Sejak awal berprofesi sebagai guru, motor matic injeksi berwarna biru-putih inilah yang setia menemani liku-liku perjalanan saya. Kompasiana selalu membuka ruang bagi kita untuk berbagi kisah dan pengalaman yang sarat makna. Dan kali ini saya tergerak untuk turut membagikan pengalaman unik bersama kendaraan pribadi tercinta.
Bagi saya yang berprofesi sebagai guru, motor itu bukan sekadar alat transportasi melainkan mitra penting dalam mencari nafkah dan menjalani rutinitas sehari-hari.
Karena hanya memiliki motor, saya berkomitmen penuh untuk merawatnya agar selalu dalam kondisi prima. Rutin servis berkala menjadi kewajiban. mulai dari ganti oli setiap 3 bulan sekali hingga pengecekan rem dan kelistrikan. Kemudian saya mengganti ban lebih awal demi memastikan visibilitas optimal di sepanjang hari.
Pengeluaran untuk perawatan motor seringkali membuat kantong menipis namun saya yakin investasi kecil itu jauh lebih berguna daripada terjebak di tengah jalan.
Hubungan guru dengan motor ini ibarat simbiosis mutualisme. Yang mana guru butuh motor untuk bekerja, dan motor butuh perawatan agar terus melaju. Namun, terkadang rencana terbaik kita bisa tergelincir oleh hal-hal tak terduga yang menguji ketangguhan kita.
Nah, pada hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang kemarin saya sudah sangat bersemangat menyambut upacara bendera dan murid-murid baru.
Detik-detik sebelum bel berbunyi, motor biru putih yang setia itu tiba-tiba mogok di tepi jalan. Hanya berjarak tujuh menit dari sekolah. Sehingga perasaan cemas dan khawatir langsung memburu.
Dalam sekejap, rencana datang tepat waktu untuk mengikuti upacara sirna oleh mesin motor yang enggan menyala kembali. Saya mencoba menyalakan mesin beberapa kali namun tak berhasil.
Hati pun berdebar-debat. Lalu ingatan tentang kapan servis terakhir langsung membuncah di benak. Apakah ada yang terlewatkan?