Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia. Buku: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri. BT 2022. KOTY 2024.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Masuk Sekolah (Tak) Harus Serba Baru

14 Juli 2025   10:58 Diperbarui: 16 Juli 2025   17:53 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang ayah sedang melihat buku-buku tulis baru yang ditawarkan salah satu swalayan di Pekanbaru pada Ahad, 13 Juli 2025. (Foto AKBAR PITOPANG)

Hari ini, Senin yang cerah di pertengahan Juli. Menandai hari pertama masuk sekolah di Tahun Ajaran Baru 2025-2026. Ada semangat yang menggebu dari setiap siswa yang kembali menjejakkan langkah di sekolah. Gedung sekolah dan ruang kelas kini kembali ramai oleh canda tawa anak-anak.

Bagi siswa baru, ini adalah momen paling mendebarkan diawali dengan pekan pengenalan yang dikenal dengan istilah MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah). Sebuah pekan yang penuh warna dan perkenalan dengan guru, teman baru, dan rutinitas yang berbeda dari jenjang sebelumnya.

Namun, satu hal yang kerap muncul menjelang hari pertama masuk sekolah adalah euforia berbelanja perlengkapan baru. Tas baru, sepatu baru, seragam baru, hingga alat tulis baru dengan desain kekinian.

Seolah menjadi tradisi bahwa hari pertama sekolah kerap identik dengan yang baru-baru. Bahkan, ada anak yang malu jika perlengkapan sekolahnya adalah 'warisan' atau sudah usang.

Pertanyaannya, apakah setiap Tahun Ajaran Baru memang harus serba baru? Apakah nilai anak akan berkurang jika tas dan sepatunya adalah peninggalan dari sang kakak?

Nah, sebagian besar orangtua saat ini sedang menghadapi tantangan ekonomi pasca pandemi, inflasi, dan kebutuhan hidup yang terus meningkat dan harga-harga yang kian melambung. 

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa pengeluaran pendidikan menjadi salah satu beban utama rumah tangga yang terkena inflasi. Inflasi kelompok pendidikan tercatat terjadi di setiap Juli dan Agustus dalam lima tahun terakhir. Itu bertepatan dengan tahun ajaran baru.

Ini seharusnya menjadi perhatian bahwa ekspektasi berlebihan terhadap "yang baru" bisa menambah beban ekonomi keluarga. terutama mereka yang berpenghasilan pas-pasan. Maka, bijaklah dalam membelanjakan uang.

Inilah saat yang tepat untuk melakukan edukasi bukan hanya kepada anak-anak tetapi juga kepada orangtua. bahwa makna kembali ke sekolah tidak terletak pada barang-barang baru.

Yang paling utama dari masuk sekolah adalah semangat belajar yang menyala. Semangat untuk menyerap ilmu, membangun karakter, dan berproses menjadi pribadi yang tangguh.

Mendidik anak untuk tidak memaksakan harus memiliki perlengkapan baru adalah bentuk pendidikan karakter sejak dini. Ini tentang mengajarkan nilai bersyukur dan bijak dalam menyikapi situasi.

Seorang ayah sedang melihat buku-buku tulis baru yang ditawarkan salah satu swalayan di Pekanbaru pada Ahad, 13 Juli 2025. (Foto AKBAR PITOPANG)
Seorang ayah sedang melihat buku-buku tulis baru yang ditawarkan salah satu swalayan di Pekanbaru pada Ahad, 13 Juli 2025. (Foto AKBAR PITOPANG)

Apa yang Bisa Dilakukan Orangtua?

Orangtua harus percaya bahwa anak tidak akan kehilangan semangat hanya karena menggunakan tas atau sepatu lama. Bahkan, justru ini bisa menjadi momen pembelajaran moral yang luar biasa.

Bayangkan anak yang sejak kecil sudah terbiasa berpikir bahwa semua hal bisa didapat dengan mudah. Maka di kemudian hari saat kenyataan tak sesuai harapan, ia bisa frustasi.

Sebaliknya, anak yang tumbuh dengan kesadaran bahwa hidup tak selalu mulus maka akan memiliki daya tahan dan empati yang tinggi.

Orangtua juga bisa menggunakan momentum awal masuk sekolah sebagai sarana diskusi ringan tentang kondisi keuangan keluarga.

Ajak anak berdiskusi. misalnya, "kalau uangnya hanya cukup untuk satu barang saja, kamu pilih yang mana yang paling dibutuhkan?"

Hal sederhana ini bisa melatih anak untuk menentukan prioritas dan berpikir kritis sejak dini.

Tidak ada salahnya juga membuat kesepakatan keluarga. Misalnya, anak boleh mendapatkan barang baru jika mencapai prestasi tertentu. Dengan begitu, anak belajar tentang usaha, doa dan hasil.

Anak yang terbiasa mendapat hadiah atas jerih payah akan tumbuh menjadi pribadi yang menghargai proses.

Sebaliknya, anak yang selalu mendapatkan sesuatu tanpa perjuangan maka rentan tumbuh menjadi pribadi yang mudah menyerah dan tak tahan banting.

Dalam pendidikan, nilai tertinggi bukan pada rapor tapi pada karakter. Dan karakter dibangun sejak dini melalui kebiasaan-kebiasaan kecil yang konsisten dalam lingkup keluarga.

Barang Baru Tak Pengaruhi Nilai Guru

Sebagai guru pun punya peran penting. Bukan hanya MPLS yang harus menjadi perhatian. tapi juga bagaimana membangun komunikasi positif dengan orangtua.

Guru bisa menyampaikan secara terbuka bahwa tidak ada keharusan untuk membeli perlengkapan baru. Fungsi adalah yang utama, bukan penampilan.

Bahkan untuk buku tulis. jika yang lama masih banyak lembar kosong dan layak maka kenapa harus dibuang dan membeli yang baru? Hemat dan bijak itu keren!

Saya sendiri sebagai guru selalu menyampaikan kepada wali murid melalui grup WhatsApp bahwa buku tahun lalu boleh digunakan kembali jika masih bisa dimanfaatkan.

Dan saya melihat anak-anak sudah mulai tidak mempermasalahkan itu. Pasti mereka merasa bangga ketika tahu bahwa dengan tidak membeli buku baru maka mereka bisa membantu orangtuanya.

Momen ini bisa dimanfaatkan untuk memperkenalkan konsep hidup sederhana tapi bermakna sejalan dengan konsep Mindfull Learning dan Meaningful Learning dalam pendekatan Deep Learning. Siswa zaman sekarang harus diajarkan makna dari rasa syukur yang dimiliki.

Guru atau sekolah juga bisa berinisiatif membuat gerakan atau sebuah kampanye untuk mendukung gaya hidup hemat dan berkelanjutan. Ini juga sejalan dengan kampanye ramah lingkungan. Menggunakan ulang barang yang masih layak pakai adalah bagian dari upaya mengurangi sampah dan emisi karbon.

Tahukah Anda? Menurut laporan acs.org, setiap tahun ada jutaan ton sampah tekstil yang dibuang ke lingkungan. termasuk dari seragam dan sepatu sekolah.

Maka, keputusan untuk memakai kembali barang lama bukan hanya keputusan ekonomi. tetapi juga keputusan ekologis yang mulia.

Orangtua yang ingin berdonasi atau berbagi perlengkapan sekolah bisa juga menyalurkan kepada anak-anak yang tidak mampu bisa. Dari situlah tumbuh semangat solidaritas, empati, dan kebersamaan. Bahwa sekolah bukan tempat ajang pamer barang tapi ruang bertumbuh bersama.

Guru juga perlu menyampaikan bahwa nilai siswa tidak diukur dari mahalnya sepatu atau buku tulis yang semua baru. Melainkan dari sikap dan semangat belajar para siswa.

Bangunlah Pendidikan Karakter yang Mindful 

Yuk, jadikan Tahun Ajaran Baru ini bukan ajang belanja besar-besaran. tapi ajang menata niat dan semangat baru.

Sampaikan pada anak-anak bahwa belajar itu butuh hati yang tulus. bukan tergantung perlengkapan yang mewah dan mulus.

Penting bagi kita semua ---guru, orangtua, bahkan siswa--- untuk mulai mengubah cara pandang terhadap simbol-simbol kesuksesan. Bahwa sukses itu bukan soal tampil wah tapi soal bisa bertahan dalam keterbatasan dan tetap bisa berbagi.

Ajarkan anak untuk mencintai barang yang mereka miliki, merawatnya, dan tidak mudah tergoda dengan tren konsumtif ala FOMO atau YOLO. Karena yang baik itu YONO (you only need one). 

Anak yang memiliki kesadaran ini akan tumbuh menjadi pribadi yang bijak, tidak mudah iri dengan teman-temannya, dan tahu diri dalam berbagai situasi.

Kalau dalam pepatah Minangkabau, dikenal dengan anak-anak yang "Tau jo untuang" atau sadar diri dan mawas diri.

Ketika anak mampu memahami kondisi keuangan orangtua tanpa banyak menuntut maka itu adalah tanda kecerdasan emosional yang luar biasa.

Mari kita bangun generasi yang tangguh bukan karena barang barunya. tapi karena karakternya yang luar biasa. Mari pula bentuk anak-anak kita menjadi pribadi yang memahami arti cukup, tidak berlebih-lebihan, tidak mubazir, bersyukur atas yang dimiliki, dan tahu kapan harus berjuang untuk mendapatkan sesuatu.

Kita tak ingin anak-anak kita tumbuh menjadi "budak konsumerisme". Sebaiknya jadi anak-anak tangguh yang siap menghadapi dunia nyata.

Tahun Ajaran Baru bukan sekadar soal ganti seragam dan beli perlengkapan sekolah yang baru. Tapi soal ganti semangat dan cara berpikir yang lebih bijak dan terbuka.

Sekolah adalah tempat tumbuh, bukan ajang kompetisi sosial, pansos ataupun flexing. Yang penting bukan apa yang kamu pakai, tapi siapa dirimu yang sebenarnya.

Teruslah mengedukasi anak-anak kita dan mulai dari hal kecil. Gunakan barang lama yang masih bisa dipakai dan banggalah karena itu semua. Sebab sesungguhnya yang baru itu bukan tas, sepatu, atau seragam. Yang baru adalah semangat, niat, dan cara pandang yang lebih bijak menuju masa depan. Insya Allah.

Literasi:

https://www.bloombergtechnoz.com/detail-foto/1149/tahun-ajaran-baru-perlengakapan-sekolah-laris-diburu-warga

https://www.metrotvnews.com/read/NrWC5Wyj-biaya-pendidikan-ri-kian-meningkat#:~:text=%22Ini%20khususnya%20biasanya%20terjadi%20di%20sekolah%20swasta,tahun%20ajaran%20baru%202024%20ini%2C%22%20jelas%20dia.

https://pubs.acs.org/doi/10.1021/acs.est.2c02111

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== AKBAR PITOPANG ==

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun