanbaru, hingga kini belum kembali memiliki ruang perpustakaan yang representatif. Sudah hampir tujuh tahun sejak saya mulai mengajar namun ruang perpustakaan yang baru itu belum juga hadir. Akibatnya, buku-buku yang sudah dibeli dari dana BOS hanya disusun seadanya di ruang Tata Usaha. Sebagian besar buku itu akhirnya kurang dimanfaatkan maksimal untuk pembelajaran siswa.
Padahal, buku yang dibeli dengan dana BOS adalah amanah negara. Jika sekolah memiliki perpustakaan tentu semua buku bisa tertata rapi, terjaga kualitasnya, dan menjadi sumber belajar yang kaya. Tidak hanya untuk siswa tetapi juga guru serta bahkan orangtua.
Mungkin ada yang berpikir, "ah, kan sekarang sudah era digital, bukannya perpustakaan bisa digantikan oleh e-book?". Jawabannya: tidak sesederhana itu.
Perpustakaan sekolah bukan hanya buku yang tertata rapi di rak tapi juga tentang atmosfernya. Anak-anak bisa duduk santai, membuka halaman demi halaman, sambil membangun imajinasi mereka. Coba bayangkan jika ada perpustakaan dengan sudut baca yang nyaman maka siswa pasti lebih betah membacaÂ