Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia. Buku: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri. BT 2022. KOTY 2024.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Hilangnya Fitur Ulasan Sekolah di Google Maps

3 Agustus 2025   06:50 Diperbarui: 3 Agustus 2025   10:59 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sekolah atau lembaga pendidikan. (Foto: AKBAR PITOPANG)

Sekolah adalah institusi pendidikan yang tak pernah sepi dari sorotan publik. Ia berada di garis depan pelayanan masyarakat. Karena hampir setiap keluarga pasti bersinggungan dengannya.

Seiring berjalannya waktu, sekolah bukan hanya menjadi tempat menimba ilmu. Tapi juga menjadi pusat interaksi sosial, pendidikan karakter, dan wadah tumbuh kembang generasi bangsa.

Wajar bila masyarakat memberikan perhatian lebih pada sekolah. Mulai dari pujian atas inovasi hingga kritik atas kekeliruan. Semua adalah bagian dari dinamika.

Kritik dan pujian sejatinya adalah dua sisi mata uang dalam dunia pelayanan publik. Keduanya dibutuhkan agar sekolah terus bertumbuh dan berbenah.

Namun, tidak semua orang punya keberanian menyampaikan kritik secara langsung. Ada rasa segan, takut dianggap mencampuri urusan internal, khawatir terhadap intimidasi, atau khawatir terjadi konflik.

Maka muncullah media sosial sebagai ruang menyuarakan isi hati. Melalui kolom komentar, cuitan, hingga konten video, masyarakat bisa memberi masukan tanpa harus tatap muka.

Meski begitu, tak jarang kritik di media sosial justru tak sampai pada sasaran. Komentar sengaja langsung dihapus, akun diblokir, atau kolom komentar dinonaktifkan.

Saat sekolah tak bisa dinilai oleh publik via review Google Maps. (sumber: store.mojarib.com)
Saat sekolah tak bisa dinilai oleh publik via review Google Maps. (sumber: store.mojarib.com)

Dalam kondisi seperti itu, mengirim ulasan via Google Maps sempat menjadi alternatif paling rasional dan netral. Kita bisa memberi rating dan menuliskan pengalaman.

Bahkan banyak masyarakat yang dengan jujur menuliskan kesan mereka setelah berinteraksi dengan sebuah sekolah. baik saat mendaftarkan anak, menjemput anak, maupun mengikuti kegiatan.

Fitur ulasan di Google Maps membuat sekolah tak hanya dinilai dari bangunan dan lokasi. Tapi juga dari pelayanan, keramahan Kepsek, guru, staf. Ataupun dari ketepatan waktu hingga keamanan lingkungan sekolah.

Namun belakangan, barulah disadari bahwa fitur ulasan tersebut telah ditiadakan khususnya untuk sekolah negeri maupun sekolah swasta. Tiba-tiba, fitur "Tulis Ulasan" tak lagi tersedia. Kini pengguna Google Maps tidak lagi bisa memberi review untuk semua sekolah di Indonesia.

Lantas muncul pertanyaan besar di benak publik. Kenapa terjadi hal demikian? Apakah ini bentuk pembatasan terhadap suara masyarakat?

Jangan-jangan, ini adalah bentuk baru dari "sensor digital"? Sebuah upaya halus untuk menghindari kritik?

(Tangkapan layar/Google maps)
(Tangkapan layar/Google maps)

Pemerintah atau pihak terkait seharusnya bisa menjelaskan alasan dibalik penghapusan fitur ini. Sebab ruang publik di dunia digital tak kalah pentingnya dengan ruang diskusi tatap muka. 

Bila suara dibungkam di tempat yang formal maka ia bisa meledak di tempat yang tak terkendali. Lalu kritik bisa bermetamorfosis menjadi nyinyiran, fitnah, atau bahkan hoaks, bila tidak difasilitasi dengan wadah yang tepat.

Google Maps, selama ini telah menjadi medium yang seimbang yang tak berpihak. Siapa pun bisa melihat ulasan yang baik dan buruk lalu menilainya sendiri.

Ulasan dari masyarakat bisa menjadi bahan evaluasi yang sangat penting bagi sekolah. Terutama dari sisi pelayanan publik.

Bayangkan bila orangtua merasa tidak puas terhadap sistem pendaftaran, atau sikap petugas keamanan maupun penjaga sekolah, namun tak tahu harus menyampaikan ke mana.

Bila dibiarkan, kekecewaan itu bisa membesar dan menyebar dari mulut ke mulut, tanpa sempat diklarifikasi atau ditindaklanjuti oleh pihak sekolah. Maka, penting bagi pemerintah untuk membuka ruang partisipasi publik. termasuk dalam bentuk kritik konstruktif melalui media digital.

Jangan anggap kritik sebagai serangan. Lihatlah ia sebagai vitamin penguat untuk sistem yang sedang berjalan.

Dalam dunia pendidikan, keterbukaan terhadap kritik seharusnya menjadi nilai yang dijunjung tinggi. Bukankah kita selalu mengajarkan murid untuk berani bertanya dan memberi masukan?

Kalau akses publik untuk memberi masukan malah ditutup, lalu dimana nilai keterbukaan yang selalu dielu-elukan dalam pendidikan?

Kebanyakan orangtua murid merasa lebih percaya pada lembaga pendidikan yang terbuka terhadap masukan publik. Ini membantu orangtua dalam memilih sekolah untuk anak mereka. (sumber) 

(Tangkapan layar/Google maps)
(Tangkapan layar/Google maps)

Artinya, ulasan di Google Maps bukan hanya ajang curhat tapi juga referensi penting dalam pengambilan keputusan.

Kita memang tak ingin sekolah dijatuhkan oleh komentar asal-asalan atau ulasan bernada kebencian. Namun, menghapus fitur bukanlah solusi yang adil.

Solusinya bisa dengan moderasi komentar serta edukasi masyarakat tentang etika memberi ulasan. Jika memang ingin menjaga citra sekolah maka cara terbaik adalah dengan meningkatkan pelayanan, bukan membungkam suara publik.

Dunia saat ini semakin digital. Transparansi dan keterbukaan adalah keniscayaan, bukan pilihan. Justru, sekolah yang bersedia dievaluasi terbuka akan lebih dihormati dan dipercaya oleh masyarakat.

Pemerintah sebaiknya meninjau kembali kebijakan ini. Jangan sampai dianggap sebagai tindakan anti-kritik. Karena dalam dunia demokrasi, kritik adalah nyawa dari perbaikan.

Tidak ada institusi publik yang sempurna. Tapi mereka bisa menjadi lebih baik jika mau mendengar dan memperbaiki diri. Termasuk sekolah yang menjadi tempat lahirnya masa depan bangsa.

Guru-guru, Kepala Sekolah, hingga staf, semua bisa kok mengambil pelajaran dari ulasan masyarakat jika disikapi dengan bijak. Jangan anggap ulasan negatif sebagai penghinaan. Kadang itu adalah bentuk perhatian dari mereka yang peduli.

Momen peserta didik di lingkungan sekolah. (Foto: AKBAR PITOPANG)
Momen peserta didik di lingkungan sekolah. (Foto: AKBAR PITOPANG)

Sekolah yang dicintai masyarakat bukanlah sekolah yang bersih dari kritik tapi yang mampu meresponsnya dengan elegan. Maka, mari kita tunggu pemerintah dan pihak terkait untuk membuka kembali fitur ulasan di Google Maps untuk sekolah.

Jangan sampai masyarakat merasa jauh dari institusi yang seharusnya paling dekat dengan kehidupan mereka. Bila masyarakat tak bisa bersuara maka hubungan antara sekolah dan masyarakat akan kian renggang. Padahal, sinergi antara sekolah dan masyarakat adalah kunci kesuksesan pendidikan.

Pendidikan bukan hanya urusan ruang kelas tapi juga soal pelayanan, komunikasi, dan partisipasi. Karena itu, kritik adalah bagian dari cinta. Ulasan adalah wujud perhatian.

Jika sekolah ingin terus tumbuh dan relevan, maka ia harus membuka diri terhadap suara dari luar temboknya. Mari jaga sekolah tetap menjadi ruang publik yang sehat. Terbuka, akuntabel, dan siap tumbuh bersama masyarakat.

*****

Salam berbagi dan menginspirasi.

== AKBAR PITOPANG ==

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun